11

236 50 2
                                    

Mobil tiba-tiba berhenti yang membuat aku memandang keluar. Aku ingat kalau rumah Lucas harusnya masih jauh. Dan sesuai dengan yang aku dugakan, kami tidak berhenti di rumah Lucas melainkan makam. Aku menatap pemakaman dengan pelototan tajam. "Apa yang kita lakukan di sini, Lucas?"

"Mengunjungi mantan suamimu."

"Kenapa harus? Kalau sampai wanita itu melihatku di sini, dia akan membuat masalah denganku. Aku sedang tidak ingin bertengkar."

"Dia tidak menjaga makamnya 24 jam."

"Sesuatu yang tidak diinginkan bisa terjadi."

"Aku akan memberikan pertunjukan yang menarik jika memang hal seperti itu terjadi. Aku hanya ingin kau mengatakan dengan mulutmu sendiri ke makamnya kalau kau sudah menceraikannya. Maka aku akan memberikan bantuan."

Menatap ke Glen, pria itu sadar aku memandangnya. "Apa dia selalu kekanakan seperti ini?" Aku menunjuk ke arah Lucas.

"Beberapa kali memang seperti itu, kadang lebih parah."

Lucas melempar bantal leher ke arah Glen yang sedang duduk di di dekat kursi pengemudi. Sopir kami berbeda, bukan Glen lagi. Aku dengar dari Lucas kalau sopir itu sudah bekerja lama dengannya. Semenjak ayahnya masih hidup. Lucas mempertahankannya karena tahu loyalitasnya.

"Kita benar-benar tidak bisa kembali, kan?" tanyaku penuh dengan keyakinan tersebut.

Bibir Lucas membentuk senyuman geli. "Kau tahu jawabannya."

Aku mendesah akhirnya dan membuka pintu mobil. Segera bergerak keluar dan menatap makan di depan sana yang begitu luas dengan beberapa pepohonan yang sengaja di tanam di beberapa area yang tepat untuk menyejukkan tempat tersebut. Angin sore membawa kenangan yang cukup mengilukan di tempat ini. Seolah dunia begitu kerdil di hadapan kematian.

Berdiri diam cukup lama, sentuhan Lucas di punggungku membuat aku menengok ke arahnya, memperhatikan dia yang sedang memberikan gerakan dengan ponselnya.

"Aku akan masuk sendiri."

"Kau yakin?" Lucas menyingkirkan ponsel itu. "Tunggu sebentar, aku selesai dan kita masuk bersama."

"Tidak usah, kau bisa menemuiku di sana." Sebelum Lucas sempat melayangkan penolakan, aku sudah melangkah. Dan dia tidak memiliki pilihan selain meladeni siapa pun yang menghubunginya itu.

Melangkah dengan perlahan, ini pertama kalinya aku datang ke makam. Aku tidak pernah memiliki keluarga, kerabat atau orang terdekat yang harus mati dan aku mengunjunginya. Itu makanya aku hanya pernah melihat penguburan jasad mantan suamiku. Aku bahkan tidak menangis saat tubuhnya yang dimasukkan ke peti berada di liang lahat. Aku hanya menatap datar tanpa perasaan.

Airmataku kering sejak aku dan Tony bermasalah. Berbulan-bulan aku menangis untuknya dan pada akhirnya aku kering rasa yang membuat saat dia mati pun, airmata itu entah berada di mana. Aku tidak dapat menemukannya. Mungkin itu yang membuat mantan mertuaku juga begitu murka. Karena bagi beberapa orang, untuk menunjukkan kalau kau menyayangi seseorang dan mereka mati, kau harus menangis. Jika kau tidak menangis, maka kasih sayang dan cinta yang kau koarkan akan tampak seperti omong kosong belaka.

Itu yang dipercayai orang-orang dan bahkan orangtua terdahulu sepertinya juga menggaungkan itu. Sebab itu, saat Tony meninggal dan mereka tidak menemukan airmataku, mereka yang membenciku semakin tidak senang denganku. Sedang mereka yang awalnya tidak memiliki keberpihakan, dengan senang hati menggunjingkan aku.

Mereka semua jelas percaya aku memiliki andil besar pada kematian Tony. Mereka harusnya tahu kalau aku adalah salah satu orang yang tidak menginginkan dia mati. Aku hanya mau bercerai dengan aman dan nyaman.

Tapi mau bagaimana aku membela diri, mereka tetap tidak akan memberikan celah kebenaran pada kalimatku. Dengan hasta terendah, mereka akan lebih mudah menyalahkan aku dalam segala hal. Apalagi hal yang mereka yakini memang patut untuk diberikan kesalahan.

Mendesah, aku berhenti melangkah. Akhirnya setelah beberapa minggu, aku datang juga ke makam Tony. Melihat makamnya yang dipenuhi dengan bunga kering. Sepertinya cukup lama tidak pernah ada yang datang mengunjunginya. Aku menatap makam itu dengan desahan panjang.

Tanganku menyentuh perutku dan mengelusnya dengan lembut. "Tony, aku datang." Aku tersenyum dengan masam. "Aku tahu kalau kau tidak akan terlalu senang melihat aku di sini. Hanya saja seseorang memaksa aku datang menemuimu. Dia agak kekanakan, jadi kalau nanti kau melihatnya, kuharap kau memakluminya."

Diam sejenak dengan semilir angin membelai wajah. Aku tersenyum. Sepertinya aku cocok dengan makam. Tempatnya yang nyaman dan sepi membuat aku tidak perlu berinteraksi dengan siapa pun. Aku bisa hidup damai di sini tanpa gangguan.

"Ah, dia ayah dari bayi yang aku kandung. Kau masih ingat saat aku menanyakan soal bayi ini? Waktu itu aku bertanya padamu, jika kita berpisah, bagaimana nasib calon bayinya. Aku mengatakan padamu, kalau aku menginginkan dia memiliki keluarga yang utuh. Dan aku masih sangat ingat jawaban yang kau berikan."

Aku duduk berlutut. Menyingkirkan bunga kering itu ke pinggir.

"Kau mengatakan, kalau kau tidak ada urusannya dengan bayi ini. Bahwa aku sendiri yang tanda tangan dan semuanya adalah tanggung jawabku. Kau sama sekali tidak menelantarkannya karena tidak ada tanda tanganmu di sana. Sekarang aku baru mengerti, sepertinya kau memang dengan sengaja membuat segalanya terjadi. Ini hanya dugaanku, tapi jika benar, maka kau begitu jahat. Kau sengaja setuju untuk melakukan permintaanku memiliki bayi. Sengaja membuat aku tanda tangan sendiri. Lalu mencampakkan aku begitu saja. Katakan aku salah?"

Tidak ada jawaban. Hanya kelembutan.

"Jika itu memang benar, maka kau lebih buruk dari ibumu. Lebih buruk dari keluargamu. Dan aku tidak mengerti, bukankah kau harusnya mencintaiku? Bukankah hanya aku seharusnya yang ada di hatimu? Lantas kenapa kau mendua? Dan siapa perempuan yang selalu kau lindungi tanpa mau kau sebut namanya itu?"

Lagi dan lagi, hanya keheningan.

Aku sudah tidak sabar, tidak ada kalimat yang ingin aku katakan lagi tapi Lucas tidak kunjung muncul yang membuat aku kehilangan batas sabarku. Aku sudah berdiri dan hendak pergi meninggalkan makam itu untuk menemui pria itu saat mataku sudah menemukan seseorang yang melangkah datang ke arah makam.

Dua perempuan yang mendekat juga menemukanku. Sama sepertiku yang memperhatikan mereka, mereka juga tengah mempertanyakan siapa sosok yang ada di makam keluarga mereka.

Mendesah dengan pasrah, aku bersumpah akanmembuat perhitungan dengan Lucas. Karena dialah yang membuat aku berada di situasi yang tidak menyenangkan ini. Dia yang membuat aku bertemu dengan mantan mertuaku dan mantan kakak ipar perempuanku.

Karena sekarang, setelah mereka memastikan siapa aku. Kedua bola mata mereka melotot ke arahku tidak percaya. Mereka jelas tidak sudi melihatku, apalagi sampai menemukan aku ada di makam Tony.

Mereka mempercepat langkah dengan dengusan yang bahkan kemarahannya segera bisa kurasakan pada jarakku sendiri yang tidak dekat. Aku sampai mundur dua langkah demi mempertahankan diri tidak berada pada sentuhan mereka yang tidak masuk akal.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Benih Sang Presiden (MIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang