17. Abbanya Aswa

60 3 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Selamat malam, udah lama, ya, aku nggak update?

---- HAPPY READING ----


Setelah menempuh perjalanan sekitar 7 jam, 7 menit lamanya, dengan berbagai peristiwa yang telah mereka lalui, akhirnya keduanya kini telah sampai di pekarangan pesantren El-Hakim, Bandung.

Jagat memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah sang Abi, agar memudahkannya untuk melakukan sesuatu hal yang mendesak, apabila terjadi.

Ia amati wanita yan tengah melamun---menatap pemandangan luar, begitu excited.

Kembali, Jagat menapaki kakinya kembali di tanah kelahirannya. Bandung, kota kembang yang telah menjadi saksi bisu tubuhnya Jagat kecil, dan awal insiden besar itu terjadi. Yang mengharuskannya untuk pergi, menjauh dari tempat itu.

"Kamu cape, ya?" Suara lembut itu menyapa pendengarannya–––membuat Aswa yang kala itu tengah melamun, tersenyum tipis.

Aswa menggeleng. "Kayaknya....bukan Aswa yang cape, tapi....kamu, kan? Ada apa? Ayo bercerita!" ujar Aswa kegirangan.

Jagat menghela napasnya berat. Menatap kedua mata Aswa tulus. Ia tahu, ia salah. Penyesalan yang mendalam ini takkan pernah hilang, selama ia masih hidup.

Mata yang menyiratkan sebuah rasa sakit sedikit menggenang dengan air bening yang hampir membasahi pipinya. Wajahnya benar-benar memerah, membuat Jagat tak yakin akan menyampaikan perasaan, yang sedang ia rasakan.

Aswa mencoba menenangkan diri Jagat. Mengusap punggung suaminya lembut dengan telapak tangannya–––yang hangat. Tak lupa, meminta agar laki-laki itu bersandar pada pundaknya, untuk membagi luka-nya. "Aswa benar, kan? Kamu yang lelah! Kamu yang sedang down! Mata kamu....bisa menjelaskan semuanya, tanpa kamu harus bercerita sedikitpun." kata Aswa panjang lebar. "kalau mau menangis, menangis saja! Aswa ngga akan liat, kok!" ujarnya memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Hahaha...kamu ini!" ujarnya.

Jagat kembali terdiam. Senyuman yang semula terukir indah sirna begitu saja. ".....maaf, ya!" katanya tulus. Menangkup wajah Aswa---agar dapat menatap kedua bola matanya.

Bersandar pada bahu Aswa---sedikit membuat hatinya tenang. Entah mengapa dan bagaimana, saat ia lelah, tak ada sesuatu yang mampu membuatnya tenang---kecuali senyum, maupun mata teduh, dan suara yang Aswa miliki.

"Untuk?" tanya Aswa, kebingungan.

"Semuanya! Maaf telah menjadikan kamu seorang perempuan yang harus menjadi istri dari seorang pendosa yang berusaha untuk taat, seperti saya." Jagat kembali mengeratkan genggaman tangannya.

"Maaf ... karena pernah menyamaratakan wanita itu sama seperti dia, termasuk kamu.
Maaf juga karena saya belum bisa menjadi pengemudi yang baik untuk penumpangnya." Sedikit merasa lega, kini Jagat mulai tersenyum.

Jagat tersenyum haru. Menyeka air matanya, menatap Aswa lekat. "Saya juga akan berusaha untuk meminta yang terbaik pada Rabb semesta. Menjadikan kamu wanita terakhir yang mampu membersamai saya di setiap suka maupun duka." kata Jagat.

"Sehat selalu....cahaya dalam hidup saya. Takkan saya biarkan, cahayamu redup, hanya karena manusia seperti saya." lanjutnya, mengecup kening Aswa lembut.

"Sudahi sedihnya, ya! Mari kita bertemu Abi dan
Umi! Pasti mereka bahagia jika melihat kamu!" ujar Jagat tersenyum manis.

Jagat kembali tersenyum, mengelus puncak kepala istrinya begitu sayang. "Kita istirahat, ya! Ini sudah sore, pasti kamu lelah."

BahiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang