Chapter 05 : Kencan Pertama

233 5 0
                                    

Sinar matahari hari raya Idul Fitri menyinari Desa Banyu Jingga, menyinari hangat rumah-rumah tradisional Jawa yang berjejer di jalanan berdebu.  Udara dipenuhi aroma manis ketupat dan rendang yang tercium dari jendela dapur yang terbuka, pola tawa dan sapa menggema di lingkungan sekitar.  Di tengah kegembiraan itu, sesosok tubuh terlihat sedang duduk di teras rumah keluarganya, matanya terpaku pada layar iPad.  Ini adalah Muhammad Azkarazka Aditya, yang dikenal semua orang sebagai Azka.  Dia adalah seorang remaja kurus berusia 16 tahun dengan rambut hitam acak-acakan, satu-satunya putra dari pasangan pekerja keras yang sangat mencintainya.  IPad adalah hadiah berharga dari ayahnya, yang diberikan kepadanya pada hari ulang tahunnya yang ke-15, sebuah simbol kebebasan dan kedewasaan barunya.

 "Azkaaaa, kemarilah sayang" seru ibu Laila, suaranya membawa kehangatan kasih sayang seorang ibu saat keluar dari dapur sambil membawa sepiring ketupat yang baru matang di tangan.  Dia tahu penglihatan putranya semakin buruk setiap menitnya dihabiskan di depan layar itu.  Tapi saat itu adalah Idul Fitri, waktunya untuk bersenang-senang, dan dia mau tidak mau membiarkan suaminya menikmati dunia digitalnya lebih lama lagi.

 "Tunggu sebentar" jawab Azka bingung, ibu jarinya menari-nari di atas layar iPad-nya.  Dia tersesat dalam labirin digital game favoritnya, dunia virtual menyita seluruh perhatiannya.  Dengan enggan, dia meletakkan perangkat itu ke samping dan berjalan ke arah ibunya, ubin lantai yang dingin terasa melegakan bagi kakinya yang telanjang.

 "Apa bu?"  tanya Azka, matanya masih berkaca-kaca karena petualangan virtualnya.

 "Bisakah kamu mencuci piring?"  Ibu Laila bertanya sambil tersenyum penuh pengertian, matanya berbinar karena kenakalan.

 Azka menghela nafas dramatis, matanya terpaku pada iPad, namun akhirnya mengambil sepiring ketupat.  "Ya, tentu," katanya sambil berjalan ke dapur.

 Saat ia bekerja bersama ibunya, suara radio yang memutar lagu tradisional Idul Fitri semakin nyaring, menandakan mendekatnya Abah Syafi'i.  Pria paruh baya tinggal di sebelahnya, seorang duda yang menemukan kenyamanan dalam kebersamaan yang tenang dengan putra tetangganya.  Ia dikenal karena sifatnya yang lembut dan kata-katanya yang bijaksana, sangat kontras dengan pemuda yang bersemangat dan bersemangat yaitu Azka.  Terlepas dari perbedaan usia mereka, keduanya telah mengembangkan persahabatan yang lebih dari sekadar persahabatan—persahabatan itu mendalam dan bermakna, dengan sedikit tanda-tanda lebih yang tidak berani diakui oleh keduanya.

 “Aku sudah mencuci piring, bolehkah aku pergi sekarang?”  Azka memanggil ibunya, ingin kembali ke permainannya.

 "Mau pergi ke mana?"  Ibu Laila bertanya sambil menyeka tangannya dengan celemeknya.  “Mengapa kamu tidak tinggal dan membantuku bersiap untuk malam ini?”

 "Aku hanya ingin mencari udara segar di luar, dan mungkin menyentuh rumput" jawab Azka, suaranya menggemakan tanda kegelisahan yang menumpuk dalam dirinya sejak awal liburan.  Ibunya mengangguk, tatapan penuh pengertian di matanya.  Dia memahami kebutuhan putranya akan ruang dan petualangan.

 Matahari terbit tinggi di langit, mewarnai sawah dengan warna emas cerah.  Azka berjalan menyusuri jalan sempit tanah yang membelah hamparan zamrud, pikirannya melayang seiring suara tetesan air di saluran irigasi memenuhi telinganya.  Paduan suara katak dan kicauan burung di kejauhan menciptakan simfoni yang menyejukkan jiwanya.  Dia menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan aroma tanah dan sedikit aroma melati dari pepohonan di dekatnya.

 Akhirnya, ia sampai di titik pertemuan jalan setapak dengan air, tempat peristirahatan favoritnya.  Ia merebahkan diri di atas papan kayu yang berfungsi sebagai bangku darurat di samping saluran irigasi.  Airnya sejuk dan mengundang, jadi dia menggulung kaki celananya dan mencelupkan kakinya ke dalamnya, sensasinya mengirimkan getaran nikmat ke tulang punggungnya.  Arus lembut menarik jari kakinya, menariknya kembali ke masa sekarang.  Dia mengamati ikan-ikan itu melesat ke sana kemari, bermain dalam bayang-bayang dedaunan yang menjuntai.

DialogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang