"Kala?"mataku melebar, begitu melihat Kala berada di ruang tamu dengan keringat bercucuran. Kulihat dia memberikan senyuman lebar padaku.
Aku mendekat dan duduk di sampingnya. Dalam hati bertanya-tanya mengapa dia tiba-tiba berada di sini. Namun di sisi lain aku merasa lega, dengan kehadiran pemuda ini, aku terbebas untuk sementara dari Kahlevi.
"Aku mau ngajak kamu jalan-jalan. Mumpung malam Minggu."aku tergelak, malam Minggu seharusnya pergi bersama pasangan, namun bocah ini malah mengajak ku.
"Harusnya kamu ngajak cewek, Kal,"kataku masih dengan sisa tawa.
Dia bersandar pada sofa dan menghela napas."males."
Aku menggelengkan kepalaku."kalau gitu aku izin sama orang rumah dulu. Tunggu, ya."
Aku segera pergi menghampiri Dikta yang berada di meja makan. Sedangkan meminum air putih dengan baju santainya.
"Kak, anu ... Aku mau pergi sama temenku, ya."aku berujar dengan senyum canggung. Tak terlalu terbiasa dengan Dikta yang jarang berada di rumah.
Dia hanya menganggukkan kepalanya. Seperti biasa, tak banyak bicara. Aku berpamitan dan pergi ke kamar untuk berganti pakaian. Sudah tak ku temukan keberadaan keberadaan Kahlevi di dalam sana. Sepertinya anak itu telah kembali ke habitatnya.
Aku menghela napas lega dan segera berganti pakaian. Sejujurnya, aku merasa malas jika keluar dari rumah. Namun jika tak pergi, rasa takut akan Levi yang akan kembali lebih besar.
Aku menghampiri Kala dan kami berjalan keluar dari rumah besar ini.
"Emang mau kemana, Kal?"tanyaku begitu memasuki mobil mahal miliknya.
Ku lihat Kala menerbitkan senyum dengan pandangan dan tangan yang sibuk dengan jalan dan setir."ke pantai?"
Aku mengangkat sebelah alisku, lalu dengan ragu bertanya,"malam-malam gini?"
Dia berdeham. menggenggam sebelah tanganku dengan tangannya yang bebas. Aku mengernyit dan mencoba menariknya. Namun Kala mengeratkan pegangannya. Di taruh nya tangan ku pada pipi pemuda itu. Membuatku mengumpat dalam hati karena adegan aneh ini.
"Kamu ingat, waktu kecil kita juga sering main di pantai malam-malam,"ujarnya dengan senyum yang masih merekah.
Ku tarik tanganku sekuat tenaga dan membalas,"i---iya. Waktu itu pantainya dekat, Kal."
"Aku kangen. Pengen kaya gitu lagi,"ujar Kala.
Aku mulai kembali bernostalgia pada masa kecil. Ku rasakan gingsul ku mulai terlihat, bersamaan dengan senyum yang terukir. "Iya. Lain kali ayo ke desa lagi. Kita ke pantai lagi, Bareng Edo juga."
Sejenak aku melihat senyum Kala sedikit menurun, namun segera kembali naik. "Um, aku nggak sabar."
Aku memberikan senyum lebar padanya, lalu menatap pada luar jendela yang menampakkan jalanan menuju pantai yang mulai sepi kendaraan. Tentu saja, jarang yang akan berada di pantai di malam hari seperti ini. Mungkin hampir tak ada.
Mataku berbinar begitu air dan pasir mulai terlihat. Ke pantai malam-malam memang seru, tetapi di sini harus menempuh jarak yang lumayan jauh. Tak seperti di desa, jalan kaki pun aku bisa ke sana.
Aku turun dari mobil bersama Kala. Ku rasakan angin malam yang terasa dingin di kulitku, namun tak begitu mengganggu.
Aku duduk di pasir bersih di sana. Menatap pada bulan yang nampak lebih besar dari sini. kala duduk di sampingku. Namun kurasakan manik pemuda itu tak tertuju ke depan, namun ke arahku.
Aku alihkan pandangan ku ke arahnya. "Kenapa?"
Kala menggelengkan kepalanya, menatapku dengan senyum lebar sebelum menatap penuh ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
want to be successful
FantasyCover by pinterest •not bl🙅🏻♀️ Ayash menyia-nyiakan kehidupannya karena terlarut dalam kesedihan. Pria berusia sembilan belas tahun itu menjadi pemabuk setelah ibunya meninggal, melupakan permintaan terakhir sang ibu yang ingin anak semata wayan...