Chapter 01 : Kenal

300 5 0
                                    

sudah satu minggu memasuki bulan suci ramadhan, dan matahari bersinar di atas desa banyu jingga, menebarkan rona keemasan di atas jalan setapak yang berdebu.  Suasana dinanti-nantikan saat warga desa bersiap menyambut istirahat siang, gerakan mereka selaras dengan irama adzan yang berkumandang dari menara masjid.  Tepat pukul 11.30, Muhammad Azkarazka Aditya, atau Azka begitu semua orang mengenalnya, meninggalkan halaman SMA dengan tas sekolah tersandang di salah satu bahu.  Langkahnya cepat namun santai, seperti mengetahui setiap sudut dan celah rute pulang.

 Sepeda kepercayaannya, sebuah sepeda bekas yang dicat dengan warna biru pudar, menunggunya, dirantai pada tiang reyot yang sama di luar gerbang sekolah.  Lonceng di setangnya berdenting saat dia membuka kuncinya, suara familiar itu mengingatkannya akan pelipur lara yang dia temukan dalam perjalanan roda dua.  Sepeda itu adalah hadiah dari mendiang kakeknya, dan sepeda itu telah mengantarkannya melalui banyak petualangan, baik yang biasa maupun yang luar biasa.  Dengan tendangan halus, dia menghidupkannya, dan rantai itu membisikkan salam saat menemukan ritmenya di bawah pedal.

 "Assalamu'alaikum, aku pulang bu" seru Azka sambil mengayuh sepedanya memasuki area kecil yang teduh di samping rumah kayu mereka.  Aroma daging dan rempah-rempah yang mendidih tercium dari dapur, mengisyaratkan nikmatnya santapan yang disiapkan ibunya untuk berbuka puasa.  Perutnya keroncongan sebagai respons, mengingatkan jam-jam yang telah berlalu sejak sahur.

 “Wa'alaikumussalam, Azka,” suara ibunya terdengar dari dapur, “Bagaimana sekolah hari ini?”  Kata-katanya hangat, tapi nadanya diwarnai kekhawatiran.

 “Alhamdulillah baik-baik saja,” jawab Azka sambil memarkir sepedanya dan menuju dapur.  Dia tahu dia khawatir tentang studinya dan tantangan menjadi remaja di dunia yang berubah begitu cepat.

 "Bagaimana dengan teman mu?"  dia bertanya, matanya tidak pernah lepas dari panci sup yang menggelegak.

 "Yang mana?"  Azka nyengir, tahu betul kalau dia punya titik lemah pada sahabatnya itu.

 “Sudahlah” kata Ibu Laila sambil terkekeh, mengakui jawaban yang mengelak darinya, “Tetapi ingat, ayahmu dan aku selalu ada untukmu.”

 "Bisakah aku membantuku membawa makanan ini ke tetangga kita?"  tanya Ibu Laila sambil menyodorkan nampan kukus berisi samosa dan kue lapis.  “Sudah lama kami terakhir memeriksa Abah Syafi'i.”

 “Siapa Abah Syafi’i?”  tanya Azka sambil mengangkat alisnya sambil mengambil nampan dari ibunya.

 “Dia laki-laki yang tinggal di sebelah,” kata Ibu Laila sambil tersenyum lembut.  "Dia agak penyendiri sejak istrinya meninggal. Tapi dia orang yang baik hati. Menurutku kalian berdua bisa belajar banyak dari satu sama lain."

 "Baiklah, aku berangkat" Azka mengangguk sambil menyeimbangkan nampan makanan dengan latihan yang mudah.  Ia sudah sering melihat Abah Syafi'i dari jauh, pria paruh baya dengan bahu agak bungkuk dan tatapan lembut, namun mereka tak pernah benar-benar berbincang.  Interaksi mereka hanya sebatas anggukan atau senyum sesekali, yang biasa mereka kenal dengan tetangga yang kehidupannya belum terjalin.

"Assalamu'alaikum, Abah Syafi'i" seru Azka sambil mendekati rumah tetangga, aroma makanan memberitahukan kehadirannya bahkan sebelum ia mengetuk pintu kayu yang sudah lapuk itu. Rumah itu penjaga yang sunyi, catnya yang tadinya cerah kini terkelupas.  di bawah sinar matahari yang tak henti-hentinya. Dia menunggu sejenak, antisipasi akan adanya koneksi baru yang muncul di udara.

 Pintu berderit terbuka, dan Abah Syafi'i muncul, matanya membelalak kaget.  "Wa'alaikumussalam, Azka," sapanya, suaranya bercampur antara kehangatan dan keraguan.  "Apa yang membawamu kemari?"

DialogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang