Chapter 5

42 14 5
                                    

Tinggalkan cerita ini jika membuatmu lalai dalam beribadah. Jadikan Al-Qur'an Sebagai Bacaan Utama💗

Jangan lupa vote dan follow akun aku untuk mengetahui notifikasi update. Share juga ke teman-teman kalian ya! Terima kasih💗

⛴️⛴️⛴️

Seminggu berlalu begitu cepat, hari ini aku akan memulai untuk mengikuti pembekalan sebelum melaksanakan koas. Koas adalah singkatan dari Co-Assistent, yang mana harus dilakukan oleh mahasiswa yang telah mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran atau S.Ked. Perjalanan untuk menjadi seorang dokter itu tidaklah mudah kawan-kawan. Program Co-ass dilakukan untuk mendapatkan gelar profesi atau dokter, jadi untuk sekarang aku belum bisa dipanggil dokter ya, masih otw jadi co-ass atau orang-orang menyebutnya dokter muda.

Aku memutuskan untuk menaiki bus kota agar bisa sampai ke kampus tanpa merepotkan siapapun, setelah ini aku harus belajar menyetir agar tidak merepotkan dan jadi beban. Pembekalan dimulai pukul 08.00 dan aku harus berangkat sebelum pukul 06.00. Seperti biasa hari senin selalu menjadi hari terpadat sepanjang sejarah. Aku tidak mau berdiri dan memutuskan untuk mengejar bus yang pertama kali beroperasi.

“Alesha pamit dulu ya, pembekalan jam 08.00 nanti keburu telat.” Aku meraih tangan ayah untuk menciumnya dan hendak buru-buru pamit pergi ke kamar untuk mengambil perlengkapan yang akan aku bawa pada hari ini. Kami bertiga baru saja selesai sarapan bersama.

“Diantar mas ya? Sekalian searah,” tawar Mas Rafi ketika aku menyalami tangannya.

“Nggak perlu, aku naik bus kota aja. Mas Rafi cukup menepati janji untuk mengajariku menyetir mobil. Awas aja!” Aku menolak dan mengancamnya untuk segera mengajariku menyetir mobil.

“Iya bawel, hati-hati.” Pesan Mas Rafi seperti biasa sambil mengelus puncak kepalaku.

“Hati-hati, nak. Kalau sudah sampai kampus jangan lupa kabari ayah ya.” Pesan Ayah.

Aku mengangguk kemudian berlalu untuk berangkat sebelum semakin siang. Nampaknya nasib baik sedang menimpaku pagi ini, baru saja menginjakkan kaki di halte sudah ada bus yang berhenti di depanku. Aku langsung naik dan memposisikan diri duduk senyaman mungkin, sepertinya targetku untuk mendapatkan bus pertama terpenuhi.

Sampai di halte terakhir tempat aku turun, aku masih duduk dengan nyaman. Aku sudah pernah cerita kan kalau jarak kampus dengan rumah lumayan dekat, 30 menit kalau membawa mobil, kalau naik bus seperti ini mungkin kisaran 45 menit karena harus berhenti untuk menurunkan dan mengangkut penumpang pada setiap halte.

Aku berjalan santai dari halte menuju gerbang kampus yang jaraknya cukup dekat, mungkin sekitar 200 meter. Karena masih terlalu pagi untuk menuju aula fakultas kedokteran dan melakukan briefing, akhirnya aku memutuskan untuk melangkahkan kaki menuju masjid kampus untuk menunaikan sholat dhuha. Masih ada waktu satu jam.

Masjid yang ada di kampusku memang terletak di bagian terluar kampus, tepat sebelah kiri gerbang masuk. Sedangkan untuk menuju fakultas kedokteran, harus berjalan sekitar 1 km lagi dari masjid kampus, tapi aku sudah terbiasa.

Biasanya jika diantarkan Ayah atau Mas Rafi aku hanya minta diturunkan di depan gerbang, karena tidak ingin semakin merepotkan mereka walaupun sebenarnya mereka tidak pernah merasa direpotkan. Tak jarang juga mereka menolak dan melajukan mobilnya hingga depan pintu masuk fakultas. Sekarang kalian percaya kan kalau di usiaku yang hampir 22 tahun masih setiap hari dimanja?

Sesaat setelah melepaskan sepatu, aku melihat seorang laki-laki dengan rambutnya yang berantakan dan mengenakan kaos oblong dan celana katun sedang duduk di anak tangga menuju masjid. Aku tidak melihat wajahnya dengan jelas, tapi dari perawakannya sepertinya usia lelaki itu sama dengan Mas Rafi.

Aku melihat salah satu hidungnya mengeluarkan darah dan dia hanya diam saja. Orang bodoh mana yang hanya diam ketika hidungnya mimisan dengan tampilan berantakan seperti ini? Aku ingin abai, tapi aku masih punya hati. Kondisi masjid juga sangat sepi dan aku bingung harus meminta tolong kepada siapa.

“Mas, kamu gapapa kan? Hidungnya berdarah” Aku menghampirinya walau aku bingung harus melakukan apa. Dia bergeming tak menjawab pertanyaanku. Tidak seperti biasanya juga aku begitu peduli dengan laki-laki selain Ayah dan Mas Rafi, mungkin hanya atas dasar asas kemanusiaan kali ya. Aku juga tidak tahu.

Karena aku tidak mungkin untuk menyentuhnya secara langsung, aku melepaskan kedua handsock berwarna sky blue dan meletakkannya pada lutut kirinya yang sedang ditekuk.

“Kalau gak mau jawab gapapa, tapi minimal darahnya dimampatkan dulu. Bisa-bisa masnya kehabisan darah dan pingsan di sini kalau darah itu dibiarkan begitu saja! Saya permisi,” pungkasku akhirnya kemudian memutuskan untuk menaiki anak tangga dan menuju ke dalam masjid untuk kembali melaksanakan niat awalku menuju ke sini. Aku sudah menjaga wudhu sejak dari rumah tadi, jadi tidak perlu untuk mengambil wudhu lagi.

“Mbak,” panggil lelaki itu di belakangku ketika aku baru berjalan beberapa langkah, aku tidak menolehkan kepala, hanya berhenti melangkah. “Terima kasih, ya” ucapnya yang dapat aku dengar di telingaku dengan nada tulus.

Sepertinya dia sangat kelelahan dan banyak pikiran. Hingga dia abai ketika hidungnya meneteskan darah dengan begitu banyaknya. Sudah abaikan saja, aku hanya berdo’a semoga dia baik-baik saja.

Masih ada waktu sekitar 45 menit sebelum jam 08.00, aku memutuskan untuk muraja’ah hafalan yang sepertinya semakin hari semakin aku lupakan. Ya Allah, istiqomah sungguh sangat berat. Aku mengulang hafalan juz 29 baru sampai 5 surat, sampai aku menyadari Arsyila duduk di sebelahku.

“Mau sambung ayat gak?” tawarnya. Aku mengangguk kemudian kami saling menyambung ayat juz 29 hampir setengah jam.

“Sedih, hafalannya banyak yang hilang.” Aku mengadu pada Arsyila.

“Nggak apa, murojaahnya harus semakin sering dan semakin kuat. Biar gak semakin hilang itu hafalan, yuk bisa yuk semangat!” hibur Arsyila yang aku balas dengan senyuman.

“Yuk ke aula, 20 menit lagi acara dimulai.” Aku berdiri kemudian diikuti Arsyila.

Saat sampai di anak tangga terakhir, aku menolehkan kepala ke arah kanan dan sudah tidak mendapati laki-laki tadi. Sepertinya dia sudah beranjak.

“Cari siapa? Kok celingak-celinguk?” tanya Arsyila sambil menggunakan sneakersnya. Jangan lupakan kita berdua sama-sama pecinta sneakers.

“Nggak ada, aku tadi lihat ada laki-laki mimisan di sini. Sendirian pula, dan dia biarkan gitu aja darahnya mengalir. Aku bantu kasih handsock karena aku lupa gak bawa tisu. Masjidnya juga sepi banget jadi aku bingung mau minta tolong ke siapa. Kalau dibiarkan bisa-bisa dia pingsan kehabisan darah. Aku juga gak paham bagaimana jalan pikirnya, sampai-sampai gak peduli dengan hidungnya yang seperti itu?” jelasku pada Arsyila, sesaat aku menyadari tatapan jail Arsyila.

“Tumben peduli sama laki-laki? Ada apa dengan pandangan pertama?” Dia menggodaku seraya cengengesan, aku hanya merotasikan kedua bola mata dengan menunjukkan ekspresi malas.

“Kalau tadi kamu ada di posisi aku, aku juga yakin kamu akan melakukan hal yang sama. Mungkin naluri seorang calon dokter?” jawabku. Aku juga heran dengan diriku sendiri, padahal biasanya jangankan berbicara dengan laki-laki, berhadapan berdua tanpa bicara saja sudah membuat diriku ketar ketir.

“Iya-iya percaya calon dokter, udah ayok ke aula. Mobilku ada di sana, aku ambil dulu.” ledek Arsyila yang seakan tidak percaya dengan alasanku. Kemudian dia berjalan untuk mengambil mobilnya, seperti biasa aku hanya akan menjadi beban dengan menumpang pada Arsyila.

⛴️⛴️⛴️
To Be Continued

Kira-kira siapa nih laki-laki yang membuat Alesha peduli? Ayok coba tebak 😂

Lagian orang gila mana yang ngebiarin hidungnya mimisan dan diam aja? Gak ngerti aku juga heran wkwk

Pelabuhan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang