BAB 06

4.8K 276 5
                                    

yok vote yok sebelum baca.

..........................

BAGIAN 06

Agrima memperlambat laju kendaraan saat penunjuk arah digital memberi tahu jika ia sudah sampai di tempat tujuannya.

Benar, sebuah rumah mewah yang megah dengan gaya khas Eropa Modern. Dan terdiri dari empat lantai, saat dihitung.

Mansion megah ini merupakan kediaman milik pengusaha Sapta Priga Ayodya.

Tentu saja, hari ini adalah pertama kali bagi Agrima untuk berkunjung. Itu pun karena Sapta Priga Ayodya yang meminta.

Alamat rumah dikirimkan tadi pagi, ketika ia mengonfirmasi akan datang ke kantor pria itu dan bekerja sebagai sekretaris.

Walau cukup malas, namun tak mampu untuk dibantah apa yang diminta pria itu.

"Aku langsung masuk?"

Drrttt ....

Drrttt ....

Drrttt ....

Ponselnya berbunyi dengan nada nyaring.

Dan ternyata ada sebuah panggilan masuk. Berasal dari Sapta Priga Ayodya pula.

Agrima tentu langsung mengangkat.

"Sudah sampai?"

"Sudah," jawabnya dengan amat singkat.

"Masuklah, Grima."

Telepon lalu diputus secara sepihak oleh Sapta Priga Ayodya di seberang sana.

Gerbang besar nan menjulang tinggi yang menutupi rumah mewah pria itu tampak membuka otomatis. Akses telah diberikan.

Agrima segera saja melajukan kendaraan roda empatnya ke dalam. Lebih cepat bisa bertemu pria itu, maka semakin bagus.

Saat sampai di halaman depan yang cukup luas, ada seorang penjaga rumah mendekat ke mobilnya. Seperti akan menyambut.

Agrima pun lekas keluar.

"Selamat pagi, Ibu."

Dirinya disapa dengan sangat hormat.

"Selamat pagi," sapanya balik dalam nada yang sopan. Senyum sedikit diukirnya.

"Bapak Sapta sudah menunggu Ibu sejak tadi di ruang ganti. Tolong ikut saya, Bu."

"Oke, saya akan ikut."

Walau cukup bingung dan bertanya-tanya akan apa tujuan dari Sapta Priga Ayodya, tetap diikutinya kepala pelayan yang akan menghantar dirinya bertemu pria itu.

Mereka naik ke lantai empat dengan lift.

Dan hanyalah butuh waktu amat singkat untuk sampai. Ia pun masih mengikuti di belakang kepala pelayan yang berjalan.

Tak lupa matanya diedarkan ke sekeliling, upaya mengamati lingkungan yang amat baru baginya karena perdana dikunjungi.

Kesan minimalis sangat kental. Perabotan tak banyak. Hanya beberapa benda wajib yang mengisi per ruangan, seperti deretan kursi, meja, dan atribut-atribut pendukung.

"Bapak Sapta menunggu Ibu di dalam."

"Silakan masuk, Bu."

"Ketuk dulu beberapa kali, supaya Bapak Sapta tahu Ibu Agrima sudah datang."

Titah sang kepala pelayan pun dilakukan. Ia hanya ingin segera bertemu dengan si pemilik rumah untuk membicarakan lebih lanjut tentang kesepakatan kerja.

Tok!

Tok!

Tok!

Tok!

Agrima mengetuk empat kali saja. Dan ia rasa sudah cukup. Pasti akan didengar oleh sang mantan kekasih yang ada di dalam.

"Saya permisi turun dulu, Bu."

"Baik, terima kasih banyak," ujar Agrima dengan sopan dan tersenyum ramah.

Cklek.

Ketika mendengar suara pintu membuka, ia langsung memusatkan atensi ke depan.

Tak lama, sosok Sapta Priga Ayodya pun tertangkap oleh kedua matanya.

Netra spontan membeliak, ketika melihat pemandangan pria itu yang tak memakai atasan, alias bertelanjang dada.

"Saya kira kamu tidak mau ke sini."

Agrima mendengar jelas yang dikatakan sang mantan kekasih, namun lidahnya jadi kelu karena masih diserang rasa kaget.

Kontras dengan Sapta Priga Ayodya yang mengulas senyuman cukup lebar, senang karena Agrima memenuhi permintaannya.

"Tolong bantu saya, Grima."

"Ke sini sekarang." Sapta pun lekas saja menyingkir dari pintu, memberikan ruang pada Agrima guna masuk ke kamarnya.

"Mas mau aku ke dalam? Ngapain?"

Karena titah dilontarkan oleh sang mantan kekasih terdengar amat mencurigakan, ia tentu merasa wajib mengonfirmasi.

Reaksi Sapta Priga Ayodya? Tertawa!

Dan Agrima kira pria itu akan menjawab, namun justru tangannya ditarik, sehingga ia harus mengikuti mantannya ke dalam.

Mereka terus berjalan, sampai akhirnya bisa berhenti tepat di lemari pakaian.

Apa rencana mantan kekasihnya?

"Saya tidak akan macam-macam, jika saja kamu menuduh saya akan melakukan hal yang merugikan kamu sebagai wanita."

Agrima pun diam, belum memiliki balasan untuk diluncurkan atas pengakuan mantan kekasihnya. Namun, ia tetap waspada.

"Saya cuma ingin meminta bantuan kamu memilihkan saya dasi dan kemeja."

"Anggap ini tugas perdana kamu sebagai sekretaris pribadi saya. Bersedia, Grima?"

"Oke," jawabnya singkat saja.

"Yang mana bagus saya pakai?"

Agrima langsung mengikuti arah pandang mantan kekasih yang tertuju pada lemari pakaian. Kemudian, ia tersentak sendiri.

Sudah pasti kaget melihat semua kemeja dan dasi-dasi pemberiannya dulu, masih disimpan oleh Sapta Priga Ayodya.

Padahal sudah empat tahun berlalu.

"Yang mana bagus saya pakai, Grima?"

Pertanyaan sang mantan kekasih seketika dapat menyadarkannya. Ia harus kembali fokus agar bisa menjawab pria itu.

Namun, dirinya tak berniat menyahut, tapi segera mengambil kemeja lengan panjang warna navy dan juga dasi hitam.

Lalu, diserahkan pada pria itu.

Sapta Priga Ayodya pun tak berkomentar, lekas mengenakan atasan diberikannya.

Atensi sang mantan kekasih terpusat pada dirinya terus, sehingga menciptakan jenis kontak mata yang intens di antara mereka.

"Tolong bantu saja pasang dasi, Grima."

Demi mempercepat mengakhiri situasi tak menyenangkan ini, Agrima lekas menurut akan apa yang diminta oleh Sapta.

Dibuat simpul demi simpul dengan gerak cepat tanpa hambatan sama sekali.

"Grima ...,"

"Hhmm?"

"Kamu lulus memasangkan saya dasi."

"Itu artinya kamu juga lulus menjadi calon istri yang saya inginkan, Grima."

Agrima ingin menyahuti dengan jawaban yang menohok, namun ia kalah cepat dari Sapta. Pria itu sudah menyerahkan sebuah kotak yang di dalamnya terdapat gaun.

"Kita makan malam romantis nanti malam dan anggap ini sebagai tugas sekpri."

Selisih 12 TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang