Chapter 19

39 1 0
                                    

Tinggalkan cerita ini jika membuatmu lalai dalam beribadah. Jadikan Al-Qur'an Sebagai Bacaan Utama💗

Jangan lupa vote dan follow akun aku untuk mengetahui notifikasi update. Share juga ke teman-teman kalian ya! Terima kasih💗

⛴️⛴️⛴️

Waktu akan terasa berlalu lebih cepat jika kita menjalaninya tanpa beban, berbeda dengan halnya jika kita menjalaninya dengan banyak beban. Seperti halnya seminggu kemarin, aku babak belur dihantam oleh ujian akhir di stase anak. Seminggu yang biasanya berjalan dengan cepat, entah kenapa berjalan sebaliknya.

Padahal ujian tersebut hanya berjalan dari hari Selasa-Jumat, Senin belum aku hitung karena pertanyaannya masih ringan. Aku kembali berpikir, baru awal menjadi dokter muda kok rasanya aku ingin menyerah ya? Tapi ini sudah terlanjur di tengah jalan, kurang dari 3-4 tahun lagi aku sudah bisa menjadi dokter. Ah sudahlah, pasti bisa kalau dijalani dengan sungguh-sungguh.

Kelanjutan taaruf dengan Dokter Faris belum aku jawab, hari ini masih hari Sabtu dan aku libur. Setelah menyelesaikan ujian akhir setiap stase, dokter muda akan diberikan waktu libur selama 2 hari yaitu Sabtu dan Ahad. Libur 2 hari tersebut tidak sepadan dengan babak belur kami selama menjalani satu stase di koas. Meskipun begitu aku harus tetap mensyukurinya kan?

Sejak pagi aku bermalas-malasan dan goleran di atas kasur, yang memasak tadi pagi juga Mas Rafi, sedangkan yang menyapu rumah seperti biasa menjadi tugas Ayah. Tentang cucian baju kotor, pada akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan jasa laundry karena sudah tidak ada waktu lagi untuk mengerjakannya sendiri.

Aku membuka room chat grup Whatsapp taaruf dengan Dokter Faris. Pesan yang dikirim Mas Rafi belum aku balas sejak kemarin, Dokter Faris juga tidak menanggapi. Aku sudah berpikir dan yakin sejak kemarin, hanya saja belum sempat untuk menjawab.

Alesha
Bismillahh, Alesha menyetujui untuk berlanjut ke proses khitbah

Setelah mengetikkan balasan tersebut, aku bangkit tadi kasur untuk menuju ke dapur. Aku melihat jam dinding menunjukkan angka 10.00. Pantas saja perutku terasa lapar karena terakhir kali makan nasi kemarin sore sebelum pulang dari rumah sakit. Makan siang yang aku gabungkan dengan makan malam dan aku makan ketika sore hari. Malam harinya ketika diajak Mas Rafi untuk makan, aku menolak karena masih merasa kenyang.

Aku membuka tudung saji dan seperti biasa ada masakan Mas Rafi dan dituliskan notes di sebelahnya. Memang sejak pagi aku sama sekali belum keluar dari kamar, setelah sholat subuh melanjutkan tidur lagi. Salah satu cara meromantisasi hari libur adalah dengan tidur, jangan ditiru ya teman-teman.

“Dimakan sarapannya, Ayah sama Mas sengaja nggak bangunin kamu. Soalnya kelihatan lelah banget,” tulis Mas Rafi pada notes tersebut.

Aku tersenyum membacanya, kedua laki-laki tersebut jarang sekali mengungkapkan rasa sayangnya secara lisan. Tapi tak jarang selalu melakukannya dengan tindakan. Aku duduk di salah satu kursi di meja makan kemudian mulai menyantap masakan Mas Rafi. Entah ini bisa disebut sarapan atau makan siang.

Setelah selesai dengan kegiatan sarapan yang digabungkan sekaligus dengan makan siang, aku kembali lagi ke kamar. Bukan untuk tidur lagi, tapi untuk mengganti sprei yang entah sejak kapan belum diganti lagi. Aku lupa haha. Tak lupa untuk membersihkan seluruh sudut kamar dan mengepelnya

Selesai berkutat dengan sprei yang telah aku kumpulkan menjadi satu di ruang laundry dan membersihkan kamar, aku mengambil ponsel untuk kembali memeriksa apakah ada balasan dari orang-orang di grup tersebut. Karena sudah menunjukkan waktu istirahat dan sebentar lagi adzan dzuhur akan segera berkumandang.

Dokter Faris
Alhamdulillah, artinya saya diterima ya Sha?
Kiranya kapan om dan sekeluarga ada waktu luang dan saya bisa mengkhitbah secara resmi sekaligus menentukan tanggal pernikahan.

Mas Rafi
Bro gue nih satset banget, besok bisa bro. Kita libur semua, gas lah!

Dokter Faris
Besok pagi ya?

Mas Rafi
Boleh, Ris. Ayah sama Alesha udah pasti setuju-setuju aja

Mas Rafi selaku juru bibir mengetikkan balasan untuk menyetujui kapan waktu untuk khitbah secara resmi sekaligus menentukan tanggal. Sebenarnya aku masih takut juga apakah nanti bisa membagi waktu dengan baik ketika sudah menikah. Tapi jika partnernya seperti Dokter Faris rasanya semuanya akan mudah. Aku juga bisa belajar banyak darinya tentang ilmu-ilmu kedokteran.

⛴️⛴️⛴️

Karena acara hari ini akan dilaksanakan sejak pagi. Aku memutuskan untuk membuat kue yang akan dihidangkan sejak kemarin. Hari ini hanya akan membuat hidangan untuk makanan utama, tentu saja dipimpin oleh Mas Rafi. Jika Arsyila menikah nanti dia akan sangat beruntung, dia tidak terlalu bisa memasak dan mendapatkan suami yang pandai memasak. Aman sudah perutnya setiap hari haha.

“Ini sudah matang, masukkan ke wadah yang agak besar Lesh. Tadi mas udah ambil di kabinet.” Mas Rafi memberikan perintah kepadaku untuk memindahkan kari ayam dari panci ke mangkuk saji.

“Mas cuma masak kari ayam aja kan? Lagian Dokter Faris kesini sendirian, nggak usah masak banyak-banyak nanti mubazir nggak kemakan. Lagian kemarin aku sudah bikin kue lumayan banyak. Biar nanti dibawa pulang juga,” ucapku melanjutkan kegiatan menghidangkan kari ayam di atas meja makan.

“Kamu masih panggil dokter? Ganti panggilannya yang lebih enak didengar kek. Kamu bukan pasiennya, Lesh.” Mas Rafi mengindahkan pertanyaanku dan justru bertanya terkait panggilan yang aku gunakan untuk memanggil Dokter Faris.

“Ya biarin aja kenapa sih, aku udah nyaman panggil gitu. Nanti bisa diubah pelan-pelan, gak harus dari sekarang kan?” sahutku menanggapi pertanyaan Mas Rafi.

“Iya nak, gapapa pelan-pelan. Ibu kalian malah dulu panggil Ayah dengan sebutan ‘Pak.’ Semua memang butuh proses, pelan-pelan saja.” Ayah datang menuju ke dapur dan menyetujui ucapanku.

Tak lama dari perdebatan kami di dapur, bel pintu utama berbunyi. Sepertinya Dokter Faris sudah datang. Aku juga sudah siap sejak pagi sih, Mas Rafi yang masak semuanya dan aku hanya bantu memindahkan ke dalam wadah. Ayah berjalan menuju ke pintu utama untuk menyambut Dokter Faris. Aku melanjutkan untuk menyusun Nasi dan Mas Rafi mencuci peralatan memasaknya.

“Assalamu’alaikum, selamat pagi semuanya.” Dokter Faris berjalan memasuki area ruang makan dan menyapa kami.

“Wa’alaikumussalam Warahmatullah,” jawabku dan Mas Rafi secara bersamaan, “Duduk, Ris. Pasti belum sarapan kan?” tanya Mas Rafi seraya mempersilahkan kepada Dokter Faris agar segera duduk.

“Sudah tadi, tapi sarapan roti,” jawabnya yang sontak membuat kami semua tertawa renyah.

Kami berempat menempati posisi masing-masing, seperti biasa Ayah berada di kursi utama sebelah kanan. Sebelah kiri Ayah ada Mas Rafi yang berhadapan dengan Dokter Faris dan aku di sebelah kiri Mas Rafi.

“Makan dulu sebelum melanjutkan pembahasan, Ayah sudah lapar banget ini.” Ayah meraih sendok nasi dan mulai mengisi piringnya.

“Ayok Ris, anggap aja rumah sendiri.” Dilanjutkan dengan Mas Rafi yang mengambil nasi setelah Ayah, kemudian Dokter Faris dan aku menjadi yang terakhir.

Kami sarapan dengan candaan ringan yang dilontarkan Mas Rafi membahas penugasannya di pedalaman bersama Dokter Faris dulu.

⛴️⛴️⛴️
To Be Continued

Jangan lupa vote, komen, follow, dan share ke teman-teman kalian.

Maaf kalau banyak typonya

Aku mau nanya mungkin ada yang tahu seberapa lama ujian setiap stase yang harus dilalui oleh dokter muda? Karena lagi-lagi aku nggak tahu gais, jadi sementara ini anggap saja seperti itu dulu ya. Maafkan, aku harus banyak riset nih

Terima kasih sudah mampir ke lapak Alesha, lope you all

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 29 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pelabuhan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang