BAB 20

3.7K 206 2
                                    

Yok vote sebelum baca.

...................

BAGIAN 20

"Jenis kelaminnya belum kelihatan."

"Masih harus menunggu tiga minggu lagi. Baru akan jelas kelamin calon bayinya."

"Belum kelihatannya, yah, Dokter Kena? Aku sudah penasaran banget padahal."

Agrima sedikit kecewa, mengingat rasa antusias di dalam diri sudah cukup besar.

Namun, belum bisa diketahuinya.

Harus menanti sampai pemeriksaan yang berikutnya, seperti kata Dokter Kenanga Weltz. Jadi, ia harus memendam kembali rasa ingin tahu hingga waktunya tiba.

"Sabar, Bumil Cantik. Kita tunggu tiga pekan lagi. Tidak akan lama kok itu."

"Memang kamu maunya anak apa?"

Agrima pun langsung memikirkan secara serius pertanyaan Dokter Kenanga Weltz. Pasalnya, ia juga belum dengan pasti ingin buah hatinya perempuan atau laki-laki.

Hanya dari kemarin dorongan rasa ingin tahu besar dan hendak dipastikan segera.

"Hmm, kalau anak pertamaku cewek, akan seru juga. Aku jadi punya teman kecil."

Agrima tertawa. Lucu saja membayangkan mengurus bayi kecilnya yang akan punya kemiripan wajah dan sikap sepertinya.

"Dulu, aku juga mau anak perempuan, tapi malah jadinya pas program itu dua anak kembar laki-laki yang ganteng-ganteng."

Agrima pun mengeraskan gelakan.

Selalu menyenangkan untuk menciptakan obrolan ringan begini dengan dokter yang baik dan penuh perhatian, seperti Dokter Kenanga Weltz. Ia sangat nyaman bicara.

"Misalkan anakku perempuan, boleh nanti dijodohkan dengan anak Dokter, ya."

"Hahaha. Boleh sekali, Grima."

"Tapi beberapa pasien juga bilang ingin menjadi menantuku, saat USG anak-anak mereka jenis kelaminnya perempuan."

"Putra-putraku jadi rebutan calon ibu-ibu."

"Padahal mereka masih kecil. Hihi."

Agrima masih tertawa. Begitu asyik saja jika topik pembicaraan sudah menyangkut soal kehamilan dan calon buah hatinya.

Agrima sendiri ingin jenis kelamin dari anak pertamanya adalah perempuan.

Pasti akan menyenangkan jika mempunyai seorang putri yang bisa diajak pergi dan juga didandani seperti boneka.

Lalu, akan dibelikan dress-dress yang lucu dan menggemaskan untuk sang buah hati.

Membayangkan saja sudah membuatnya jadi semangat, apalagi jika nanti benar bisa dilakukan, pasti tambah seru.

Tok!

Tok!

Tok!

Agrima bersama Dokter Kenanga kompak menoleh pada pintu ruangan yang diketuk.

"Masuklah."

"Tidak dikunci."

Selang beberapa detik pasca sang dokter memberikan mempersilakan, pintu segera membuka dan tampaklah sosok suaminya.

Siapa lagi jika bukan Sapta Priga Ayodya.

"Selamat sore, Bu Dokter."

"Selamat sore, Pak Sapta."

Sang suami lebih melebarkan mata, bagian dari reaksi terkejut karena namanya yang telah diketahui Dokter Kenanga Weltz.

"Aku kasih tahu tentang kita, Mas. Nggak apa-apa aku cerita kan ke Dokter Kena?"

"Aku nggak mau dicap perempuan yang hamil tanpa seorang suami nanti."

Sapta Priga Ayodya memandang ke arah dirinya, dengan senyuman mengembang.

Sudah tampak sedikit berkurang ekspresi tegang yang pria itu tunjukkan ke Dokter Kenanga. Walau tetap menatap menelisik.

"Hai, Sayang."

Atas sapaan mesra sang suami dan ciuman manis pria itu di keningnya, ia pun merasa senang. Hatinya berbunga-bunga.

"Tidak apa."

Sang suami mengutarakan jawaban atas apa yang dirinya minta tadi. Syukurlah jika Sapta Priga Ayodya tak keberatan.

Tak mungkin disembunyikan fakta ia telah menikah ke dokter kandungannya sendiri. Ia enggan mendapatkan predikat sebagai wanita yang hamil diluar nikah.

Citranya bisa buruk.

Tentu, sudah diminta agar sang dokter untuk menjaga rahasia ini dari siapa pun.

Dokter Kenanga Weltz, sosok yang bisa ia percaya karena memiliki integritas tinggi.

"Bagaimana pemeriksaannya, Sayang?"

"Calon bayi kita sehat, Mas. Cuma belum kelihatan jenis kelaminnya apa."

"Mungkin pemeriksaan selanjutnya, sudah bisa kelihatan gender anak kita, Mas."

Sang suami pun mengangguk saja tanpa beri komentar atas penjelasannya. Lantas, diterima kecupan sekali lagi di kening.

"Terima kasih, Sayang."

Walau kata-katanya sederhana, tapi manis terdengar di telinganya. Apalagi, suaminya memamerkan senyuman yang hangat.

"Pemeriksaan Ibu Agrima sudah selesai, Pak Sapta boleh ajak Ibu Grima pulang untuk makan malam romantis."

Agrima terkekeh mendengarkan kalimat canda diluncurkan sang dokter. Menghibur sekaligus membuatnya tersipu malu.

Apakah setelah ini, mereka harus pergi ke restoran dan makan malam romantis?

"Terima kasih banyak, Bu Dokter."

Selesai membalas, Sapta segera membantu sang istri bangun dari ranjang pasien.

Lalu, menggandeng Agrima menuju pintu ruangan untuk keluar. Tentu, ia dan juga istrinya sudah berpamitan sekali lagi.

Ketika baru saja ingin menyusuri lorong rumah sakit sambil eratkan rengkuhannya ke Agrima, seorang wanita muda tampak mendekati mereka. Ia spontan curiga.

Langsung bergerak dirinya ke depan sang istri dalam upaya melindungi Agrima.

Sudah dipasang ekspresi wajah datarnya dan tatapan yang sarat akan selidik.

"Selamat sore, saya Amanda Putri."

"Saya jurnalis dari Media Pratama. Saya ingin menanyakan hubungan Pak Sapta dan Ibu Agrima yang sepertinya mesra."

"Apa benar Bapak Sapta dan Ibu Agrima berselingkuh? Dan untuk apa kalian ada di poli kandungan? Siapa sedang hamil?"

"Apakah Ibu Agrima?"

Atas pertanyaan yang diajukan reporter pada mereka, keduanya spontan terkejut sehingga sama-sama membeliak.

Namun dengan cepat, Sapta membawa Agrima menjauh dari jurnalis iseng itu.

Tentu, tak akan diberikan jawaban satu pun. Lebih baik mereka segera pergi.

Sebagai anak para politisi nasional yang mendirikan partai-partai besar di negeri ini, ia dan juga Agrima sudah pasti akan menjadi incaran awak-awak media.

Hanya saja, tetap tak disangka ada yang membuntuti sampai ke rumah sakit.

Akankah pernikahannya terbongkar?

Ataukah ia harus membungkam reporter itu dengan sejumlah uang agar tak sampai tercipta artikel soal dirinya dan Agrima?

Selisih 12 TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang