eleven

7.6K 846 14
                                    

Aku memperbaiki letak tas yang ada di pundak ku. Menatap rumah sederhana yang ku rindukan di depan sana.

Mataku beralih pada pohon mangga yang tanahnya sudah dipenuhi oleh daun-daun yang berguguran, serta ayunan yang masih menggantung dengan baik di sana.

Langkah kaki membawaku pada isi rumah. Terasa gelap, senyap dan dingin. Ku taruh tas pada kursi ruang tamu yang sudah sedikit usang. Lalu mengelilingi seisi rumah yang sangat kurindukan.

Aku berhenti di depan pintu lapuk yang sudah banyak dimakan rayap. Aku mendekat, memegang kenop pintu dan membukanya dengan perasaan yang bergemuruh.

Aku kembali mengambil langkah. Menatap sendu pada detail-detail yang ku rindukan dari kamar ibu.

Kasur lama yang tak diberikan ranjang, lemari tua dengan cermin yang berdebu, dinding yang sudah banyak terkelupas, serta bedak dan gincu yang sudah habis masa penggunaannya. Dulu, kamar ini terasa begitu nyaman dan hangat, namun kini menjadi gelap dan membuat perasaan sesak.

Ku buka satu-satunya jendela di sana, yang memperlihatkan rumah pakde Imran dari samping, serta membuat cahaya sedikit masuk ke dalam kamar ini.

Rasanya aku tak sanggup untuk terus berada di sini. Mengingatkanku pada masa-masa awal aku memasuki tubuh Raga hingga di saat-saat terakhir bersama ibu.

Aku sejenak berpikir, apa ibu merindukanku di sana? Atau sudah bahagia bersama Raga yang asli dan melupakanku di sini.

Segara ku enyahkan pikiranku. Bagaimanapun, aku tak boleh menjadi tak tahu malu seperti ini. Pada dasarnya, aku memanglah bukan Raga yang asli. Hanya jiwa tua dan asing yang memasuki tubuh orang lain.

Aku menghela napas, ada baiknya sedikit membersihkan rumah ini terlebih dahulu agar nyaman ku tinggali untuk beberapa hari ini.

*
*
*
*
*

Aku duduk diam di samping makam di depanku. Menatap pada nisan yang sudah sedikit pudar dan bunga-bunga layu di atasnya. Aku rasa beberapa penduduk di sini juga beberapa kali mendatangi makam ibu.

Ku ambil toples yang berisi bunga, lalu menaruhnya pada gundukan tanah itu.

"Maaf, ya, Bu. Ra---Ayash baru bisa jenguk lagi sekarang. Ayash kangen banget sama Ibu. Ayash pengen di sini aja ... Nggak mau di rumah ayah lagi. Bisa nggak, sih? Ayash capek."tak lagi bisa ku hentikan keluh kesah ku pada makam ibu. Semua perasaan yang aku pendam di hati nyatanya tak bisa menghentikan ku berbicara di sini.

Ku rasakan pandanganku mulai memburam, serta air yang mulai mengalir dari pelupuk mata. Aku mengusap kasar air mata itu. Aku tak ingin menangis di sini. Ini memalukan. Padahal, saat terluka pun aku tak pernah sampai menangis. Ayash bodoh. Ayash lemah.

"Ayash pengen nemenin ibu aja ...."tatapanku menjadi sendu. Mengingat jika aku tak akan bisa terus berada di sini. Harus kembali lagi pada kebisingan di luar sana. Jauh dari damai desa yang begitu aku sukai ini.

Seandainya ibu masih ada, aku bisa terus berada di sini. Seandainya aku bisa merawat ibu lebih baik lagi, aku tak akan hanya melihat gundukan tanah dan nisan ini. Masih bisa merasakan usapan lembut dan melihat senyum manis ibu. Seandainya aku bekerja lebih keras ... Tapi yang aku bisa sekarang hanya berandai-andai, yang tak akan pernah bisa terwujud oleh semesta.

"Aga?!"panggilan itu membuatku menoleh kebelakang. Melihat figur seseorang yang begitu kuingat dengan jelas. Pemuda dengan Kulit kecoklatan dan rambut ikal kehitaman.

want to be successfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang