[07] Menyelami Jiwa dan Lukanya : Anan

1K 183 227
                                    

"Terkadang orang tua membunuh lebih banyak impian dari siapapun. Berdalih bahwa pilihannya adalah yang terbaik, tapi tanpa sadar membuat anaknya tercekik."

- Anandatapa M. Raya -
( Decoration of Seven Loves )


💜💜💜


Anak berbakti. Dua kata penuh makna itu sudah melekat pada putra tunggal Tyo Suro Sentana sejak dini. Label tersebut merupakan pemberian orang-orang sekitar tanpa persetujuan dari sosok kecil yang menerimanya. Sebuah panggilan kebanggan yang menjelma setumpuk beban pada laki-laki dengan sejuta rasa penasaran.

Hidup di atas rencana matang orang tua tak selalu membuat Anan senang. Beberapa hal memang bisa ia dapatkan dengan mudah. Namun, ada banyak juga yang harus ia biarkan patah. Bermimpi, bersembunyi, lalu kembali pada rancangan-rancangan masa depan yang harus dipatuhi.

"Nan, pembangunan hotel di dekat kantor Papa itu kamu yang pegang, kan? Kenapa nggak ada kemajuan? Papa perhatikan gitu-gitu aja," Tyo membuka percakapan.

Pemuda berkemeja lengan panjang warna mint tak segera menjawab pertanyaan. Ia diam beberapa detik sambil berjalan menuju sofa dengan dua kopi hitam di kedua tangan.

"Pekerja bangunannya pada malas, pemilik modalnya terkendala dana, atau memang ada kendala lain?" Tyo masih memborbardir Anan dengan pertanyaan sederhana, lalu menyesap minuman hitam buatan sang anak. Namun, entah mengapa memikirkan jawabannya saja sudah membuat Anan sedikit tertekan.

"Iya, proyek itu Anan yang pegang, Pa. Rancangan bangunan dan perhitungan bahannya lagi Anan benahi. Jadi, proses pembangunannya dihentikan sementara," terang Anan ragu-ragu.

Pria berusia 50 tahun itu memandang sang anak penuh telisik. "Mangkrak? "

"Bukan mangkrak, Pa. Kami-"

"Kamu ada masalah apa? Kenapa setiap dapat proyek lebih sering gagal daripada berhasil? Ujungnya pasti mereka akan minta kamu untuk mundur dan memilih ganti orang," cecar Tyo.

Arsitek muda itu menghela napas lelah, menyandarkan punggung di sofa. "Mungkin karena Anan nggak kompeten di bidang yang nggak Anan suka, Pa."

"Apa maksud kamu bicara seperti itu?" suara Tyo mulai terdengar rendah dan dingin.

"Enggak, Pa. Anan cuma lagi capek aja. Nanti akan Anan perbaiki semuanya," balas laki-laki pecinta fotografi tersebut.

Tyo menggelengkan kepala, lalu kembali menyeruput kopinya. Sedangkan Anan hanya memandang tiga buih kecil yang tak sengaja terbentuk di tengah minuman. Bagi Anan, Tyo adalah sosok ayah yang sangat baik. Ia sangat sayang, begitu juga sebaliknya. Keduanya juga memiliki hubungan yang dekat dan hangat. Walaupun kadang kala ada dinginnya juga. Persis saat terjadi percakapan seperti tadi. Anan yang tak pernah berani membantah dan Tyo yang merasa bahwa pilihannya selalu baik untuk sang anak. Dua hal itu saja yang menciptakan titik canggung dan bingung pada beberapa waktu sejak belasan tahun lalu. Kecil, tapi berpengaruh besar jika tidak segera mereka selesaikan.

"Acaranya mulai setelah zuhur. Kita berangkat sekarang aja gimana?" tanya Tyo usai melirik arloji yang menunjukkan pukul 11.00.

Anan mengangguk sebagai jawaban. Dua pria berperawakan serupa itu lantas meninggalkan ruang keluarga. Mereka akan menghadiri acara ulang tahun kerabat. Kebetulan Anan juga diminta untuk menjadi juru foto di sana. Bersama tim fotografer milik Hello Future Decor pastinya.

Sesampainya di lokasi, Tyo langsung membaur bersama para saudara dari keluarga mama. Sedangkan Anan bergabung dengan teman-temannya di sebuah ruangan. Beberapa saat sebelum acara dimulai, mereka sudah menyebar ke beberapa titik untuk mengabadikan momen.

Decoration of Seven LovesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang