Chapter 03 : Bazaar Ramadhan

46 4 0
                                    

Keesokan harinya di sekolah, pikiran Azka dipenuhi emosi.  Ia sulit fokus pada studinya, pikirannya melayang ke malam yang akan datang.  Dia telah melatih percakapan itu ratusan kali di kepalanya, tetapi kata-kata itu terasa asing di ruang kelasnya.  Setiap menit yang berlalu menjadi pengingat yang menyiksa bahwa ia selangkah lebih dekat untuk mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya kepada Abah Syafi'i.

 Bel terakhir berbunyi, dan halaman sekolah meledak menjadi simfoni tawa dan obrolan ketika para siswa bergegas pergi.  Azka tidak terburu-buru, kakinya terasa lebih berat dari biasanya.  Dia tidak mau melewatkan kesempatan ini;  Bazaar Ramadhan adalah tempat yang sempurna untuk percakapan dari hati ke hati.  Cahaya terang dan aroma masakan tradisional yang melayang di udara akan menjadi latar belakang yang lembut dari intensitas pengakuannya.

 Sesampainya di rumah, teriknya siang hari telah berganti dengan sejuknya angin malam.  Rumah sepi, orangtuanya sibuk dengan persiapan buka puasa.  Dia berlindung di kamarnya, tempat perlindungan pikirannya.  Berbaring di tempat tidurnya, dia memejamkan mata, membiarkan bisikan lembut kipas angin di langit-langit menidurkannya.  Mimpi akan senyuman dan sentuhan lembut Abah Syafi'i menari-nari di benaknya, menawarkan kelonggaran sejenak dari pusaran emosinya.

 Gema adzan Asyhar yang tiba-tiba menyadarkannya dari tidurnya, suara merdu adzan ketiga bergema di seluruh desa.  Suaranya menenangkan, mengingatkan akan kedamaian dan ketenangan yang dibawa bulan suci ini.  Dia bangkit dari tempat tidurnya, mencuci muka dan tangannya, dan melaksanakan shalat dengan fokus baru.  Kata-kata bacaan Imam memenuhi hatinya, memberinya kekuatan untuk percakapan yang akan datang.

 Setelah salat selesai, Azka berjalan ke kamar mandi, ubin yang sejuk terasa lega di kaki telanjangnya.  Dia mengisi bak mandi dengan air, suara derasnya air dari keran merupakan simfoni yang menenangkan.  Dia menanggalkan pakaiannya perlahan, mengamati bayangannya di cermin.  Dia bukan lagi seorang anak laki-laki, tetapi seorang pemuda yang hampir memahami kompleksitas cinta dan kehidupan.  Dia melangkah ke dalam bak mandi, air menyelimuti dirinya seperti pelukan hangat, membasuh debu hari dan kegelisahan hatinya.

 Sambil mandi, ia teringat percakapannya dengan Abah Syafi'i, hikmah di matanya, dan bimbingan lembut yang ia berikan.  Dia merasakan perpaduan yang aneh antara kegembiraan dan ketakutan, mengetahui bahwa malam ini, dia akan mengungkapkan jiwanya kepada pria yang telah menjadi lebih dari sekedar tetangga.  Dia menggosok kulitnya dengan sabun kasar, merasakan kotoran keraguan dan ketidakpastian hilang.

 Usai mandi menyegarkan, Azka menyempatkan diri untuk memilih pakaiannya.  Dia memilih kemeja rugby putih dan biru yang bersih dan disetrika serta celana khaki, bahannya ringan dan lapang, cocok untuk malam hangat yang akan datang.  Dia menyisir rambutnya dengan cermat, mencoba menjinakkan rambut ikal nakal yang sering terlihat di matanya.  Dia mengoleskan sedikit cologne, aroma cendana dan melati tertinggal di udara saat dia mengenakan pakaian bersihnya.

 Sambil menghela nafas panjang, ia menghampiri ibunya, Ibu Laila yang sedang sibuk di dapur menyiapkan buka puasa.  Dia mendongak dari pekerjaannya, matanya bertanya-tanya tetapi penuh pengertian. 

Aku mau ke rumah Abah Syafi'i sebentar,” katanya sambil berusaha menjaga suaranya tetap stabil.

 "Untuk apa?"  tanya Ibu Laila sambil menghentikan persiapannya.

 "Aku berjanji padanya hari ini" ucap Azka dengan suara sedikit bergetar.

 Ibu Laila memandang putranya, matanya dipenuhi kekhawatiran.  "Apakah semuanya baik-baik saja, Azka?"

 "Iya Ibu," Azka memaksakan senyum, jantungnya berdebar kencang.  “Saya hanya perlu berbicara dengannya tentang sesuatu yang penting.

DialogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang