Pukul 03.00, waktunya sahur, sahur di bulan Ramadhan. Keheningan malam diselingi dentingan panci dan wajan yang berirama saat ibu Azka menyiapkan makanan sederhana namun bergizi. Aroma pisang goreng dan teh hangat tercium melalui jendela yang terbuka, bercampur dengan sejuknya angin yang membawa sayup-sayup suara tadarus masjid di kejauhan.
“Azkaaaa, bangun sayang, Shubuh sudah hampir dekat” terdengar suara lembut ibu Laila dari arah dapur. Sambil menguap, Azka turun dari tempat tidur dan mengusap kantuk dari matanya. Rumah itu hidup dengan cahaya lembut di pagi hari.
Ada rasa hangat di dadanya mengingat malam yang ia lalui bersama Abah Syafi'i. Percakapan itu mendalam dan bermakna, dan ikatan mereka semakin kuat.
"Iya, aku bangun"
"Heh, kamu bisa berjalan dengan mata tertutup? Itu murni bakat nak" Pak Aditya terkekeh melihat putranya Azka menavigasi lorong gelap dengan sangat mudahnya. “Tapi hati-hati, jangan sampai tersandung.”
"Aku paham, yah," ucap Azka, ada nada geli dalam suaranya. Meskipun masih dini hari, anehnya semangatnya terasa ringan. Waktu yang dihabiskannya bersama Abah Syafi'i membuatnya merasa lebih hidup dibandingkan sebelumnya. Percakapan mereka telah berkembang dari hal biasa menjadi filosofis, dan dia menyadari bahwa dia sangat ingin belajar dari kebijaksanaan orang yang lebih tua.
Di dapur, meja kecil sudah berisi secangkir teh panas, sepiring pisang berwarna coklat keemasan, dan semangkuk bubur nasi. Ibu Laila mendongak dari pekerjaannya, wajahnya bersinar karena kebanggaan seorang ibu. "Hari ini kamu bangun pagi, Azka. Apa ada yang kamu pikirkan?"
"Hanya memikirkan kelas tafsir saja," jawab Azka berusaha menjaga suaranya tetap netral. Ibunya telah memperhatikan perubahan dalam dirinya, rasa nyaman yang baru ditemukan di matanya, dan mau tidak mau dia merasakan sedikit rasa ingin tahu. Tapi dia tahu lebih baik untuk tidak mencampuri urusannya.
Mereka duduk bersama, keheningan hanya sesekali dipecahkan oleh dentingan sendok di sisi mangkuk mereka. Hangatnya bubur terasa seperti pelukan yang menenangkan memenuhi perut Azka, manisnya pisang sangat kontras dengan sedikit gurihnya nasi. Hidangannya sederhana, namun mendekatkan mereka, membumikan mereka pada kesucian bulan Ramadhan.
“Apakah Abah Syafi’i menjadi imam Tarawih kemarin?” Ibu Laila bertanya dengan santai, matanya melirik ke arah Azka sambil meletakkan secangkir teh yang masih mengepul di hadapannya.
"Tunggu, kalian tidak datang ke masjid?" Pertanyaan Azka menggantung di udara sambil menyesap tehnya, cairan hangat itu meninggalkan jejak nyaman di tenggorokannya.
Pak Aditya menggigit pisangnya, berhenti sejenak untuk mengunyah sebelum berbicara. "Tidak, Nak. Ibumu tidak enak badan tadi malam, jadi kami memutuskan untuk tinggal di rumah dan shalat Tarawih bersama."
Ibu Laila mengangguk, matanya memantulkan cahaya lembut lampu dapur. “Tapi kami mendengar cara mengajinya, dan indah sekali. Suara Abah Syafi'i begitu menenangkan.”
"Iya kamu benar" Azka mengangguk sambil berpikir. “Bacaannya selalu membawa kedamaian di hati.” Ia mengambil sesendok bubur, menikmati kehangatan dan rasa masakan ibunya.
“Dia belum punya cucu” kata Ibu Laila sambil menghela nafas, matanya dipenuhi campuran kerinduan dan pengertian. "Tapi Allah telah memberkati dia bersamamu, Azka. Kamu tahu betapa dia menikmati kebersamaanmu."
"Aku tahu, bu. Dia sudah seperti kakek bagiku," jawab Azka dengan nada penuh kasih sayang. "Dia menceritakan kisah-kisah terbaik dan mempunyai cara menjelaskan hal-hal yang masuk akal, bahkan hal-hal sulit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialog
عاطفيةTentang dua orang yang menjalin hubungan istimewa, Muhammad Azkarazka Aditya atau biasa disapa Azka, adalah seorang anak laki-laki berumur 16 tahun, dia adalah seorang siswa SMA tahun pertama yang tinggal di Desa Banyu Jingga, dia adalah anak laki-l...