Chapter 04 : Idul Fitri

117 5 1
                                    

Keesokan harinya di sekolah, Azka merasakan beban terangkat dari pundaknya. Ia sudah menyatakan perasaannya kepada Abah Syafi'i malam sebelumnya, tak yakin dengan respons yang akan ia dapatkan. Antisipasi terhadap reaksi tetangganya telah membuatnya gelisah, namun kini setelah hal itu dilakukan, ia menemukan ketenangan baru dalam rutinitas sehari-harinya. Ia selalu iri pada cara Abah Syafi'i bersikap tenang dan bermartabat, seolah setiap langkah terukur dan setiap kata dipilih dengan cermat. Pria yang lebih tua telah mengajarinya banyak hal, tidak hanya melalui kisah hidup yang mereka bagikan, namun juga dalam seni kesabaran dan pengertian.

Saat berjalan pulang sepulang sekolah, Azka melihat seekor anak kucing kecil berjalan menyusuri jalan tanah, bulunya dipenuhi kotoran dan dedaunan. Terasa tersesat dan sendirian, seperti apa yang dirasakan Azka sebelum Abah Syafi'i hadir dalam hidupnya. Dia mendekatinya dengan lembut, dan yang mengejutkan, dia tidak lari. Sebaliknya, ia menatapnya dengan mata lebar penuh harapan. Dia memungutnya, merasakan kehangatan dan getaran samar dengkuran kecilnya di dadanya. Itu sangat kontras dengan rasa dingin yang dia rasakan sebelum mengaku. Dia memutuskan untuk membawa pulang anak kucing itu, karena mengira hal itu mungkin akan membuat ibunya tersenyum.

Saat dia memasuki rumah, ibunya mendongak dari masakannya, matanya berbinar saat melihat anak kucing itu. "Oh Azka, di mana kamu menemukan makhluk kecil ini?" dia bertanya, mengambil anak kucing itu darinya dan menggendongnya dalam pelukannya. "Itulah yang kami butuhkan untuk mencerahkan rumah kami." Ayahnya, mendengar keributan itu, masuk dari ruang tamu, rasa penasarannya terusik.

"Akhir-akhir ini kamu terlihat lebih bahagia" komentar ibu Laila, ibu Azka sambil menyajikan makan malam malam itu. "Apakah ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan kepada kami?"

"Hmm, mungkin beberapa hari lagi akan tiba hari raya Idul Fitri" jawab Azka sambil tersenyum, berharap mengalihkan pembicaraan dari pengakuan cintanya. Mata ibunya mencari matanya, tapi dia tidak mendesak lebih jauh, merasakan sesuatu yang penting telah terjadi tetapi mengetahui putranya memerlukan waktu untuk memilah pikirannya.

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan antisipasi yang lembut. Azka merawat anak kucing tersebut dan menamainya Aqil yang dalam bahasa Arab berarti "anak". Itu menjadi sedikit sumber kegembiraan di rumah, membawa tawa dan keringanan dalam hidup mereka.

"Kamu mau makan, Aqil?" Azka berbisik kepada anak kucing itu sambil meletakkan sepiring kecil susu dan semangkuk makanan kucing di lantai. Aqil mengeong dan menerkam makanan sambil mengibaskan ekornya. Tindakan sederhana merawat anak kucing itu membuat Azka tersenyum, dan momen seperti inilah yang membuat penantiannya menjadi lebih mudah.

"Namamu seperti nama keluarga Abah Syafi'i, Al Mutawaqqil" Azka menepuk-nepuk anak kucingnya, Aqil sambil menyaksikannya bermain dengan seutas tali. "Artinya 'orang yang percaya pada Tuhan', dan aku pun demikian." Dia terkekeh, suaranya dipenuhi kehangatan yang sebelumnya tidak ada.

"Oh iya, malam ini takbir idul fitri akan dikumandangkan, dan akan diadakan parade takbir juga" ucap Azka mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Ia tahu bahwa salat malam dan prosesi keliling desa merupakan hal yang besar di Banyu Jingga. Itu adalah saat perayaan, dan semua orang menantikannya. Suasananya meriah, aroma manisan tercium dari setiap dapur dan suara tawa anak-anak memenuhi udara.

Sore harinya, Azka memberanikan diri keluar menuju hari terakhir Bazar Ramadhan. Kios-kios ramai dengan aktivitas, aroma makanan dan rempah-rempah pun memabukkan. Dia berjalan melewati kain berwarna cerah dan pernak-pernik berkilauan, mencari sesuatu yang istimewa untuk dibawa kembali ke keluarganya. Saat mendekati ujung jalan, ia melihat Abah Syafi'i sedang menyapu halaman rumahnya dengan sapuan yang teliti. Mata mereka bertemu sesaat, dan Azka merasakan jantungnya berdetak kencang.

DialogTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang