Pertemuan Tak Terduga

677 94 2
                                    

Pagi itu, udara segar menyelimuti Sekolah Putri Harlan. Erine, dengan langkah ringan dan senyuman yang selalu menawan, melangkah memasuki gerbang sekolah. Di dalam tasnya, ada buku-buku sketsa dan alat lukis yang selalu menemani hari-harinya. Seperti biasa, ia disambut hangat oleh teman-teman sekelasnya yang selalu mengagumi keceriaan dan keramahan Erine. Dia adalah sosok yang selalu diandalkan, baik dalam akademik, kegiatan seni, maupun organisasi sekolah. Kehidupan Erine penuh dengan keteraturan, dan dia mencintai setiap detiknya.

Namun, pagi itu, di tengah rutinitas yang ia jalani, matanya menangkap sosok yang berbeda. Oline Manuel, gadis dengan rambut hitam gelap yang sedikit acak-acakan, mengenakan seragam sekolah dengan cara yang seolah tidak peduli pada aturan ditambah dengan jaket kulit hitam yang selalu ia kenakan. Oline berjalan menyusuri lorong dengan langkah penuh percaya diri, bola basket di tangannya memantul lembut di lantai koridor. Di sekitarnya, murid-murid lain bergerak menjauh, seolah tak ingin terlibat atau bahkan berpapasan dengannya.

Oline adalah gadis yang selalu mencuri perhatian, meski bukan dalam arti yang biasa. Kecantikannya memang tak terbantahkan, tapi sikapnya yang acuh, angkuh, dan dingin membuatnya tampak sulit didekati. Senyum sinis yang hampir selalu menghiasi wajahnya adalah peringatan bagi siapa pun yang berani mendekat. Meskipun banyak yang kagum padanya karena kemampuannya dalam bermain basket, Oline lebih dikenal sebagai sosok yang tak pernah benar-benar membuka diri pada siapa pun.

Erine, dengan rasa penasaran yang besar, tak bisa mengalihkan pandangannya dari Oline. Ada sesuatu yang membuatnya tertarik, meskipun gadis itu begitu berbeda dari dirinya. Ketika Oline lewat, tatapan mereka bertemu sejenak, dan Erine merasa seolah-olah waktu berhenti. Dalam detik singkat itu, Erine melihat sesuatu di mata Oline, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar sikap acuhnya. Namun, sebelum Erine bisa menyelami lebih jauh, Oline sudah membuang muka, mengalihkan pandangan dengan kesan dingin yang memutuskan kontak mereka.

“Jangan terlalu deket sama dia deh, Erine,” bisik Nachia, salah satu teman sekelasnya saat mereka berjalan menuju ruang seni. “Oline itu bermasalah, sering bolos, pembangkang, dan kayaknya dia gak peduli sama siapapun kecuali dirinya sendiri deh.”

Erine hanya mengangguk, meskipun pikirannya melayang pada Oline. Ketika tiba di ruang seni, Erine mencoba fokus pada tugas yang ada di depannya. Namun, bayangan Oline terus mengganggu pikirannya. Rasa penasaran itu tumbuh semakin kuat, dan Erine tak bisa menahannya. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Oline, meskipun gadis itu jelas-jelas menunjukkan sikap dingin yang menolak semua orang.

Saat jam istirahat, Erine memutuskan untuk pergi ke lapangan basket, tempat di mana dia sering melihat Oline bermain sendirian. Lapangan itu sepi, hanya ada Oline yang sedang menembakkan bola ke dalam ring dengan gerakan yang luwes dan akurat. Erine berdiri di pinggir lapangan, menyaksikan dari kejauhan. Setiap kali bola masuk ke dalam ring, Oline hanya menatapnya sebentar sebelum mengambil bola lagi, tanpa ada ekspresi puas atau bahagia. Dia melakukan semuanya dengan otomatis, seolah-olah tanpa perasaan.

Akhirnya, Erine memberanikan diri untuk mendekat. “Cara lo main basket bagus banget, lin” kata Erine dengan nada lembut, berusaha membuka percakapan.

Oline berhenti sejenak, menoleh ke arah Erine dengan tatapan datar. “Lo butuh sesuatu?” jawabnya singkat, nada suaranya sedingin seperti menunjukan bahwa dia tidak menyukai keberadaan erine disini.

Erine sedikit terkejut dengan respons itu, tetapi dia tidak menyerah. “Gue cuma mau kenal sama lo lebih baik. gue ngeliat lo tadi pagi di lorong, dan gue pikir—”

“lo pikir apa?” potong Oline cepat, bola basket masih dalam genggamannya. “lo pikir gue butuh teman? Butuh seseorang buat duduk dan ngedengerin semua kelu kesah gue? Jangan buang buang waktu lo, Erine. Gue baik-baik saja sendiri.”

Kata-kata Oline seperti pukulan telak. Erine merasakan dinginnya sikap Oline seperti tembok tak terlihat yang memisahkan mereka. Namun, di balik kata-kata tajam itu, Erine menangkap sesuatu yang lain. Tapi sebelum Erine bisa merespons, Oline sudah berbalik, memunggungi Erine, dan melanjutkan permainannya, seolah percakapan mereka barusan tidak pernah terjadi.

Dengan perasaan campur aduk, Erine melangkah menjauh dari lapangan. Hatinya berdebar, bukan karena ketakutan, tetapi karena rasa penasaran yang semakin besar. Oline adalah misteri yang sulit dipecahkan, dan entah kenapa, Erine merasa dirinya semakin tertarik untuk menyelami misteri itu. Ada sesuatu tentang Oline yang membuatnya ingin lebih dekat, ingin lebih mengenal, meski gadis itu berulang kali menunjukkan bahwa dia tidak ingin didekati.

Hari-hari berikutnya, Erine sering menemukan dirinya mencari-cari keberadaan Oline, baik di lorong sekolah, lapangan basket, maupun kantin. Setiap kali mereka bertemu, Oline selalu menunjukkan sikap yang sama—dingin, angkuh, dan tak terjangkau. Namun, semakin Oline menjauh, semakin kuat dorongan dalam hati Erine untuk mendekat. Ada sesuatu dalam sikap Oline yang seolah memanggilnya, meski dengan cara yang keras dan kasar.

tbc

link saweria ada bio ya guys! dadah kapan kapan lagi!!

ERINE!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang