Kahlevi Ranjaya Madhava

2K 272 16
                                    

Aku berdiri di depan rumah. Menatap penasaran pada apa yang akan di bawa oleh ayah ke rumah ini.

Yang aku dengar-dengar, dia berusia sama denganku, juga anak yang pintar. Aku menanti akan ada hal menarik apa setelah ini.

Namun, yang aku lihat hanyalah anak biasa yang begitu ambisius. Tipikal orang yang tidak seru.

Oh, tapi apa ini? Aku melihat raut wajah tak suka itu. Kurasa ini akan sedikit menarik. Tidak ada salahnya mencoba mendekat dan mencari lebih jauh, kan?

Tapi anak ini begitu susah dan suka menghindar. Selama aku hidup, tak pernah sekalipun aku di tolak oleh orang lain. Ini membuatku gila dan tidak bisa tidur. Aku harus memilikinya.

Aku meminta ayah memberikan Raga padaku. Namun pria itu menolak. Ini menyebalkan! Aku tak pernah gagal mendapatkan apa yang aku inginkan sebelumnya.

Jika tak bisa dengan cara lembut, maka cara kasar sepertinya akan berhasil.

Malam itu di mulai. Aku menggigit lehernya. Darah itu, mengenai gigi dan lidahku. Membuat hatiku terasa berdesir karena adrenalin. Pekikan kesakitan dan raut wajah takut itu, rasanya sudah lama tak melihatnya. Ini menyenangkan.

Ku rasa cara ini berhasil, dia mulai menurut padaku. Tapi aku mulai tak suka jika orang lain berdekatan dengannya.

Bukankah dia sudah menjadi milikku? Berarti dia hanya boleh untukku.

Semakin lama, dia mulai berani lagi padaku. Pergi untuk waktu yang lama, bahkan mengabaikan perintahku. Dengan sedikit tipuan, aku berhasil membawanya kembali. Raga harus di beri sedikit pelajaran agar kembali menurut.

Itu kembali berhasil. Aku senang. Tapi, suatu hal kembali membuatku kesal. Aaron, laki-laki itu dan Gara berusaha menjauhkan Raga dariku secara diam-diam.

Aku mendorong Aaron ke dalam kolam. Itu hanya pelajaran kecil untuknya. Aku akan berbuat lebih jika dia kembali berulah. Tak perlu khawatir tentang Gara. Dia akan segera pergi dari sini. Karena aku meminta papa untuk mengirimnya pergi. Karena jika itu Ayah, lupakan saja. Dia tak berguna.

Dan yang menjadi masalah sekarang adalah teman-teman Raga yang terus menempel seperti lalat. Aku benci mereka. Terutama pada mantan ketua OSIS itu. Aku mengawasi semuanya. Aku melihat Raga yang begitu nyaman bersama laki-laki itu. Tapi padaku? Dia bahkan hanya tersenyum saat aku memaksanya.

Tapi mantan ketua OSIS itu tiba-tiba saja meninggal setelah ayahnya meninggal. Itu kabar yang bagus. Tapi Raga menjadi memberontak karenanya.

Sore itu Raga kembali ke rumah dengan kacau. Menuduhku yang membuat mantan ketua OSIS itu mati.

Aku menang berkata akan menyingkirkan lalat-lalat itu, tapi aku bahkan belum bergerak.

Tak masalah. Setidaknya satu masalah kembali terselesaikan.

Tapi satu hari itu Raga menghilang. Rasanya aku ingin membunuh seseorang sangking marahnya. Tidak kah dia mengerti keadaan? Dia hanya kelinci kecil yang lemah. Mengapa sekuat tenaga berusaha kabur? Aku hanya ingin dia menjadi milikku. Menjadi anak penurut dan menari untuk ku.

Tapi dia memilih hal ini. Dari satu hari, dua hari, tiga hari, dan selebihnya. Ini sudah cukup.

Aku akan benar-benar mengurungnya jika bertemu. Itu akan mudah dengan bantuan papa. Ah, seharusnya aku meminta hal itu lebih cepat pada papa.

Sekarang mari berpikir, salah satu tempat yang akan di pilih oleh Raga ... Bingo! Rumah jeleknya! Harusnya aku memikirkannya lebih awal.

Aku akan menangkapnya sendiri kali ini. Tapi lagi-lagi, dua orang menyebalkan yang selalu menempel pada Raga itu juga ada di sana.

Aku memikirkan sesuatu, dan membuat anak bernama Kala itu menjadi lebih gila.

Kami membakar rumah jelek itu. Ku lihat Raga meraung-raung di sana. Aku menyilangkan tangan dengan angkuh. Seandainya kamu tak banyak tingkah, ini tak akan terjadi, kan?

Saatnya membawa anak kelinciku pergi! Tapi apa ini? Dia ... Mengakhiri semuanya. Dia mengakhiri kesenanganku. Tidak, dia membakarnya.

Sampai sejauh ini, ya? Menyebalkan. Apa susahnya menurut? Ugh.

melihat pemakamannya, Aku mendengus. Kamu menolak ku sampai mati, ya?

Aku pergi dari sana. Gundukan tanah tak membuatku bersemangat.

Saat aku kembali ke rumah, aku melihat seseorang di rumah tamu. Duduk bersila dengan cerutu di tangannya.

Aku tersenyum dan menghampirinya.

"Papa!"pekik ku mendekatinya.

Tapi tak seperti yang aku harapkan, dia hanya menatapku datar. Apa yang terjadi?

"Kahlevi, apa kamu tau apa yang kamu lakukan?"Papa Dean bertanya dengan tajam. Apa ini?

Aku mengikat sbelah alisku. "Maksud papa?"

Pria tua itu menghisap cerutunya dengan wajah tertekan.

Ku lihat dia merogoh sakunya, lalu melemparkan foto-foto ku yang sedang menang bensin pada rumah Raga dan membakarnya.

Tapi, apa masalahnya? Bukan kah itu bukan masalah besar untuk papa?

"Memangnya kenapa, Pa?"tanyaku masih tak mengerti.

Papa menggebrak meja di depannya. "Dengar, Kahlevi. Kamu memang anak kesayangan ku. Kau boleh berbuat apapun. Tapi, jangan sampai di ketahui publik dan jangan permalukan aku. Apa kamu tidak mengerti juga? Bagaimana aku bisa punya anak sebodoh kau!"

Aku terdiam. Jadi, semua yang aku lakukan telah terekspos. Ini gawat!

Papa berdiri dengan pelan, lalu kembali berkata,"aku tidak mau orang bodoh memimpin perusahaan ku. Mulai sekarang, Dikta adalah pewaris sah dari perusahaan. Dan kau, akan ku asingkan di pulau pribadi. Tanpa kesenangan apapun. Itu adalah hukumanmu."

Aku melotot menatap tak percaya pada si sialan ini.

"Pa! Ini cuma masalah kecil, kan?! Ke---kenapa harus di asingkan?!"tanyaku dengan penuh amarah.

Papa terkekeh tanpa menoleh padaku."jadi kamu membantah? Kamu harusnya ingat, aku tidak suka pembangkang."

Ki telan ludahku sendiri diam-diam. Memakai diri sendiri dalam hati karena telah salah berucap.

"Aku tidak butuh anak bodoh. Kau akan ku singkirkan,"ujar papa seraya mengisyaratkan bodyguard untuk membawaku.

Tubuhku di tarik paksa oleh dua pria tinggi. Aku terus memberontak. Ini tidak adil!

"PAPA! PAPA! AKU TIDAK MAU! JANGAN! AKU MOHON, JANGAN BUNUH AKU! AKU BERJANJI TIDAK AKAN CEROBOH, PAPA!"teriakku dengan keras. Namun tak ada tanggapan darinya.

Ah ... Sialan, harusnya aku lebih berhati-hati.

***

Dean berhenti selah keluar dari rumah itu. Seseorang Dnegan stelan jas formal telah menunggu di luar sana. Juga dengan Dikta yang memakai jas mahal di dalam mobil sana. Tersenyum penuh percaya diri.

"Buat berita kalau Kahlevi Ranjaya Madhava bunuh diri karena rasa bersalah dan tidak tahan di hujat,"perintahnya seraya berjalan memasuki mobil yang sama dengan Dikta.

***













want to be successfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang