Siang ini sangat panas, tapi aku malah berlarian di bawah teriknya matahari di siang bolong.
Aku tidak kan mau bersusah payah seperti ini jika bukan karena Kala. Tadi pagi anak itu tidak sekolah. Ketika aku bertanya pada anak tetangga Kala, dia berkata bahwa Kala akan pindah besok.
Masih menggunakan seragam, aku berlari mencari anak itu ketika bel pulang telah berbunyi.
Sepertinya aku tahu di mana Kala berada saat ini. Langkahku melambat dengan napas tak beraturan. Aku menemukan Kala.
Angin yang sedikit kencang menerbangkan rambut ikal kecoklatan milikku. Bersamaan dengan banyaknya alang-alang yang berada di pinggir jalan dekat sawah di samping jalan ini.
"Kala!"panggilku yang masih berusaha menetralkan napas ku.
Di sana, kala yang sedang duduk di rumput hijau menetap pada pekerja sawah. Dia menoleh padaku dengan wajah terkejut.
Sial, jika bukan karena anak itu telah banyak membantuku selama ini, aku tak akan mau repot-repot mencarinya hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Lebih baik aku membaca buku sembari berbaring ditemani kipas angin di rumah saja.
Aku mendekati Kala dan duduk di sampingnya. Sejenak aku dan dia tak saling mengeluarkan suara, sebelum aku memberi celetukan,"kamu, kok, nggak bilang kalau mau pindah?"
Kala menunduk dengan mata berkaca-kaca. Anak ini sangat melankolis.
"Maaf, Aga. Aku takut nangis kalau mau pisah sama kamu ...." Dan benar saja, setelah mengatakan itu, air mata mulai membanjiri wajah Kala. Anak itu menggosok matanya yang berair dengan lengan. Mencoba untuk menghalau air mata.
Aku menghela napas dan menepuk-nepuk pundaknya. Anak ini masih sama cengengnya sedari dulu. Padahal kami telah memasuki kelas enam.
"Udah-udah, nanti pasti ketemu lagi, kok, kalau udah gede!" Ujarku mencoba menenangkan.
Dia menerjang ku dengan pelukan serta tangis yang mengeras. Membuatku terbaring pada rumput hijau di bawah pohon mangga ini.
Mataku menangkap pada cahaya matahari yang terlihat dari sela-sela dedaunan di atas sana. Terlihat begitu bersinar.
Aku tak mengucapkan apapun lagi, membiarkan Kala mengeluarkan emosinya. Dia masih anak kecil, tentu memiliki perasaan yang lebih tulus dari orang yang lebih tua. Aku memakluminya.
Selanjutnya, setelah adegan dramatis itu, kami membicarakan banyak hal di temani angin sepoi-sepoi di sini, menikmati waktu-waktu terakhir kami bersama setelah beberapa tahun ini. Aku harap Kala menjadi lebih berani di sekolah barunya nanti dan mendapat banyak teman.
Tak seperti di sini, Kala hanya akrab denganku. Tak berani mengajak anak lain berbicara terlebih dahulu.
*
*
"
*
*"Bu, sarapannya udah abis. Raga berangkat, ya!"aku berseru sembari memakai sepatu baruku.
Ibu membalas seadanya dari kebun belakang rumah. Aku berdiri, memperbaiki dasi biruku dan berjalan meninggalkan rumah.
Ini adalah hari pertamaku memasuki jenjang menengah pertama. Aku sedikit merasa gugup. Semoga aku bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Karena saat masih menjadi Ayash, aku putus sekolah saat kelas lima SD. Bertepatan dengan bapak dan ibu yang bercerai.
Aku melihat gedung sekolah baruku. Yang ini lebih baik dari SD, karena memiliki beberapa hal yang di renovasi. Sepertinya dana untuk desa ini mulai tertata dengan baik. Akhir-akhir ini banyak yang di perbaiki di desa ini.
Aku melihat Edo dan teman-teman lain yang memanggilku di sana. Aku memberikan senyum dan berlari kecil ke arah mereka. Yah, sepertinya masa SMP ini juga tak akan buruk. Aku juga berharap demikian di masa SMA nantinya.
Aku tiba-tiba memikirkan awal mulai dari Raga yang di novel memasuki alur di masa SMA. Saat itu Raga menjadi anak yang di benci dan di cap tak tau diri. Karena sikapnya yang semena-mena dan suka mengganggu karena telah merasa berkuasa setelah pindah ke rumah ayahnya yang seorang pengusaha ke kota.
Bahkan Raga yang asli tak sedikitpun menunjukan rasa sedihnya karena kepergian sang ibu.
Dalam hati aku bertekat, tidak akan menjadi seperti itu. Aku juga akan berusaha membuat ibu sehat. Lebih baik aku di desa ini terus. Hidup bersama ayah Raga yang memiliki keluarga baru sepertinya akan menyusahkan. Walaupun di ceritakan bahwa istri baru ayah Raga adalah orang yang baik sekalipun.
Yah, untuk skerang mari kita nikmati masa sekolah ini dengan bermain dan belajar.
*
*
*
*
*"Bu, Raga pulang."aku memanggil begitu selesai melepas sepatuku.
Namun tak ada suara yang menyahuti. Aku memasuki rumah dengan alis mengernyit. Di mana ibu? Biasanya wanita itu akan menyambut ku dengan semangat. Apa lagi di hari pertama sekolah seperti ini.
Aku memeriksa kamarnya, namun tak menemukan sosoknya. Lalu aku berlari kecil menuju dapur.
Aku berhenti di pintu dapur. Mataku melebar begitu melihat ibu yang tergeletak dengan hidung berdarah di lantai dapur sederhana kami.
Aku mendekati ibu dan mengangkatnya menuju sofa lapuk di depan. Jantungku berdetak dengan cepat.
Secepat mungkin aku berlari keluar dari rumah dan menuju rumah tetangga yang paling dekat. Aku harus meminta pertolongan untuk membawa ibu ke puskesmas.
*
*
*
*
*Aku mengelap air mataku begitu membaca kertas dari rumah sakit di tanganku. Setelah tiba di puskesmas tadi, bidan itu berkata bahwa ibu harus di rujuk ke rumah sakit.
Sesuai dengan isi novel, ibu benar-benar memiliki penyakit leukimia. Tapi aku aku tak bisa berbuat banyak.
Kamu hanya mendapat penghasilan dari ibu yang menjadi penjual kue. Jika aku ingin ibu sembuh, maka harus terapi. Tapi biayanya ....
Namun, apakah aku harus diam saja melihat ibu kesakitan seperti itu? Ayo, Raga!
Kamu sudah berpengalaman bekerja serabutan, bukan? Sepertinya aku bisa memulainya lagi. Tidak untuk membeli alkohol lagi, tapi demi kesembuhan ibu.
*
*
*
*
*Aku memijat lengan ibu yang berbaring di kasur rumah sakit ini.
Aku lihat wanita yang masih terlihat cantik itu tersenyum, memperlihatkan gingsul nya yang manis. Dia menggapai tanganku dan menepuk-nepuk nya.
"Udah, ibu nggak apa-apa. Maaf buat kamu khawatir, ya, Ga."dia yang wajahnya pucat seperti itu masih bisa berkata tidak apa-apa.
"Ibu nggak perlu minta maaf. Lagi pula ini tugas Aga sebagai anak!"aku berujar dengan senyum yang ikut mengembangkan.
Tanganku mengepal di bawah sana. Aku tak ingin kehilangan senyum manis ibu. Karena yang aku miliki dan bisa percaya cuma ibu di dunia ini.
Semuanya terasa palsu kecuali ibu. Entah aku yang terlalu berpikir negatif atau apapun. Yang terpenting adalah aku tak ingin kehilangan ibu dan meninggalkan desa ini.
*
*
*
*
*Terimakasih telah membaca!
Have a nice day!(。•̀ᴗ-)✧
KAMU SEDANG MEMBACA
want to be successful
FantasyCover by pinterest •not bl🙅🏻♀️ Ayash menyia-nyiakan kehidupannya karena terlarut dalam kesedihan. Pria berusia sembilan belas tahun itu menjadi pemabuk setelah ibunya meninggal, melupakan permintaan terakhir sang ibu yang ingin anak semata wayan...