Seminggu pasca baikan semua berjalan normal seperti biasanya, seperti tujuh tahun terakhir setelah Laura tidak ada. Ya Bara tetap merokok dan Lana marah-marah, ya mereka tetap sarapan bersama dan sulit dinner bersama, ya sekolah Lana lancar-lancar saja dan dia akan segera ujian akhir.
Bedanya ada di sini, jika dulu setiap pulang kerja Bara hanya mengintip Lana dari luar pintu guna memastikan si anak sudah terlelap tidur, maka sekarang, seminggu terakhir ini ia masuk ke dalam, menatap Lana dari kaki ranjang dan sesekali mengusap kecil kaki anak gadisnya itu.
Ia selalu hela napas berat, menjadi duda dan orangtua tunggal bukan hal mudah, walau terima kasih ekonomi mereka sangat baik, yang jadi masalah dulu Bara tidak terlalu dekat dengan Lana, pun tidak mudah jatuh cinta lagi untuk mencarikan pengganti Laura di kehidupan mereka berdua.
"Kak," panggil Bara sesaat selesai sarapa di senin pagi ini.
"Hm? Kenapa, Pa?" Lana sendiri masih belum selesai, masakan mbak yang membersihkan rumah setiap pagi memang enak sekali, Lana selalu suka.
"Gimana menurut Kakak kalau Papa menikah lagi?"
Gerakan tangan Lana langsung terhenti, sendok mengambang di depan mulut dan kepala menoleh menatap Bara yang pun sedang menatapnya. Si papa terlihat serius. "Kenapa nanyak kayak gitu? Papa punya pacar?"
Bara tersenyum kecil. "Belum."
"Terus? Punya gebetan?" Sendok Lana kembali ke atas piring.
"Belum juga," jawab Bara tenang.
"Jadi ngapain tanya kayak gitu?! Papa ih! Gimana kalo mama denger? Mama pasti sedih." Lana tekuk wajah tidak senang.
Bara masih menatap Lana dalam, ia hanya ingin berhenti, benar-benar berhenti menjadikan Lana fantasinya untuk memuaskan diri. Mungkin seminggu ini Bara mampu mengontrol diri, ia tidak kelepasan saat berada di dekat Lana, tapi siapa yang tahu besok? Besoknya lagi? Besok dan besok yang pasti semakin Lana dewasa, Bara yakin tubuh anaknya akan semakin cantik.
Jangan ada yang percaya Bara berhenti turn on karena Lana, hal itu masih terjadi walau sesekali di pagi atau malam hari. Seperti ini tekanan pekerjaan dan hasrat yang tak tersalurkan selama tujuh tahun sukses membuat Bara hilang akal. Sempat terbesit di kepalanya menyewa kupu-kupu malam saja, tapi, masih juga menonton video porno Bara sudah layu, apalagi menyewa wanita, mungkin hanya buang-buang uang. Sinting memang.
"Papa mau coba buka hati, gimana pun nanti tua Papa butuh pendamping," ujar Bara tetap tenang, tatapannya sudah meninggalkan wajah cantik nan manis milik Lana, yang setelah ia perhatikan terlihat sangat tidak mirip dengan Laura, tidak heran karena Lana bukan anak kandung mendiang istrinya. Kedekatan tidak bisa menjadi alasan tiba-tiba mereka terlihat mirip.
"Kan ada Kakak, udah Kakak bilang Kakak nggak akan nikah, Kakak bakal temenin Papa terus."
"Jangan ngaco kamu, Kak."
"Enggak, Kakak serius! Siapa juga yang ngaco."
Bara hela napas pelan. "Papa butuh nafkah batin," bisiknya.
"Oh jadi kasih sayang dari Kakak kurang? Mau gimana lagi nunjukinnya coba?! Harus banget Kakak marahin tiap hari pas pup sambil ngerokok di kamar mandi? Atau-"
Bara kembali menoleh menatap Lana. "Kebutuhan biologis, seks, Papa butuh itu, Kak. Bisa Kakak kasih?" tanyanya memotong kalimat Lana yang salah paham akan nafkah batin yang Bara maksud.
Hening, Lana terdiam tapi mata masih bersitatap dengan Bara. Tubuhnya langsung bergetar, insiden lalu kembali terngiang. Jujur, seminggu terakhir ini Lana selalu tahu ketika Bara masuk ke dalam kamarnya dan hanya menatap dengan ending mengusap kakinya. Lana pasti akan terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka, hanya saja dia bisa menahan diri untuk tetap pura-pura tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOST - 21+
RomanceAdult Story❗️ ___ Barata akui ia laki-laki tak bermoral yang terus mengajari anak angkatnya tentang apa itu api di atas ranjang. Semua karena Barata mati rasa pada semua perempuan sejak kematian sang istri. Lana tidak tahu kenapa setiap sentuhan pap...