BAB 14

3.3K 180 8
                                    

Yok vote sebelum baca.

.............................

BAGIAN 14

Sapta tak cukup suka datang ke sekretariat pusat partai. Namun, ia diwajibkan oleh sang ayah untuk lebih sering berkunjung.

Sebulan biasanya hanya empat kali, tapi mulai dua minggu lalu, dirinya pergi ke sana hampir tiga kali dalam sepekan.

Tentu, semakin pula melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang ada. Walau hanya menjabat sebagai anggota kader biasa.

Ya, sampai setahun kedepan, sang ayah menuntutnya untuk mengenal bagaimana struktural kepengurusan, kinerja, dan juga pergerakan elektabilitas partai.

Termasuk pula mempelajari setiap anggota yang mungkin bisa menjadi penghalang pencalonan dirinya sebagai ketua umum.

Semua punya kepentingan masing-masing. Dan tentu tak boleh berbenturan ataupun berlawanan dengan tujuan yang hendak ia capai. Jika ada yang tidak sejalan, mereka patut dirangkul untuk mendukungnya

Andaikan saja menduduki posisi pimpinan tertinggi partai bukanlah syarat utama agar dirinya diizinkan menikahi sang istri dan juga mempublikasikan pernikahan, maka dirinya tak berminat menjadi ketua umum.

Terjun ke dunia politik rasanya lebih rumit dan kompleks, dibandingkan menjalankan bisnis-bisnisnya yang beragam.

Namun karena tuntutan syarat, mau tidak mau dirinya harus menghadapinya. Lagi pula, ia yang sendiri sudah menyanggupi, tentu harus dituntaskan sampai akhir.

Sang ayah juga sudah menaruh amanat dan kepercayaan besar padanya memimpin partai setelah memutuskan pensiun. Jadi, ia wajib mewujudkan keinginan ayahnya.

"Bisa berangkat ke Meksiko?"

Pertanyaan diajukan Prabha Winangun, setelah hampir setengah jam mereka tanpa obrolan dan hanya menikmati kopi.

"Lo dan gue?" tanggap Sapta cepat.

"Benar, Bung."

"Pengajuan kerja sama kita diterima."

"Yang mana?" Sapta belum bisa mendapat poin utama arah pembicaraan mereka.

"Migas di Timur Tengah."

"Tapi, penguasa di sana."

"Seminggu lagi. Visa lagi diurus staf gue. Nanti akan ada konfirmasi lanjutan."

"Kosongkan dulu jadwal lo, Sapta."

Tak segera diberikan keputusan atas apa yang diajukan Prabha Winangun. Ia perlu memikirkan kembali, apakah akan ikut.

Rasanya sulit pergi setelah menikah. Tidak bisa ditinggalkan Agrima begitu saja.

Sekalipun untuk urusan bisnis.

Misal hari ini saja, baru berpisah selama beberapa jam, sudah mampu menciptakan rasa rindu luar biasa pada wanita itu.

Jika urusan telah selesai di sekretariat, ia akan meluncur langsung ke kantor supaya bisa bertemu dengan sang istri.

Mungkin hadiah kecil seperti buket bunga, perlu dibeli untuk Agrima nanti.

"Bagaimana, Bro? Mustahil gue sendirian pergi. Beberapa kartel agresif di sana."

"Oke, gue akan ikut," putus Sapta.

Benar, dalam pengambilan keputusannya untuk kepentingan bisnis, memang wajib disingkirkan perasaan pribadinya.

"Berapa lama di sana?"

"Paling dua mingguan."

"Lumayan lama," respons Sapta spontan.

Empat belas hari jelas cukup panjang saat memiliki istri yang selalu ingin dilihat.

Apalagi, negara akan dikunjungi berada di benua dan zona waktu juga berbeda.

Namun, harus tetap dihadapi. Masih ada banyak cara tetap menjalin komunikasi dengan Agrima yang akan ditinggalnya.

Lagi pula, sepertinya, sang istri tak akan keberatan jika dirinya pergi jauh.

Tok!

Tok!

Tok!

Setelah ketukan tiga kali di pintu, asisten pribadi utamanya pun masuk ke ruangan.

Apa yang akan dilaporkan?

"Permisi, Pak Sapta, Pak Prabha."

"Ada apa, Pak?" Diberikan respons cepat atas sapaan hormat sang asisten.

"Apa Pak Sapta berkenan untuk menerima tamu? Ada yang ingin bicara dengan Pak Sapta? Saya diminta meminta izin."

"Siapa yang ingin bicara dan juga bertemu dengan saya?" Sapta merasa curiga.

Sudah dipasang ekspresi datar andalan dan sorot mata tajam pada sang asisten.

"Gabriel Muscha."

"Anak Dari John Muscha."

Tanpa perlu disebutkan jabatan dari sang politikus sebagai salah satu elit partai dan menempati posisi dewan pertimbangan, ia sudah terbayang sosok politisi senior itu.

Termasuk rekanan dekat sang ayah.

"Bagaimana, Pak Sapta? Apa akan Bapak perbolehkan Gabriel Muscha masuk?"

"Kenapa dia ingin menemui saya?"

"Dia ingin mendaftar sebagai relawan Pak Sapta untuk pencalonan ketua umum."

"Baik." Sapta memutuskan secara cepat.

Sang sekretaris pun bergegas keluar ruang kerja guna memanggil sang tamu.

Dan tak lama, seorang wanita muda sudah masuk ke dalam dengan membawa buket bunga. Beberapa tas belanjaan juga.

Kewaspadaan Sapta jelas meningkat. Tak bisa tidak curiga. Justru kian dipamerkan raut wajah dingin dan tatapan menelisik.

"Selamat sore, Pak Sapta."

"Selamat sore," balasnya sembari bangun dari kursi kebesaran yang ditempati.

"Perkenalkan nama saya Gabriel Muscha."

"Saya adalah fans Pak Sapta."

"Saya ngefans sekali dengan Pak Sapta."

"Tolong terima kado-kado saya ini."

Sapta cukup kebingungan, namun tetap tak bisa menolak buket bunga dan juga tas-tas belanjaan yang diserahkan sang tamu.

"Saya akan mendukung Pak Sapta menjadi ketua umum Partai Bersatu Nasional."

"Satu ... satu ... satu." Gabriel pun penuh semangat menyerukan yel-yel fraksi.

"Tolong terima saya sebagai relawan Pak Sapta. Saya akan membantu Pak Sapta."

Gabriel lalu membungkukkan badannya.

Selisih 12 TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang