Tinggalkan cerita ini jika membuatmu lalai dalam beribadah. Jadikan Al-Qur'an Sebagai Bacaan Utama💗
Jangan lupa vote, komen, dan follow akun aku untuk mengetahui notifikasi update. Share juga ke teman-teman kalian ya! Terima kasih💗
Tandai Kalau Ada Typo
Happy Reading
⛴️⛴️⛴️
"Masih ada yang mau dijelaskan lagi, Ris?" tanya Mas Rafi kepada Dokter Faris.
"Ada, satu hal yang tidak saya suka adalah kebohongan dan pengkhianatan. Karena Mama saya telah mengkhianati Papa saya. Sifat buruk saya yang lain seperti yang saya tulis di CV kemarin, saya punya gengsi yang cukup tinggi dan lebih suka memendam apa yang saya rasakan sendirian. Tapi saya akan berusaha untuk terus belajar untuk berbenah, karena berumah tangga artinya melakukan semuanya bersama dan membutuhkan partner yang tepat. Setelah saya istikharah beberapa kali saya semakin yakin dengan pilihan saya untuk menjadikan Alesha sebagai partner, " jelas Dokter Faris.
"Ada lagi, Lesh?" tanya Mas Rafi lagi padaku, bersamaan dengan datangnya pesanan makan siang kami.
"Lebih baik kita makan dulu, nanti bisa disambung lagi." Dokter Faris mengangsurkan makanan dari waiters kepada kami.
"Ayah ada satu hal yang mengganjal, boleh nanya kan?" Ayah bertanya dengan tertawa.
"Boleh, ditanyakan semuanya juga boleh om. Sambil makan ya om, silakan om." Dokter Rafi mengangsurkan piring pesanan Ayah. Dibalas ucapan terima kasih oleh Ayah dengan kekehan ringan.
"Bagaimana pendapat Nak Faris tentang perempuan yang berkarir, seperti yang Nak Faris ketahui Alesha sekarang masih koas dan perjalanan dia untuk menjadi dokter juga masih panjang. Rencananya dia akan ambil spesialis juga, selain itu dia juga mengembangkan bisnis hijabnya," tanya Ayah setelah mengunyah dan menelan makanannya dengan sempurna.
"Justru saya sangat bangga, Om. Asalkan perempuan itu masih mampu menjalankan kodratnya dengan baik. Kodrat wajib perempuan hanya 3, menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Selain 3 kodrat tersebut, perempuan sama seperti laki-laki kan? Masih bisa berkarir dan menggapai mimpi-mimpinya," jawabnya secara lugas disambut senyum yang lebar oleh Ayah.
Aku sangat setuju dengan hal tersebut, seringkali kita salah persepsi dan menganggap bahwa perempuan harus di rumah saja dan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Padahal perempuan juga bisa berdikari dan berperan di ranah publik.
"Ada satu hal lagi yang ingin saya tanyakan," sahutku seraya menarik napas panjang, "Jika sudah menikah nanti, Dokter Faris akan mengajak istri dokter untuk tinggal di mana? Lalu terkait pekerjaan domestik yang ada di rumah siapa yang akan mengerjakan? Apakah Dokter Faris juga berkeinginan untuk langsung memiliki anak? Jikalau nanti setelah menikah ternyata belum juga memiliki keturunan, bagaimana sikap yang akan diambil?" Aku memberondongnya dengan banyak pertanyaan dan yang diberi pertanyaan masih asyik mengunyah makanannya.
"Lesha, satu-satu tanyanya. Itu mah bukan satu hal lagi Lesh, banyak hal itu!" Mas Rafi mengiterupsiku dan kubalas dengan cengiran.
"Santai, Raf. Bakal dijawab semuanya," dia tertawa dan seperti biasanya senyumnya membuat matanya berubah menjadi segaris.
"Selama ini saya tinggal di apartemen karena memang hidup sendiri, jika nanti istri saya berkenan untuk tinggal di sana ya saya akan mengajak tinggal di sana. Tapi saya sudah membangun rumah juga untuk saya tinggali bersama istri dan anak-anak saya, masih berupa tanah sih," dia meringis.
"Karena saya inginnya rumahnya nanti di desain bersama, intinya dimanapun kita tinggal nanti saya inginnya hidup mandiri. Tentang pekerjaan domestik, kita bisa membagi tugas. Biasanya memang saya yang mengerjakan sendiri, kalau tidak sempat ya saya panggil jasa bersih-bersih," lanjutnya.
"Terakhir untuk masalah anak, saya tidak memaksa jika memang istri saya nanti belum siap. Karena yang akan hamil, melahirkan, dan menyusui kan dia. Walaupun kami belum dikaruniai anak juga tidak masalah, menikah bukan hanya soal anak kan? pungkasnya. Dia menggunakan diksi 'istri saya' bukan 'kamu' karena belum tentu juga kami akan berjodoh kan?
"Sudah, Lesh? Adalagi?" tanya Ayah, "Itu makanan kamu dimakan, jangan diaduk aja," tegur Ayah.
"Sudah cukup, sekarang Dokter Faris mungkin ada yang ingin ditanyakan pada saya." Aku mulai menyuap makanan di piring yang sejak tadi hanya aku aduk.
"Menurut kamu, konsep istri yang taat kepada suami itu seperti apa?" tanyanya singkat.
Aku menelan makanan terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaannya, "Mematuhi semua perintahnya, tapi dalam hal kebaikan. Tapi jika ada hal yang tidak saya inginkan, maka saya akan terus terang kalau saya gak mau menjalaninya. Tentu saja bukan dalam hal menolak nasihat baik."
"Lalu selanjutnya, saya kan sedang sibuk-sibuknya menjadi residen, jika nanti saya tidak bisa meluangkan seluruh waktu saya selama 24 jam untuk kamu. Apa yang akan kamu lakukan?" tanyanya lagi.
"Mau bagaimana lagi kalau memang tuntutan pekerjaan dan janji yang telah diucapkan dulu ketika pengambilan sumpah dokter. Saya akan berusaha, ya meskipun saya juga belum tahu nanti teknisnya bagaimana," jawabku. Sebagai dokter muda saja rasanya sudah sangat sibuk, apalagi sekolah spesialis.
"Sudah cukup dari saya, mungkin om Hamdan ada yang mau ditanyakan lagi?" tanya Dokter Faris pada Ayah.
"Kamu pasti punya usaha lain ya, selain menjadi dokter? Bukan bermaksud apa-apa, hanya saja finansial bisa menjadi salah satu problem di rumah tangga," tanya Ayah.
Dokter Faris tersenyum, "Om nggak perlu khawatir, saya tidak mungkin kan mengajak anak orang menikah jika belum mampu secara finansial," jawabnya tenang.
"Kompleks restoran dan hotel ini milik saya Om, walaupun bukan 100% saya yang mengelola karena sebenarnya saya tidak terlalu suka berbisnis. Saya lebih suka ketemu banyak orang di rumah sakit daripada harus berhadapan dengan banyak dokumen dalam setiap harinya. Tapi ya karena saya tidak punya saudara, mau tidak mau saya yang harus meneruskan usaha ini meskipun harus dibantu tangan kanan Ayah saya untuk menjalankannya," jelasnya panjang lebar dan membuatku terdiam tanpa menjawab apa-apa. Jadi aku akan menikahi pewaris tunggal kaya raya?
"Ayah nggak perlu khawatir, Faris ini bukan sembarang dokter. Kekayaannya kayaknya gak akan habis sampai 7 turunan," Mas Rafi menanggapi dengan sedikit hiperbola dan sontak membuat kami berempat tertawa.
"Udah, apalagi yang mau dibahas? Udah kenyang gini enaknya tidur," gurau Mas Rafi.
"Aku mau menyampaikan satu hal lagi, yang mungkin sebelumnya sudah aku bahas sedikit di CV kemarin. Seperti yang telah aku tulis, aku pernah mengalami kejadian buruk ketika masih berumur 10 tahun," Napasku tercekat, karena sulit sekali rasanya kembali menceritakan hal tersebut.
"Lesha, nggak usah diceritakan kalau memang nggak bisa. Nanti Mas yang cerita detailnya ke Faris," cegah Mas Rafi setelah melihat perubahan di wajahku. Aku mendongakkan kepala memandang Dokter Faris yang masih setia dengan senyum tenangnya.
"Saya sudah tahu garis besarnya, Sha. Kamu nggak usah khawatir, kita sama-sama saling memiliki trauma. Saya harap jika Allah takdirkan kita untuk menikah nanti, kita bisa saling melengkapi kekurangan tersebut. Saya sudah yakin untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, kalau kamu masih butuh waktu untuk istikharah dan meyakinkan diri, saya siap menunggu." Dia tersenyum teduh ketika berbicara.
Aku sedikit memikirkan bagaimana dia memanggilku, jika Mas Rafi dan Ayah biasanya menyebut 'Lesh' atau 'Lesha' dia menggunakan nama akhir untuk memanggilku 'Sha'
Terdengar aneh tapi aku suka.
"Butuh waktu berapa lama untuk berpikir?" Mas Rafi bertanya kepadaku.
"1 minggu dari sekarang," jawabku. Aku butuh waktu untuk meyakinkan diri, apalagi besok ujian akhir di stase anak. 1 minggu dari sekarang aku sudah selesai menjalani ujian tersebut. Semoga momen tersebut merupakan momen yang tepat.
⛴️⛴️⛴️
To Be Continued
Jangan lupa vote dan komen, ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Terakhir
SpiritualAlesha Dzakiya, perempuan dengan sejuta trauma yang dimilikinya. Seorang mahasiswi program studi pendidikan dokter yang baru saja menyelesaikan studinya. Sebentar lagi akan melaksanakan koas sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar dokter...