Titik Didih dan Ego

484 57 5
                                    

Keesokan harinya, sekolah kembali dipenuhi aktivitas biasa. Namun, bagi Erine, hari ini terasa sedikit berbeda. Sejak percakapannya dengan Oline di taman kemarin, dia merasa ada yang menggelitik di hatinya. Perasaan yang berusaha dia tolak namun semakin hari semakin sulit untuk diabaikan. Tapi tentu saja, Erine bukan tipe orang yang mudah mengakui perasaannya, terutama kalau itu menyangkut seseorang seperti Oline.

Di sela-sela istirahat, seperti biasa, Erine berkumpul dengan teman-temannya—Delynn, Nachia, Ribka, dan Aralie. Mereka duduk di kantin sambil membicarakan hal-hal ringan, tapi seperti biasa, Nachia nggak bisa menahan diri untuk mulai meledek temannya.

"Eh, Rin," kata Nachia dengan nada usilnya yang khas, "Lo belakangan ini kok keliatan galau banget sih? Jangan-jangan lo lagi naksir seseorang ya?"

Ribka yang duduk di sebelah Nachia langsung menimpali dengan ceplas-ceplos, "Iya, bener tuh! Pasti ada yang lagi bikin lo nggak bisa tidur nih, ya?"

Erine mencoba menahan senyum dan menjawab dengan defensif, "Apaan sih lo pada? Nggak ada, kok. Gue baik-baik aja."

Aralie, yang selalu lembut dan tenang, menatap Erine dengan mata penuh perhatian. "Nggak apa-apa kalau lo lagi ada masalah, Ri. Kita di sini buat lo, kok."

Erine menghela napas. Meski dia tahu teman-temannya hanya bercanda, tapi entah kenapa, kali ini candaannya terasa sedikit menusuk. Mungkin karena mereka tidak sadar bahwa ledekan mereka sangat mendekati kenyataan yang coba dia hindari.

Delynn, yang biasanya paling jahil, malah lebih fokus menghabiskan makanannya sambil tersenyum kecil melihat situasi di depannya. Tapi tiba-tiba, dia menatap ke arah pintu kantin dan menegakkan tubuhnya. "Eh, itu Oline kan?"

Semua mata langsung tertuju ke arah pintu, dan benar saja, Oline baru saja masuk ke kantin. Seperti biasa, dia terlihat acuh, dengan ekspresi datar dan langkah santai yang mencerminkan sikap dinginnya. Tanpa memperhatikan sekeliling, Oline langsung menuju meja yang sudah dipesan oleh Nala dan geng jamet-nya.

Erine berusaha menjaga ekspresinya tetap netral, tapi dalam hatinya, dia tahu dia tidak bisa menahan perasaan aneh itu setiap kali melihat Oline. Rasa kesal, penasaran, dan entah apa lagi bercampur menjadi satu.

"Dia cool banget ya," komentar Nachia yang masih saja usil. "Tapi sayangnya, nggak ada satu pun dari kita yang bisa mendekatinya. Lo tau nggak Rin, kemarin ada gosip kalau Oline mulai nongkrong bareng geng Nala. Kayaknya dia udah mulai buka diri sedikit."

Ribka mengangguk, ikut menambahkan. "Tapi tetep aja, dia masih terlihat jauh dari kita. Nggak ngerti kenapa ada orang yang nyebelin begitu."

Aralie, yang dari tadi diam, hanya tersenyum tipis sambil menatap Erine. Meskipun dia tidak berkata apa-apa, tatapannya seolah menyiratkan bahwa dia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda pada Erine hari ini.

Sementara itu, di meja lain, Oline duduk bersama Nala, Lily, Levi, dan Regie. Mereka sedang asyik membahas rencana akhir pekan yang penuh dengan ide-ide spontan khas geng jamet.

"Nala, lo yakin nih kita mau pergi ke vila lo itu?" tanya Levi, sambil menggigit sandwich-nya. "Kayaknya sih seru, tapi..."

Nala, dengan gaya jamet-nya yang khas, tertawa lepas. "Santai aja, Levi. Semuanya bakal aman kok. Kita udah sering nongkrong di sana. Lo cuma perlu ikut alur aja, Lev."

Regie, yang selalu cool, menimpali dengan suara tenangnya, "Gue setuju sama Nala. Kita butuh refreshing dari semua rutinitas ini."

Oline, yang masih merasa sedikit canggung, hanya mendengarkan percakapan mereka tanpa banyak bicara. Meski dia mulai merasa nyaman berada di sekitar mereka, ada bagian dari dirinya yang masih ragu untuk benar-benar terlibat.

ERINE!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang