Tinggalkan cerita ini jika membuatmu lalai dalam beribadah. Jadikan Al-Qur'an Sebagai Bacaan Utama💗
Jangan lupa vote, komen, dan follow akun aku untuk mengetahui notifikasi update. Share juga ke teman-teman kalian ya! Terima kasih💗
Happy Reading
⛴️⛴️⛴️
Terkadang banyak hal yang terjadi tidak sesuai dengan rencana awal. Apa yang tidak ada di rencana kita, tiba-tiba saja terjadi. Seperti sekarang, usiaku masih 22 tahun tapi entah kenapa aku begitu yakin untuk menerima ajakan taaruf untuk mempersiapkan pernikahan.
Rencana ini sama sekali belum ada di wishlist jangka pendek ku, karena aku berpikir harus menyelesaikan internship dulu baru memikirkan tentang pasangan. Terlebih dengan trauma yang pernah kualami 12 tahun yang lalu, menikah bukan menjadi hal yang penting sebelum ajakan taaruf dokter Faris menghantui pikiranku.
Seperti kesepakatan kemarin, hari ini aku dan dokter Faris akan melaksanakan nadzor. Meskipun kami sudah kenal dan sering bertemu di rumah sakit, interaksi kami tidak pernah lebih dari dokter residen dan dokter muda. Kecuali ketika pertemuan pertama kami, aku menolongnya dan berinteraksi. Interaksi itu juga aku rasa masih dalam batas wajar.
Oleh karena itu kita perlu untuk bertemu dan memantapkan apakah akan melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Seperti biasanya, aku hanya menggunakan pakaian simple. Gamis polos berwarna army kombinasi abu-abu muda, tak lupa jilbab segi empat dan sneakers yang berwarna abu-abu muda juga.
Kami memutuskan bertemu ketika makan siang, karena pada hari ahad pagi kebiasaan aku bersama ayah dan Kak Ahmad selalu ke car free day. Jadilah terbentuk kesepakatan agar bertemu sekaligus makan siang di restoran. Dokter Faris yang reservasi.
Aku berjalan keluar dari kamar menuju ruang tengah, tempat biasanya Ayah membaca koran selain di teras rumah. Duduk di sofa menunggu Ayah dan Mas Rafi keluar dari kamarnya masing-masing. Entah apa yang mereka lakukan, tumben lama.
Baru saja duduk, suara Mas Rafi menginterupsi. "MasyaAllah Adekku cakep bener." Mas Rafi duduk di sebelahku dan merangkul pundakku.
"Yeee, biasanya gak cantik gitu? Tiap hari aku juga kayak gini kali," ucapku narsis seraya memutar kedua bola mata menanggapi ledekan Mas Rafi.
"Biasanya cantik, kalau hari ini cantikkkkkk banget." Puji Mas Rafi dengan hiperbola, "Mungkin karena mau ketemu calon suami, iya kan? Udah yakin banget kamu sama Faris?" argumennya sungguh di luar prediksi, padahal aku merasa penampilanku seperti hari-hari biasanya.
"Perasaan Mas Rafi kali, lagian aku gak pakai apa-apa di wajahku kok. Baju juga seperti yang aku pakai di hari-hari biasanya." Lagian aku tidak memakai apapun yang berbeda dari hari biasanya, apanya yang beda coba?
"Auranya, Lesh. Kayak cerah ceria gitu. Iya gak, Yah?" Mas Rafi bertanya kepada Ayah yang baru saja keluar dari kamarnya. Udahlah suka-suka Mas Rafi saja.
"Iya nih, Alesha kelihatan berbeda dari biasanya." Tuh kan, Ayah kemakan argumen Mas Rafi. Padahal aku tuh nggak ngerasa berbeda hari ini.
"Udah ih, pokoknya gak ada beda. Alesha masih Alesha yang kayak biasanya. Mending sekarang kita berangkat." Aku bangkit dari sofa menuju pintu utama.
"Cie-cie yang udah gak sabar ketemu calon suami," ledek Mas Rafi yang aku abaikan.
"Udah Mas, adeknya digodain terus. Udah panasin mobilnya?" Ayah membelaku.
⛴️⛴️⛴️
Mobil yang dikendarai Mas Rafi sampai di sebuah hotel dan rumah makan, aku membaca di gerbang masuknya tadi bernama "Dirgantara Resort." Rupanya di sini menyediakan hotel sekaligus rumah makan yang berada di satu lokasi, rumah makan di sebelah kanan parkir mobil dan hotelnya di sebelah kirinya
Parkirnya luas banget, aku tidak bisa menaksir berapa luasnya. Hotel dan rumah makannya juga tak kalah besar, dapat inspirasi dari mana Dokter Faris menemukan tempat se fantastis ini.
"Yuk turun, Faris sudah di dalam." Mas Rafi turun dari kursi kemudi dan mengajak aku dan Ayah untuk turun juga.
Kami bertiga berjalan menyusuri hamparan tanaman hias di bagian kanan dan kiri sebelum memasuki restoran. Sepertinya yang punya restoran ini merupakan orang yang sangat suka terhadap tanaman.
Sampailah kami pada sebuah meja VVIP, yang terdapat di dalam sebuah ruangan. Aku dapat melihat secara langsung jendela tersebut mengarah pada hamparan kebun bunga hias. Indah sekali, meskipun di mata seorang yang tidak terlalu suka terhadap bunga.
"Assalamu'alaikum," ucap Ayah menghampiri Dokter Faris yang sontak berdiri ketika melihat kami datang.
"Wa'alakumussalam, silakan duduk Pak Hamdan, Rafi, Lesha." Dokter Faris mempersilahkan kami bertiga untuk duduk pada kursi yang telah disediakan.
"Terima kasih, lo repot-repot banget nyiapin kayak begini. Harusnya di meja biasa aja udah cukup kali," jawabas Rafi.
"Iya nak, ini terlalu berlebihan," tambah Ayah kemudian mengikuti Mas Rafi untuk duduk dan aku menyusulnya.
"Nggak apa om, nggak merepotkan sama sekali," jawab Dokter Faris. Posisi duduk kami saling berhadapan, aku di sisi Ayah berhadapan dengan Mas Rafi dan Dokter Faris di sisi Mas Rafi berhadapan dengan Ayah. Sejak tadi aku menundukkan kepala tanpa bicara satu kata pun karena terlalu nervous.
Satu hal yang masih ada di benakku sejak membaca CV Dokter Faris kemarin, dia mengatakan sudah tidak memiliki keluarga. Bagaimana dia hidup selama ini?
"Oke, jadi mulai dari mana dulu ini untuk menjelaskan kelanjutan CV masing-masing?" Mas Rafi angkat bicara memulai pembicaraan.
"Mungkin dari Alesha dulu, mau tanya apa nanti saya jawab. Setelah selesai, nanti bergantian saya yang bertanya," usul Dokter Faris yang diangguki oleh kita bertiga.
"Tapi sebelumnya lebih baik kita pesan makan dulu, jam makan siang sudah lewat sejak tadi," lanjutnya sambil tersenyum sangat lebar hingga matanya membentuk garis lurus ketika aku melihat sekilas ke arah wajahnya. Buru-buru aku menundukkan wajah sambil pura-pura membaca buku menu. Kok jadi salting begini sih, aishh.
"Oke lanjut, gimana Lesha ada pertanyaan untuk Faris?" tanya Mas Rafi setelah kami semua memesan makanan.
"Satu hal yang sejak awal menjanggal di pikiran saya, tentang keluarga Dokter Faris?" tanyaku.
"Saya sudah tidak memiliki keluarga sejak Papa saya meninggal 4 tahun yang lalu ketika saya masih menjadi dokter umum. Papa saya anak tunggal, begitu juga Mama saya. Kakek dan Nenek dari kedua orang tua saya juga sudah lama meninggal, jadi ya begini saya hidup sendiri." Aku dapat melihat dia menautkan kedua tangannya di atas meja ketika menjawab pertanyaanku.
"Lalu Mamanya Dokter masih ada?" tanyaku lagi.
"Masih, tapi saya tidak tahu sekarang ada di mana. Papa dan Mama saya sudah pisah sejak saya masih kecil, saya sudah tidak pernah bertemu lagi dengan Mama saya sejak saat itu. Bahkan ketika Papa meninggal, Mama saya tidak hadir untuk sekedar melayat." Dia mendongakkan kepala menatap Ayah dengan pandangan yang sulit dideskripsikan.
"Sejak kecil saya sudah tidak punya rumah untuk tempat saya pulang, oleh karena itu saya serius ingin membangun rumah yang nyaman. Sebelum ini saya belum pernah sekalipun berta'aruf om, karena saya takut. Luka yang ditorehkan Mama saya sangat dalam. Tapi entah kenapa ketika melihat putri Om untuk pertama kali, saya begitu yakin." Dokter Faris berucap masih dengan menatap Ayah, dibalas Ayah dengan senyum. Aku belum bisa mengartikan makna dari senyum itu.
⛴️⛴️⛴️
To Be Continued
Jangan lupa vote dan komen
Terima kasih sudah mampir!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Terakhir
SpiritualAlesha Dzakiya, perempuan dengan sejuta trauma yang dimilikinya. Seorang mahasiswi program studi pendidikan dokter yang baru saja menyelesaikan studinya. Sebentar lagi akan melaksanakan koas sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar dokter...