Kehilangan dan Kebersamaan

142 22 1
                                    

Setelah malam yang panjang dan penuh emosi di apartemen Oline, mereka akhirnya beranjak tidur dengan perasaan campur aduk. Keesokan paginya, cahaya matahari perlahan merayap masuk melalui jendela, namun kali ini terasa lebih suram dari biasanya. Keduanya masih merenung tentang kenyataan bahwa apartemen yang selama ini menjadi tempat mereka untuk menghabiskan waktu bersama akan segera dijual. Mereka tahu bahwa waktu mereka di tempat ini tidak akan lama lagi.

Erine terbangun lebih dulu. Dia duduk di tepi tempat tidur, memandang ke luar jendela dengan pikiran yang berat. Oline masih tertidur di sebelahnya, tampak damai namun ada garis-garis kecemasan di wajahnya. Erine menghela napas, mencoba menenangkan dirinya, namun sulit untuk mengabaikan perasaan kehilangan yang mulai merayap dalam hatinya.

Erine perlahan membangunkan Oline dengan sentuhan lembut di bahunya. "Lin, bangun yuk. Kita harus siap-siap buat sekolah."

Oline membuka matanya perlahan, masih sedikit linglung. "Hmm, udah pagi ya? Rasanya baru aja kita tidur."

Erine tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kesedihannya. "Iya, tapi kita harus bangun sekarang. Nggak mau telat ke sekolah, kan?"

Oline mengangguk dan mulai bangkit dari tempat tidur. Keduanya berjalan ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Namun, suasana di antara mereka terasa lebih sepi dari biasanya. Oline merasakan ketegangan di udara, tetapi memilih untuk tidak membahasnya dulu. Mereka makan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Setelah selesai, Oline akhirnya memecah keheningan.

"Erine, aku tahu ini berat buat kita berdua," katanya dengan suara pelan. "Apartemen ini berarti banyak buat aku, tapi mungkin ini waktu yang tepat untuk move on."

Erine menatap Oline dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Ini tempat di mana kita bisa bebas, Lin. Nggak ada yang ganggu kita di sini. Kamu benar-benar siap untuk melepasnya?"

Oline menghela napas panjang. "Aku nggak yakin, tapi mungkin ini yang terbaik. Lagipula, kita masih punya satu sama lain, kan?"

Erine tersenyum kecil, meski hatinya masih terasa berat. "Iya, kamu benar. Kita masih punya satu sama lain."

Setelah sarapan, mereka bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Namun, perasaan kehilangan itu tetap melekat, seperti bayangan yang tidak bisa mereka hindari. Di perjalanan menuju sekolah, suasana di dalam mobil terasa hening, seolah-olah mereka berdua sedang mencoba memproses kenyataan yang baru saja mereka hadapi.

Sesampainya di sekolah, mereka disambut oleh teman-teman mereka yang sudah menunggu di gerbang. Seperti biasa, Ribka, Nachia, dan Aralie langsung menyapa dengan ceria, namun mereka segera menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dengan Oline dan Erine hari itu.

"Heh, kalian kenapa mukanya kayak abis ketemu setan?" celetuk Nachia dengan nada bercanda, mencoba mencairkan suasana.

Ribka mengangguk setuju. "Iya, biasanya kalian berdua ceria banget. Ada apa nih?"

Oline dan Erine saling berpandangan sejenak sebelum Oline menjawab. "Apartemen Gue mau dijual. Jadi ya, agak berat aja."

Suasana langsung berubah. Teman-teman mereka, yang biasanya penuh canda tawa, mendadak hening. Mereka tahu betapa pentingnya apartemen itu bagi Oline.

"Duh, gue nggak tau mesti ngomong apa, Lin," kata Delynn dengan nada prihatin. "Lo baik-baik aja, kan?"

Oline mengangguk pelan. "Gue baik-baik aja. Gue cuma perlu waktu buat nerima semua ini."

Erine menggenggam tangan Oline erat-erat, memberikan dukungan yang dia butuhkan. "Kita bakal lewat ini bareng-bareng."

Aralie, yang biasanya lebih tenang, maju dan menepuk bahu Oline. "Kalau lo butuh apa-apa, kita semua ada di sini buat lo."

ERINE!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang