"Abah," Azka tergagap, pipinya memerah. Mata Aleesha terbuka lebar, tangannya melayang ke mulut karena ngeri. Dia tidak mendengar pintu terbuka, tidak melihat Abah mendekat. Ruangan itu terasa menyesakkan, udaranya dipenuhi aroma hujan dan kebenaran tak terucapkan yang baru saja diungkapkan.
Tanpa berkata apa-apa, Abah Syafi'i berbalik dan terhuyung-huyung keluar rumah, langkah kakinya bergema di seluruh rumah. Suara pintu belakang dibanting hingga tertutup seperti suara tembakan dalam keheningan yang terjadi setelahnya. Azka merasa perutnya seperti ditinju, matanya kabur karena air mata yang tak tertahan.
“Apakah itu Abah Syafi’i?” Bisik Aleesha, matanya membelalak kaget.
"Iya," gumam Azka, suaranya nyaris tak terdengar. “Dia pasti kembali untuk sesuatu.”
Kecemasan Azka memuncak saat melihat ekspresi terkejut Aleesha berubah menjadi penuh pengertian. Rahasia yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang persahabatan mereka kini terungkap, seekor binatang buas yang tak lagi bisa dibendung. Dia tahu dia harus mengatakan yang sebenarnya, tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya seperti seteguk nasi kering.
"Sudahlah, ayo selesaikan kerja kelompok kita" kata Aleesha, suaranya sedikit bergetar saat dia mengambil buku catatannya. Jantungnya berdebar kencang saat dia mencoba memproses apa yang baru saja dia saksikan. Ciuman yang diimpikannya telah dicuri darinya oleh orang yang ingin dia bagikan.
Mereka bekerja dalam diam, ketegangan di dalam ruangan sama nyatanya dengan hujan di luar. Setiap goresan pensil, setiap pembalikan halaman, bergema di seluruh ruangan seperti melodi sedih. Persamaan matematika yang mereka sibukkan beberapa saat yang lalu kini tampak seperti ejekan terhadap emosi kompleks yang berputar-putar di sekitar mereka.
Akhirnya, setelah waktu yang terasa sangat lama, mereka menyelesaikan proyek tersebut. Tangan Aleesha melayang di atas halaman-halaman itu, matanya beralih ke jari tanpa cincin Azka lalu kembali ke pekerjaannya. "Terima kasih atas bantuan mu," katanya, suaranya terdengar seperti bisikan yang dipaksakan. "Sebaiknya aku pulang."
Kata-katanya menggantung di udara, mengingatkan akan ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. Azka mengangguk, tenggorokannya tercekat karena beban rahasianya. "Ya, aku akan mengantarmu," dia menawarkan, suaranya nyaris tidak terdengar seperti gumaman.
"Tidak, aku akan pulang sendiri" ucap Aleesha tiba-tiba sambil mengumpulkan barang-barangnya dengan tangan gemetar. Hujan sudah reda meninggalkan kesegaran udara yang seolah mengejek gejolak di hatinya. Dia memakai sandalnya dan menuju pintu, matanya menghindari tatapan Azka.
Azka pergi ke taman belakang menghampiri Abah Syafi'i, jantungnya berdebar kencang seperti genderang dalam upacara adat. Ia menemukannya berdiri di tepi sawah, menatap ke kejauhan dengan tatapan sedih hingga membuat hatinya sakit.
"Abah," panggilnya lirih, suaranya memecah kesunyian seperti ranting patah diinjak. Abah Syafi'i menoleh perlahan, matanya merah dan berkaca-kaca karena air mata yang tak tertahan.
"Maafkan aku," Azka memulai, suaranya bergetar karena emosi. "Aku tahu kamu melihat apa yang terjadi pada Aleesha. Aku tidak pernah bermaksud sampai sejauh itu."
Abah Syafi'i tak berkutik, matanya tak pernah lepas dari cakrawala. Dia tidak berkata apa-apa, hatinya sangat sakit melihat Azka mencium gadis lain. Dia berharap ikatan mereka tak terpatahkan, cinta rahasia mereka akan tumbuh subur dalam pelukan tenang malam desa. Namun kini, keheningan di antara mereka menjadi jurang yang tak bisa diisi oleh kata-kata Azka.
"Aku tidak bermaksud menyakitimu," lanjut Azka, suaranya bergetar karena haru. "Aleesha hanya...dia tidak tahu tentang kita." Ia mengambil langkah ragu-ragu mendekat, mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Abah. Namun pria yang lebih tua itu bergeming, sikap diamnya merupakan penolakan yang memekakkan telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialog
RomansaTentang dua orang yang menjalin hubungan istimewa, Muhammad Azkarazka Aditya atau biasa disapa Azka, adalah seorang anak laki-laki berumur 16 tahun, dia adalah seorang siswa SMA tahun pertama yang tinggal di Desa Banyu Jingga, dia adalah anak laki-l...