Malam berikutnya, ketegangan rumah tangga Aditya bagai kabut malam yang bergulung dari area persawahan. Bu Aditya telah menyiapkan makan malam istimewa, menata meja dengan hati-hati, berharap makanan enak akan memudahkan pembicaraan yang akan datang. Pak Aditya duduk di ujung meja, matanya gelap dan merenung, tangannya terlipat di depannya
"Jadi, Azka," dia memulai, suaranya terukur dan tenang, "kita telah mendengar beberapa hal di sekitar desa."
"Hal apa?" tanya Azka, suaranya bercampur rasa penasaran dan takut.
"Bahwa kamu dan Abah Syafi'i... dekat," kata Bu Aditya lembut, matanya menelusuri wajah putranya. "Apakah itu benar?"
Pipi Azka terasa panas saat dia melihat ke piringnya, nafsu makannya tiba-tiba hilang. "Bukan seperti itu," gumamnya. "kita hanya berteman."
Ekspresi Pak Aditya pantang menyerah. "Teman tidak menyembunyikan sesuatu satu sama lain," katanya.
"kita memperhatikan tingkah laku kalian berdua, dan kita khawatir."
"Khawatir tentang apa?" Tantang Azka, suaranya bergetar karena emosi.
Bu Aditya menghela nafas panjang, matanya tak pernah lepas dari mata putranya. "Ada rumor," katanya hati-hati,
"bahwa persahabatanmu dengan Abah Syafi'i lebih dari itu."
Ruangan itu menjadi begitu sunyi hingga detak jam di dinding seakan bergema di udara. Azka merasakan jantungnya berdebar kencang, telapak tangannya licin karena keringat. "Rumor?," ulangnya, suaranya nyaris berbisik.
"Iya, rumornya," ucap Pak Aditya, matanya tak pernah lepas dari mata Azka. "Tapi itu bukan sekedar rumor, kan?"
"Ayah, kumohon," suara Azka memohon, matanya berkaca-kaca dengan air mata yang tak tertahan. "Tidak seperti itu."
"Kalau begitu katakan yang sejujurnya pada kita," suara Pak Aditya tegas, tatapannya tak tergoyahkan.
"kita orang tuamu, kita hanya menginginkan yang terbaik untukmu."
"Tetapi bagaimana jika yang terbaik untukku bukanlah yang kamu inginkan?" Suara Azka nyaris tak terdengar, beban kata-katanya menggantung di udara.
Ekspresi Pak Aditya melembut, matanya menelusuri wajah putranya. "Itukah yang kamu khawatirkan?" dia bertanya dengan lembut.
"Bahwa kita akan memaksamu menikah dengan seseorang yang tidak kamu cintai?"
"Apa? Menikah?" Azka kaget, matanya membelalak tak percaya.
Bu Aditya menghela nafas panjang, tangannya terulur menutupi tangan suaminya. "kita sudah bicara dengan Abah Syafi'i," katanya lembut. "Dan dia... dia setuju untuk mengambilmu sebagai istrinya."
Ruangan itu seakan miring pada porosnya saat mata Azka terangkat menatap kedua orang tuanya. "Apa?" dia tersedak, suaranya nyaris berbisik.
"Apa yang sedang terjadi?" Suara Azka berupa bisikan yang parau, matanya membelalak kaget.
Bu Aditya menghela nafas panjang, tangannya menggenggam erat tangan suaminya.
"kita tahu hubunganmu dengan Abah Syafi'i istimewa, Azka," ucapnya dengan suaranya yang lembut namun tegas.
"Dan kita telah melihat betapa dia peduli padamu. kita yakin dia bisa menafkahimu, menjagamu dengan cara yang kita tidak bisa."
"A- Aku tahu Abah Syafi'i mencintaiku, tapi aku tidak tahu kalau dia... menganggapnya serius" Azka tergagap mencoba memproses wahyu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialog
RomanceTentang dua orang yang menjalin hubungan istimewa, Muhammad Azkarazka Aditya atau biasa disapa Azka, adalah seorang anak laki-laki berumur 16 tahun, dia adalah seorang siswa SMA tahun pertama yang tinggal di Desa Banyu Jingga, dia adalah anak laki-l...