four

9.1K 1K 7
                                    


Seperti biasa, matahari begitu terik, bahkan saat di sore hari. Ini sudah memasuki jam empat sore, namun sang mentari tak kunjung redup.

Aku mengelap keringat dengan baju, begitu selesai membawa galon kosong terakhir ke toko Bu Ayu.

Saat akan berpamitan, Edo memanggilku dari kejauhan. Bahkan saat dia masih berlari di jalan dengan tergesa-gesa.

"Raga! Pulang, Ga! Ibumu!"teriaknya dengan mata berair.

Jantungku berdetak kencang secara tiba-tiba mendengarnya. Tak memperdulikan apapun lagi. Berlari sekuat yang aku bisa supaya segera sampai di rumah

Lutut yang terluka karena jatuh pun tak ku hiraukan. Namun entah kenapa, berlari pun terasa begitu lama.

Langkahku melambat begitu melihat banyaknya orang di depan rumah. Tanganku mendingin tanpa kusadari. Apa yang terjadi?

Pakde Imran, tetangga yang selalu membantuku membawa ibu ke rumah sakit merangkul bahuku dan menepuknya.

"Ikhlas, ya, le ... Sampean anak kuat,"ujarnya dengan nada bergetar.

"I---ini kenapa, pakde?"ujarku mencoba untuk menghalau semua pikiran buruk ku sendiri.

Aku di tuntun untuk memasuki rumah. Melihat semua tatapan yang menurutku memiliki makna iba.

Tubuhku melemas begitu sampai di ruang tamu. Di sana, ada tubuh yang di tutup oleh kain jarik. Aku mengerti sekarang.

Tuhan ... Sakit sekali. Ini, seperti mengalami kejadian yang sama untuk kedua kalinya.

Setelah semua yang telah aku lakukan, kematian ibu masihlah tak bisa di ubah. Mataku memburam, lalu sesuatu yang basah mengalir di pipi. Aku tahu, seharusnya aku tak boleh terlarut dalam perasaan pada mahluk yang seharusnya hanya tulisan.

Namun, kini aku berada dalam tubuh anaknya. Jiwaku berada di dalam raga anak dari Gendis Wulansari. Ikut membuatku menjadi darah daging wanita itu.

Dan, anak mana yang rela kehilangan ibunya? Bahkan untuk kedua kalinya ....

Suara-suara bising orang-orang di sekitar tak lagi bisa ku dengar. Suara dengungan memenuhi gendang telinga. Perlahan semuanya menjadi meredup, meninggalkan gelap di pengelihatan.

*
*
*
*
*

Aku menebarkan segenggam bunga terakhir pada makam basah ini. Meskipun mencoba kuat, air mata masih tak bisa ku lawan untuk tak keluar.

Sesak memenuhi dadaku. Mengapa semuanya terasa begitu cepat. Kurasa baru kemarin ibu tersenyum cantik padaku sembari memperbaiki dasi yang aku kenakan.

Kini yang bisa aku lihat hanya gundukan tanah dan nisan di depanku.

Edo menepuk bahuku dari belakang. Aku menoleh dengan wajah kuyu.

Edo menunjuk pada seorang laki-laki paruh baya menggunakan jas yang terlihat mahal sedang di kelilingi oleh pengawal di belakang sana. Seorang wanita paruh baya juga berada di sampingnya.

Mereka menatap ku dengan wajah yang tak bisa aku artikan. Namun aku memiliki tebakan atas identitas mereka.

Pria dan wanita itu mendekatiku. Tak ku berikan ekspresi apapun saat pria itu memelukku dengan punggung yang bergetar.

Pusing mendera kepalaku, namun air mata tetap mengalir begitu saja. Ayash, mengapa begitu lemah?

*
*
*
*
*

want to be successfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang