Jalan Tengah

434 52 3
                                    

Hari itu, setelah kelas selesai, Oline langsung menuju rooftop sekolah. Tempat itu selalu jadi pelariannya, di mana dia bisa menikmati ketenangan di tengah hiruk-pikuk sekolah. Tapi kali ini, suasana hatinya sedikit berbeda setelah obrolan dengan Nala dan gengnya. Meski masih merasa canggung, dia nggak bisa menyangkal kalau perlahan dia mulai membuka diri, meski cuma sedikit.

Saat sedang asyik menikmati sebatang rokok, Oline mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Dia langsung menoleh dan melihat Erine, berdiri di pintu masuk rooftop dengan ekspresi canggung.

"Lo ngapain di sini?" tanya Oline, suaranya datar tapi ada sedikit rasa penasaran.

Erine nggak langsung menjawab, terlihat ragu untuk mendekat. "Gue... Gue cuma butuh tempat buat sendiri."

Oline mengangkat alis. "Di sekolah sebesar ini, lo milih tempat ini?"

Erine mengangguk pelan, mencoba menghindari tatapan Oline. "Gue nggak tau lo di sini."

Oline menarik napas dalam dan memutuskan untuk mengabaikan kehadiran Erine. Tapi meski begitu, Erine tetap diam di sana, hanya berdiri tanpa melakukan apapun. Suasana jadi agak canggung sampai akhirnya Oline yang pertama kali bicara lagi.

"Lo mau apa, Erine?" Nada suaranya terdengar lebih lembut sekarang, meski masih terasa ada jarak.

Erine terdiam sejenak sebelum akhirnya mengaku. "Gue cuma... Gue cuma lagi butuh waktu buat sendiri. Tapi kalau lo nggak mau gue di sini, gue bisa pergi."

Oline menatap Erine sejenak, menimbang-nimbang. Meski awalnya dia nggak terlalu peduli, ada sesuatu di dalam diri Erine yang membuat Oline sedikit tersentuh. "Gue nggak nyuruh lo pergi. Lo boleh disini kalau lo mau."

Erine akhirnya memberanikan diri untuk melangkah masuk ke rooftop dan duduk di salah satu bangku yang ada di sana. "Thanks," gumamnya pelan.

Keduanya duduk dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Meski nggak ada percakapan, keberadaan satu sama lain terasa anehnya cukup menenangkan. Oline, yang biasanya selalu ingin sendirian, merasa aneh tapi sedikit lega karena ada orang lain di sana.

"Kenapa lo selalu kelihatan marah sama gue?" tiba-tiba Erine bertanya, suaranya pelan tapi terdengar jelas di tengah keheningan.

Oline sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Gue nggak marah sama lo. Cuma... gue nggak ngerti kenapa lo selalu pengen ada di dekat gue."

Erine menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Gue juga nggak ngerti, tapi ada sesuatu tentang lo yang... gue nggak bisa jelasin."

Oline mendengus pelan, setengah tersenyum. "Lo pasti orang yang suka tantangan, ya?"

Erine menggeleng cepat. "Bukan gitu. Gue cuma... Gue nggak tau, Oline. Lo bikin gue kesel, tapi gue juga nggak bisa  mengabaikan lo."

Oline menghela napas panjang, mematikan rokoknya dan menatap langit yang mulai gelap. "Gue juga nggak ngerti lo, Erine. Lo beda dari anak-anak lain."

"Lo juga," Erine balas cepat, seakan-akan nggak ingin kalah dalam percakapan ini. "Lo nggak kayak yang lain. Lo keras kepala, dingin, tapi lo juga kelihatan... kesepian."

Kata terakhir itu membuat Oline menoleh, menatap Erine dengan tatapan yang sulit diartikan. "Gue? Kesepian? Lo tau apa tentang kesepian?"

Erine menunduk, sedikit terkejut dengan respon Oline. "Gue nggak tau apa-apa, tapi gue bisa lihat. Dan... gue pengen lo tau kalau gue ada di sini."

Oline terdiam, mencoba mencerna kata-kata Erine. Dia nggak tau harus merespons bagaimana, karena di satu sisi, kata-kata Erine terasa terlalu dekat dengan kebenaran yang selama ini dia coba hindari.

ERINE!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang