Chapter 12

24 3 0
                                    

Tinggalkan cerita ini jika membuatmu lalai dalam beribadah. Jadikan Al-Qur'an Sebagai Bacaan Utama💗

Jangan lupa vote dan follow akun aku untuk mengetahui notifikasi update. Share juga ke teman-teman kalian ya! Terima kasih💗

Happy Reading
⛴️⛴️⛴️

“Ayah sudah pesan bubur ayam, kita makan ini dulu.” Ayah berucap tepat ketika aku dan Mas Rafi sampai di samping Ayah yang sedang  berdiri di depan penjual bubur ayam langganan kami setiap ke sini.

“Silahkan, Pak.” Mang Iman menyerahkan tiga mangkuk bubur ayam yang asapnya masih mengepul.

“Terima kasih ya, Mang.” Aku mengucapkan terima kasih kepada Mang Iman setelah menerima semangkuk bubur ayam.

“Nak Alesha,” panggil Ayah di sela-sela kami makan, tentu saja setelah menelan buburnya dengan baik. Kebiasaan kami memang seperti itu, menyempatkan berbicara di sela-sela kami makan.

Aku mendongak menatap Ayah, “Iya Ayah, ada apa?” jawabku. Aku merasa pembicaraan ini akan serius dan menyangkut tentang diriku.

“Misalnya ada laki-laki yang baik agamanya, baik akhlaknya, tampan parasnya, dan dia ingin berkenalan dengan kamu. Bagaimana menurut kamu, Nak?” tanya Ayah secara tiba-tiba yang sontak membuat aku tersedak bubur ayam yang sedang aku makan

“Uhuk – uhuk, khem.” Rasanya seperti bubur ayam ini akan keluar melalui hidung, Mas Rafi buru-buru memberikan aku air minum kemudian aku meminumnya.

Aku masih menetralkan nafas dan terbengong. Heran dengan laki-laki yang ingin mengenalku lebih jauh, dia melihatku  dari apanya?

Setelah menetralkan nafas, aku bertanya pada Ayah. “Siapa Yah? Kenapa harus aku?” Karena aku masih terheran-heran, bagaimana laki-laki itu bisa tahu aku?

“Salah satu temannya Mas Rafi, ayah juga sudah tahu dia dari lama, tapi akrabnya baru-baru ini,” jawab Ayah. Temannya Mas Rafi yang mana coba? Aku masih terdiam berusaha mencerna jawaban yang diberikan oleh Ayah.

“Tapi dia sudah tahu tentang masa lalu dan trauma yang aku alami? Memangnya dia mau menerima aku yang seperti ini?” Aku bertanya dengan pesimis.

“Belum tahu, kalau kamu setuju mau berkenalan lebih jauh kirim CV kamu nanti Mas Kirim CV dia juga ke kamu. Kamu bisa cantumkan semuanya di CV tanpa ada yang ditutup-tutupi. Kalau memang kalian berdua setuju untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, nanti nadzor. Jangan pesimis, semua yang terjadi bukan keinginan kamu. Semua sudah berlalu dan telah digariskan oleh sutradara terbaik. Kamu pikirkan baik-baik dan jangan terburu-buru,” jelas Mas Rafi menjawab pertanyaanku.

“Iya, Nak. Dicoba dulu ya. Siapa tahu Mas Rafi juga berminat untuk ta’aruf juga sama Arsyila. Gimana Mas?” tanya Ayah menggoda Mas Rafi yang hanya dibalasnya dengan senyuman.

“Boleh kalau anaknya mau sama Mas, mau gak Lesh? jawab Mas Rafi disertai dengan pertanyaan yang ditujukan kepadaku.

Aku tersenyum menanggapi pertanyaannya, “Coba kirim CV mas dulu lah, nanti aku bilang ke Arsyila.”

“Yaudah gini aja, kamu jadi perantara antara Mas sama Arsyila, Mas jadi perantara antara kamu dengan Faris. Tapi tetep nanti didampingi sama Ayah, gimana yah?” usul Mas Rafi.

Aku sedikit loading setelah mendengar nama laki-laki yang disebutkan oleh Mas Rafi. Faris yang dimaksud ini Faris siapa sih?

“Nama laki-laki itu Faris, Dokter Faris kah?” Aku bertanya dengan penasaran.

“Iya, dia sudah menaruh atensi ke kamu sejak pertama kali kalian ketemu. Dia bilang kalau niat baik tidak boleh ditunda, jadi Faris sudah bilang ke Ayah sama Mas kalau mau ngajak taaruf kamu,” jelas Mas Rafi.

“Tapi, dia kayak biasa aja pas ketemu sama aku. Interaksi kami juga tidak menunjukkan kalau dia tertarik sama aku. Ayah sama Mas Rafi gak salah kan?” tanyaku dengan heran. Aku dan Dokter Faris berinteraksi seperti biasanya, bahkan kami melupakan kejadian ketika pertama kali kami bertemu di kampus. Kok bisa dia menaruh atensi berlebih ke aku? Masih menjadi tanda tanya besar.

“Ya itu namanya menjaga dong, perempuan itu dijaga dan cara Nak Faris menjaga kamu ya dengan bersikap biasa saja. Meskipun Ayah yakin, jantungnya Nak Faris pasti selalu bertalu-talu jika berhadapan dengan kamu. Cuma gak diperlihatkan aja,” jelas Ayah. Masuk akal juga sih penjelasan Ayah. Karena interaksi kami tidak lebih dari sekedar koas dengan  dokter residen.

“Iya sih, tapi masih heran. Udah ah mending sekarang kita jajan, mumpung libur dan di sini.” Aku menarik lengan Ayah dan Mas Rafi untuk menuju jajaran para penjual.

“Beli yang benar-benar mau dimakan, jangan beli semua nanti akhirnya gak dimakan. Mubazir!” Seru Mas Rafi yang diangguki oleh Ayah.

“Iya-iya,” jawabku dengan wajah memelas.

⛴️⛴️⛴️

Kami bertiga kembali ke rumah sekitar jam 10, Mas Rafi yang menyetir. Dia bilang belajar menyetirnya lanjut nanti sore saja, yauda ikut gurunya saja agar ilmunya barokah haha.

“Mas Rafi yang cuci baju ya? Beres-beresnya nanti sore aja, aku ngantuk mau tidur dulu. Terima kasih Mas sayang!” Aku melangkahkan kaki menuju kamar setelah memberikan mandat kepada Mas Rafi untuk mencuci baju.

Walaupun setelah mandi dan bebersih diri, aku tetap tidak bisa tidur. Masih memikirkan tentang tawaran taaruf dari Dokter Faris. Kenapa dia kepikiran untuk mengajak aku berkenalan lebih jauh, apa karena aku telah menolongnya di pertemuan pertama kami? Rasanya tidak, karena aku yakin semua orang yang masih mempunyai hati nurani akan melakukan apa yang aku lakukan padanya saat itu.

Aku menatap figura – yang terdapat foto Ibu di dalamnya – di atas meja belajarku. Lagi-lagi air mataku mengalir tanpa permisi setelah tidak berhasil kubendung. Andaikan Ibu masih ada di sini, pasti aku bisa bercerita banyak kepadanya.

Aku memutuskan untuk menghubungi Arsyila untuk menanyakan terkait kesediaannya berkenalan dengan Mas Rafi. Hari ini sungguh hari yang aneh, aku dikejutkan oleh 2 hal. Hall yang pertama mengenai ajakan Dokter Faris untuk bertaaruf dan hal yang kedua yaitu kesediaan Mas Rafi untuk bertaaruf dengan Arsyila.

Aku menghadapi hal pertama dengan kebingungan dan menghadapi hal kedua dengan sangat senang. Kalian jika menjadi aku tentu saja akan bingung kan? Aku juga kok, tapi setidaknya aku senang karena Mas Rafi menerima tawaranku beberapa waktu yang lalu untuk berkenalan lebih jauh dengan Arsyila.

“Halo, Syil. Aku ada kabar baik dan kabar yang kurang baik,” ucapku begitu panggilanku tersambung dengan Arsyila.

“Kabar baiknya, Mas Rafi menerima tawaran untuk kenalan dengan kamu lebih jauh. Kirim CV kamu ke aku ya, nanti aku teruskan ke Mas Rafi,” jelasku antusias setelah mendengar tanggapan dari Arsyila. Nampaknya dia juga kaget dengan penjelasanku, kemudian dia ingin mengetahui tentang hal yang kurang baik.

“Dokter Faris ngajak aku taaruf, gimana menurut kamu?” tanyaku dengan nada rendah pada Arsyila yang dijawabnya dengan pekikan tanda bahagia. Aku menghela napas, apakah ini tandanya aku harus menerima ajakan itu?

⛴️⛴️⛴️
To Be Continued

Vote dan komen, ya cintaku. Terima kasih😚

Pelabuhan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang