Ten

8.3K 896 18
                                    

Aku menghela napas lega melihat namaku berada di urutan kedua di kertas yang di tempel pada mading. Setidaknya kerja kerasku hingga kurang tidur tak terlalu sia-sia. Mataku menangkap pada nama urutan pertama. Itu adalah Abi. Dia memang sangat pintar.

Aku menyenggol lengan Abi main-main. "Selamat, ya, ranking satu!"

Dia menatap datar kertas itu.

"Makasih. Selamat juga, ranking dua."suara pasifnya membuatku terkekeh. Meskipun pintar, Abi kurang bisa untuk memperlihatkan emosinya. Tapi itu lucu menurutku.

Aku rasakan kepala seseorang berada di pundakku. Dia adalah Kala yang menghela napas dengan wajah cemberut.

"Kalian masuk tiga besar, kenapa aku di lima besar?!"kata Kala tak terima.

Ku cubit pipi anak itu sedikit kencang."siapa suruh suka tidur di kelas? Nggak merhatiin pelajaran pula."

Wajah anak itu masih cemberut. Namun tangannya bergerak memegang tanganku yang mencubit pipinya. Lalu menggesekkan tanganku pada pipinya. Kini dia tersenyum aneh.

Aku membuat wajah tak suka dan menarik tanganku menjauh."udah aku bilang, jangan gitu! Geli tau, nggak."

Aku memukul main-main lengan Kala, dan menarik Abi pergi dari kerumunan. Pemuda itu sedari tadi hanya diam dengan wajah datarnya yang menurutku seperti anak kecil yang polos.

Kala menyusul kami dengan wajah yang kembali cemberut. Anak ini benar-benar ....

Namun langkahku terhenti begitu ku dengar ayah yang memanggil dari luar sekolah dengan istri dan anaknya. Sepertinya semua rapor sudah di ambil.

Aku berpamitan pada kedua anak itu dan menghampiri mereka.

Ku rasakan elusan pada rambut dari tangan Ayah. "Selamat, ya, dapat ranking dua. Anak-anak ayah memang hebat."

"Selamat, Raga. Kerja kerasmu terbayarkan,"ujar istri ayah dengan senyum anggunnya.

"Terimakasih." Aku membuat senyum kecil. Tak merasakan apapun saat mendengarnya apresiasi itu.

Ku rasakan pegangan pada lenganku. Bisa dipastikan itu adalah Kahlevi dengan senyum lebarnya yang mengerikan untukku.

Kami berjalan menuju mobil, sudah saatnya untuk pulang.

*
*
*
*
*

Ku hembuskan nafas dengan lega begitu telah keluar dari rasa tak nyaman dari keramaian di dalam rumah sana.

Teman-teman Gara yang adalah geng milik Aaron sedang berkumpul setelah penerimaan rapor. Menghabiskan waktu bersama sebelum sibuk dengan urusan masing-masing saat menginjak bangku perkuliahan. Dan mereka memaksaku untuk bergabung dalam kebisingan mereka.

Ku tatap pantulanku dari air kolam ini, terdiam dengan pikiran yang menjadi kosong. Namun suara dari samping yang tiba-tiba membuat lamunanku buyar.

"Kamu terlalu sering melamun,"ujar Aaron sembari ikut memandang refleksi wajahnya di air kolam.

"Ku rasa nggak sesering itu."ku tatap wajah pemuda itu dari samping dan kembali berucap,"kak Aaron sepertinya memperhatikan sekali."

Dia terbatuk sesaat, lalu mengalihkan pandangannya pada sekeliling. Mungkin dia malu karena tersedak lalat.

"Nggak. Aku nggak gitu,"ujarnya setelah kembali normal. Aku tak membalas lagi. Membiarkan hening kembali mengisi.

Aaron, setelah setengah tahun lebih aku berada di kota ini, bertemu dengan pemuda itu tak bisa di hitung jari lagi. Membuat kami perlahan mau tak mau menjadi saling mengenal dengan pemuda itu dan teman-temannya yang lain.

"Kamu bisa hubungi aku kalau terjadi sesuatu. Aku yakin kamu sudah melihat seberapa gila anak-anak itu."Aaron berujar setelah hening beberapa saat dengan nada serius.

Tak sempat aku membalas, Aaron lebih dulu terjatuh ke dalam air secara tiba-tiba. Mataku melebar melihatnya, lalu mengalihkan pandangan pada Kahlevi yang membuat wajah terkejut dan merasa bersalah yang dibuat-buat.

"Kak Aaron, maaf. Levi nggak sengaja!"ujarnya saat Aaron kembali naik ke permukaan dengan basah kuyup. Anak lain mulai berdatangan ketika mendengar suara ribut dari sini.

"Ini kenapa?"Gara bertanya sembari mendekati Aaron.

"Kak, Levi nggak sengaja buat kak Aaron kecebur. Padahal tadinya cuma mau ngagetin. Maaf, ya ...."wajahnya yang manis dibuat memelas.

Aaron hanya mengangguk, lalu di bawa masuk oleh teman-temannya.

Kini Hanya ada Kahlevi, Gara dan aku. Ku tatap saudara itu yang tak mengeluarkan suara apapun.
Namun Kahlevi membuat senyum lebar di wajahnya. Sementara Gara hanya berwajah datar. Menatap ku dan Kahlevi bergantian sebelum pergi dengan langkah tenang.

"Ayo, Raga,"ajak Kahlevi sembari menarik tanganku.

Ku tatap pergelangan tanganku yang memerah. Lalu punggung Kahlevi di depan ku.

Ini memuakkan, aku benci.

*
*
*
*
*

Ku tatap langit malam yang penuh dengan bintang di balkon ini. Udara dingin menusuk kulit. Membuatku menggesek telapak tangan pada lengan. Meskipun dingin, aku masih ingin berada di sini.

Aku mendengar suara pintu yang di buka, lalu kembali di tutup. Suara langkah kaki tak terdengar, namun kurasakan tangan dingin seseorang memelukku dari belakang.

Perasaan kesal kembali menumpuk di hatiku. Tak kusadari tangan ku mengepal begitu keras, hingga membuat telapak tanganku terluka karena kuku.

Ku lepas kasar pelukan itu. Aku terdiam sejenak sebelum berbalik ke arah lahlevi. Nafasku memburu. Kahlevi bahkan tak membiarkanku tenang untuk sejenak.

Tangan kananku menunjuk dengan geram pada wajah Kahlevi yang terlihat santai dengan senyuman.

"Jangan ganggu aku. Bisa? Muak tau, nggak?!"tekan ku dengan nafas naik turun, aku tak bisa mengontrol emosiku lagi kali ini.

"Mood Raga kayaknya lagi jelek, ya? Jangan marah-marah, aku nggak suka,"santainya masih dengan senyum kecil serta sorot mata menakutkan miliknya.

Aku mengepalkan tangan dan mendesis sebal. Ingin rasanya berteriak kencang.

Ku dengar tawa renyah dari pemuda itu. Dia memegang kedua pipiku dengan dua tangannya. Lalu menarik sudut bibir ku ke atas, membuat senyum yang dia mau, dan membuat gigi gingsul ku terlihat.

Mataku penuh dengan rasa tak suka. Harga diriku rasanya seperti di injak-injak oleh anak ini. Di tubuh ku yang asli, aku lebih tua darinya. Seharusnya aku lebih kuat dari anak ini, tetapi mengapa melawan anak ini begitu susah?! Lihatlah dia yang memiringkan kepala dengan senyum puas itu.

Dia mendekatkan wajah. Senyumnya menghilang saat akan membisikan kata-kata di telingaku. "Menjauh dari Aaron. Lagi pula, dia nggak bakalan bisa bantu kamu, Aga ... Punyaku bakal tetap jadi punyaku."

Aku menutup mata karena kaget saat Kahlevi meniup telingaku. Dia kembali memperlihatkan senyumnya. Membawaku masuk ke dalam kamar meninggalkan balkon.

*
*
*
*
*

Hi! Terimakasih sudah membaca\⁠(⁠^⁠o⁠^⁠)⁠/

Have a nice day!

want to be successfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang