8. Berjarak

3.8K 23 0
                                    

Bara menggosok lembut rambut lembab Lana dengan handuk kecil milik anak gadisnya itu, mereka baru selesai mandi, kini Lana duduk di sisi ranjang dengan posisi menghadap tubuh si papa.

Suasana hati Bara jauh lebih membaik setelah menerima rentetan kekacauan di Bali. Entah lah bagaimana bisa Lana menjadi berpengaruh besar dengan suasana hatinya, kedekatan mereka selama ini tidak sampai ke tahap seintim itu, sudah Bara katakan beberapakali kalau ia menyayangi Lana tapi tidak dekat.

Perjalanan tumbuh kembang Lana saja ia tidak terlalu memperhatikan, baik itu sebelum maupun sesudah kepergian Laura. Termasuk tujuh tahun belakangan setelah kepergian Laura, Bara hanya melimpahkan materi dan sesekali memeriksa perkembangan pendidikannya. Tapi, belakangan anak itu yang sangat memperhatikankan Bara, perlahan mendekat dan menjadi berisik dengan ribuan rengekan beserta omelan, lebih tepatnya sejak Lana menduduki sekolah menengah pertama dua tahun lalu.

"Papa ada masalah?" Lana bertanya lirih, kepalanya menunduk memerhatikan kedua tangan yang saling bertaut gugup. Bayangkan saja ada di posisi Lana, selama ini ia menganggap Bara adalah papanya, namun apa yang terjadi tadi? Kalau boleh jujur Lana tidak punya muka di hadapan mendiang Laura, sekalipun itu dalam mimpi.

Masih segar diingatan Lana bagaimana Laura memuja-muja Bara, mengatakan pria itu adalah papa yang baik, Lana harus menyayangi walau hubungan mereka sebagai anak dan papa sangat lah kaku. Pun, Laura sempat mengatakan untuk menjaga pria itu jika nanti dihari tua ialah yang lebih dulu pergi. Sesak dada Lana mengingat kenangan tersebut, dosanya tak termaafkan.

"Hm, ya, beberapa," jawab Bara dengan suara rendah, kedua tangannya belum berhenti menggosok lembut helai rambut Lana.

"Kenapa lampiasinnya ke Kakak, Pa?" Semakin melirih, Lana gemetar, bibirnya tergigit kecil sebagai bentuk betapa takut dan gugup dirinya menghadapi kenyataan. Apa sih yang terjadi di antara mereka?! Apa yang salah?! Kenapa mereka jadi begini?! Kemarin-kemarin mereka baik-baik saja.

Gerakan tangan Bara berhenti, tertegun, bagai disiram air mendidih, sakit nan nelangsa hatinya mendengar pertanyaan Lana barusan. Benar, kenapa ia melampiaskannya dengan Lana? Kenapa melampiaskannya dengan melecehkan anak itu? Bodoh! Brengsek! Bajingan! Iblis!

Bara mundur dua langkah, menjauh dari tubuh Lana yang tak bergerak. Ia tatap kepala yang menunduk di hadapannya, lalu turun ke kedua tangan yang mengusap satu sama lain dengan gemetar. Tolol! Bara telah menorehkan luka pada satu-satunya keluarga yang ia miliki saat ini.

Bukan maksudnya menyakiti Lana, demi Tuhan Bara tidak bermaksud begitu. Ia ..., ia ..., Bara ..., Bara tidak tahu! Bara benar-benar tidak mengerti kenapa ia bisa sebegitu bergairahnya dengan Lana, iya dia memang tidak bermoral! Bedabah! Sampah! Papa sialan yang memang tidak pantas memiliki seorang anak. "Papa minta maaf," bisik Bara menggenggam handuk lebih erat. "Papa minta maaf, Kak ..., maaf." Kemudian Bara memilih mundur, beranjak pergi dari kamar putrinya sebab ia tahu saat ini Lana tidak ingin melihatnya, tidak ingin di dekatnya.

Pintu kamar tertutup, tangis Lana yang sejak tadi ditahan pecah berhamburan. Ia peluk dirinya, ia simpan rapat-rapat kenyataan bahwa di sudut hati kecilnya ia menyukai setiap sentuhan Bara, dan itu lah dosa tak termaafkan yang ia maksud.

*****

Malam itu berlalu dengan Lana yang memilih makan KFC pesanannya di kamar, ia mencoba menata hati, menghilangkan segala kalut dan rasa bersalah. Cepat atau lambat ia harus berbaikan dengan Bara karena mereka berada di atap yang sama, namun, Lana jadi penasaran, sebenarnya selama ini benarkah ia menganggap Bara seorang papa? Jika memang iya, bukan kah seharusnya rasa suka oleh sentuhan pria itu tidak ada? Harusnya Lana ketakutan sepenuhnya. Namun, ia akan tetap menyakini semua rasa-rasa itu hanya sebuah kesalahan. Bara papanya, selamanya.

Ternyata, deal yang baru disepakati begitu sia-sia, mereka kembali merenggang, kembali ke setelan awal. Bara lebih banyak diam dan menghindari interaksi dengan Lana, sedangkan Lana pun tak jauh berbeda, lebih banyak diam.

Mereka hanya akan sarapan bersama dalam hening, berangkat bersama dalam hening, kemudian selesai. Lana pulang sekolah sendiri, makan malam sendiri, terus begitu berhari-hari. Sedangkan Bara sibuk dengan pekerjaan, pria itu selalu pulang larut, hampir tengah malam.

Jika yang lalu Bara sering diam-diam masuk ke kamar Lana untuk memeriksa keadaan gadis itu, maka yang kali ini tidak pernah, sekali pun!

Suasa hati Lana menjadi suram, senyum yang selalu merekah tak pernah terlihat lagi. Setiap pagi ketika ia mendapati Bara merokok di teras rumah, Lana menahan diri mati-matian untuk tidak mengomel, ia tahu, ia sadar Bara tidak ingin berlama-lama di dekatnya, mungkin pun tidak ingin melihatnya lagi. Lantas bagaimana hubungan mereka ini? Tidak mungkin terus seperti ini bukan?

Menarik napas dalam, Lana melangkah lembut, kedua matanya tak lepas menatap punggung lebar Bara yang sekali lagi pagi-pagi sudah merokok, tepatnya sesaat selesai sarapan. "Pa-"

"Iya, aku inget. Pasti aku jemput kamu."

Langkah Lana terhenti, kedua telinganya terlalu peka mendengar kalimat Bara barusan, ternyata selain merokok pria itu juga tengah berada dalam sambungan telepon.

"Udah aku booking, sesuai kemauan kamu, hotel bintang lima."

Hotel? Dahi Lana mengerut, apa-apaan ini? Bara menyewa wanita malam lagi?! Serius?! Merasa marah tak terbendung, tanpa menyapa atau menegur, Lana meraih pergelangan tangan Bara yang memegang sebatang rokok.

Empu tangan terkejut, menoleh menatap pelaku dan semakin terkejut mendapi Lana berdiri di dekatnya.

Gadis itu merebut rokok Bara, membuang tak kenal ragu juga takut. Kemudian Lana tarik tangan papanya itu sehingga tubuh yang diam menjadi bergerak mengikutinya memasuki rumah.

Dahi Bara mengerut, sempat ia putuskan sambungan telepon yang tadi masih menyala. "Kak?" Setelahnya menegur dengan nada tanya pada Lana yang berhenti melangkah tepat di belakang pintu rumah.

Lana tutup pintu itu, alih-alih membuka suara, Lana justru berbalik untuk mendorong tubuh Bara ke daun pintu. Tanpa basa-basi ia bawa kedua tangan menyentuh gesper Bara, melepaskan benda itu agar ia bisa membuka resleting celana si papa.

"Kak!" Bara tepis kedua tangan itu. Namun, Lana tidak menyerah, kembali meraih, tidak! Gadis itu kesal karena sulit membuka gesper Bara, jadi dia langsung menyentuh kejantanan yang ada di sana.

Kepala Lana mendongak, membalas tatapan tajam Bara. "Papa diemin aku, Papa jauhin aku, terus tiba-tiba Papa nyewa wanita bayaran lagi? Mau apa? Ke hotel bintang lima buat ini?" Lana remas yang ia sentuh.

Bara diam, mulutnya tertutup rapat tapi tatapan menjelaskan seberapa marah dirinya saat ini.

"Aku kasih biar Papa puas," bisik Lana mengusap naik turun di kejantanan Bara.

Amarah di kepala dan hati pria kepala tiga itu tak terbendung, ia cengkram kuat tangan Lana yang menyentuh inti tubuhnya. "Kamu pikir Papa apa?"

Lana meringis kesakitan, sekarang ia baru menyadari seberapa tajam tatapan Bara untuknya.

LOST - 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang