Drama Keluarga Oline

170 19 2
                                    

Hari berikutnya terasa lebih tenang di apartemen Oline. Matahari pagi yang menyinari ruangan memberi kehangatan yang menenangkan, namun Oline tahu bahwa kebahagiaan semalam hanyalah sebuah jeda dari masalah yang selama ini membayangi hidupnya. Pagi itu, setelah menyelesaikan sarapan sederhana bersama Erine, sebuah panggilan telepon dari ibunya, Indah, mengawali sesuatu yang berat di hatinya.

“Ada apa, Ma?” Oline mengangkat telepon dengan nada tenang, meski sebenarnya perasaannya bercampur aduk. Dia belum siap untuk menghadapi masalah baru setelah semua yang terjadi.

Indah terdiam sejenak di ujung telepon, sebelum akhirnya bicara dengan nada yang penuh dengan penyesalan. “Oline, Mama sama Papa mau bicara sama kamu. Kita perlu ketemu, bisa hari ini?”

Oline menarik napas dalam-dalam, menatap Erine yang sudah menebak sesuatu tak beres sedang terjadi. “Boleh, Ma. Kapan dan di mana?”

“Di rumah. Papa juga mau bicara sama kamu,” jawab Indah pelan, hampir seperti merasa bersalah.

Setelah menutup telepon, Oline hanya terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri. Erine yang duduk di sampingnya menggenggam tangannya dengan lembut. “Kamu mau aku ikut, Sayang?”

Oline tersenyum kecil, menghargai perhatian dari Erine. “Gak usah, Sayang. Aku rasa ini harus aku selesaikan sendiri. Tapi aku bakal kabarin kamu setelahnya, oke?”

Erine mengangguk, walaupun raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran. “Oke, tapi kalau kamu butuh aku, jangan ragu buat telepon ya.”

Setelah mandi dan bersiap, Oline meninggalkan apartemen dan menuju rumah orang tuanya. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan tentang apa yang akan dibicarakan oleh kedua orang tuanya. Dia berharap ini bukan kabar buruk, tapi instingnya mengatakan sebaliknya.

Ketika sampai di rumah, Oline disambut oleh kedua orang tuanya yang tampak sudah menunggu di ruang tamu. Ayahnya, Oniel, duduk dengan raut wajah serius, sementara ibunya terlihat sedikit tegang.

Oline duduk di sofa, mempersiapkan diri untuk mendengarkan apa yang ingin mereka sampaikan. “Oke, ada apa? Kenapa kalian ingin bicara sama aku?”

Indah mengambil napas dalam-dalam, kemudian mulai bicara dengan nada penuh penyesalan. “Oline, kami berdua mau minta maaf atas semua yang terjadi selama ini. Kami sadar kalau kami udah terlalu keras sama kamu dan kurang memperhatikan perasaan kamu.”

Oniel, yang biasanya lebih tegas, kali ini terlihat lebih tenang. “Kami sudah banyak berpikir, dan kami sadar kalau keputusan kami yang terburu-buru untuk menjual apartemen kamu itu salah. Kami gak memikirkan dampaknya buat kamu. Dan sekarang, kami mau memperbaiki semuanya.”

Oline terkejut dengan kata-kata mereka. Dia tidak menyangka akan mendengar permintaan maaf seperti ini. “Jadi, kalian… kalian benar-benar minta maaf?”

Indah mengangguk pelan, matanya tampak berkaca-kaca. “Iya, Nak. Kami benar-benar minta maaf. Dan bukan hanya itu, kami juga akan membatalkan rencana untuk menjual apartemen kamu. Sekarang apartemen itu akan terus menjadi milik kamu.”

Oline terdiam, perasaannya campur aduk antara lega dan bahagia. Ini adalah hal yang sudah lama dia harapkan, namun tidak pernah menyangka bahwa orang tuanya benar-benar akan melakukan ini.

“Kenapa?” tanya Oline akhirnya, masih bingung dengan perubahan sikap mereka yang tiba-tiba. “Kenapa kalian berubah pikiran?”

Oniel yang menjawab kali ini. “Karena kami sadar, kami gak bisa terus memaksakan kehendak kami ke kamu. Kami lihat betapa kerasnya kamu berusaha untuk mandiri, dan kami bangga sama kamu. Tapi kami juga takut kehilangan kamu kalau terus seperti ini.”

Indah menambahkan, suaranya sedikit bergetar. “Kamu udah dewasa, Oline. Kami gak mau hubungan kita rusak hanya karena kami terlalu keras kepala. Kami mau memperbaiki hubungan ini, kalau kamu masih mau memberi kami kesempatan.”

Oline merasa matanya mulai memanas, perasaan haru meluap di dalam dirinya. Ini adalah momen yang sudah lama dia impikan, di mana orang tuanya akhirnya mengakui perasaannya dan mau berubah untuk memperbaiki hubungan mereka.

Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air matanya. “Aku… aku gak tahu harus bilang apa. Aku senang, benar-benar senang. Aku juga minta maaf kalau selama ini aku terlalu keras kepala dan sering bikin kalian kecewa.”

Indah menggeleng, lalu berdiri dan mendekat ke Oline, memeluknya dengan erat. “Gak, Nak. Kami yang seharusnya minta maaf. Kami terlalu menuntut dan gak peka sama perasaan kamu. Mulai sekarang, kita akan coba lebih memahami satu sama lain, ya?”

Oniel ikut berdiri dan merangkul mereka berdua. “Kami sayang kamu, Oline. Dan kami gak mau kehilangan kamu. Mari kita mulai lagi dari awal.”

Pelukan itu terasa hangat dan penuh kasih sayang, sesuatu yang sudah lama tidak dirasakan Oline dari kedua orang tuanya. Ini adalah awal baru bagi mereka, sebuah kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang sempat renggang.

Setelah beberapa saat, mereka akhirnya melepaskan pelukan. Oline merasa beban yang selama ini ada di pundaknya perlahan mulai menghilang. “Terima kasih… terima kasih sudah mau mencoba mengerti aku. Aku janji, aku akan berusaha untuk jadi anak yang lebih baik buat kalian.”

Indah tersenyum lembut. “Kamu gak perlu jadi anak yang sempurna. Kami hanya ingin kamu jadi diri sendiri dan bahagia.”

Oline mengangguk, matanya masih basah oleh air mata kebahagiaan. “Aku juga ingin kalian bahagia. Terima kasih, Mama, Papa. Ini berarti banyak buat aku.”

Setelah momen penuh emosi itu, mereka melanjutkan pembicaraan dengan lebih ringan. Indah dan Oniel bertanya tentang bagaimana kabar Oline dan apa rencananya ke depan, sementara Oline dengan senang hati berbagi cerita tentang teman-temannya, terutama Erine.

“Jadi, Erine itu… pacar kamu?” tanya Indah hati-hati, namun dengan nada yang penuh rasa ingin tahu.

Oline tersenyum kecil dan mengangguk. “Iya, Ma. Dia pacar aku. Dan aku benar-benar sayang sama dia.”

Indah dan Oniel saling pandang sejenak, lalu tersenyum. “Kalau begitu, kami ingin lebih mengenal Erine. Mungkin kita bisa mengundangnya makan malam di sini kapan-kapan?” usul Oniel.

Oline tersenyum lebar, merasa bahwa ini adalah awal dari hubungan yang lebih baik antara dirinya, keluarganya, dan Erine. “Tentu, Pa. Aku yakin Erine juga bakal senang.”

Setelah percakapan yang panjang, Oline akhirnya pamit pulang. Dia merasa sangat lega dan bahagia dengan perubahan besar yang terjadi dalam keluarganya. Di perjalanan pulang, dia mengirim pesan ke Erine untuk memberitahu kabar baik ini.

Ketika sampai di apartemen, Oline langsung memeluk Erine dengan erat, menceritakan semuanya dengan penuh kegembiraan. “Mereka minta maaf, dan apartemen ini udah jadi milik aku lagi!”

Erine tersenyum bahagia, memeluk Oline dengan erat. “Aku senang banget dengarnya, Sayang.”

Oline menatap Erine dengan penuh kasih sayang, merasa bahwa semua masalah yang selama ini menghantui hidupnya perlahan mulai teratasi. “Aku gak tahu harus bilang apa. Aku cuma tahu kalau aku sangat bersyukur atas semua yang sudah terjadi.”

Erine membalas tatapan itu dengan penuh cinta. “Itu semua berkat usaha dan kesabaran kamu Oline, aku selalu ada buat kamu. Kita akan melalui semuanya bersama.”

Malam itu, mereka merayakan kabar baik ini dengan makan malam sederhana di apartemen, sambil membicarakan rencana-rencana masa depan mereka. Oline merasa lebih kuat dan lebih siap menghadapi apa pun yang akan datang, dengan Erine di sisinya dan dukungan penuh dari keluarganya.


tbc.

hehehehheg hari ini double up, nanti aku up lagi pas orine fotbar ya😙😙. good night guysii!!!

ERINE!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang