Setiap semester telah mereka lalui dengan baik. Syafin, Lia dan Rio selalu menjadi juara pertama di kelas. Malah Alex kembali ke peringkat terakhir, karena teman sesama pemalasnya sudah tidak lagi mengajaknya bertaruh atau berlomba yang sebelumnya membuatnya terdorong untuk meraih angka.
Sayangnya selama tiga tahun juga, Lia, Alex dan Syafin tidak pernah berada dalam kelas yang sama. Setiap berpapasan, mereka hanya bertegur sapa singkat, lalu berlalu bersama temannya masing-masing.
Kesedihan yang menggenangi jiwa Syafin, membuat hatinya hampa dan kelabu. Murung mendominasi senyumnya. Ia hanya memiliki beberapa teman saja, tidak seperti Lia, Alex dan Rio yang sudah memiliki banyak teman.
Setiap hari bertemu melungsur menjadi jarang. Foto terakhir dalam album milik masing-masing terhenti di sebuah foto wajah mereka yang kotor penuh noda terigu.
Mereka memang jarang bermain berempat, tapi Rio tidak pernah absen menemani Syafin, dan Alex yang sering bersama dengan Lia. Mereka seperti kembali ke awal saat sebelum pertemuannya dengan Syafina.
Sore hari, saat Alex, Lia dan Rio dalam kesibukannya di rumah masing-masing, mereka terkagetkan oleh getaran notifikasi di ponsel mereka. Mereka pun berhenti dengan kesibukannya, lalu membaca pesan yang baru saja masuk.
"Guys! Ketemu di bukit yuk! Tiba-tiba kangen nih," kata Syafin dalam pesan singkat.
Di bukit, mereka bertiga telah mendapati Syafin sedang duduk santai menyelonjorkan kakinya. Mereka bertiga pun ikut duduk berjajar di sampingnya. Semuanya merenung kosong menghadap sumber cahaya. Matahari sudah hampir berada tepat di depan mereka. Wangi angin sore dan rasanya yang segar, mengingatkan mereka kembali pada tahun-tahun bahagia, bahagia dengan masa kanak-kanaknya.
Syafin menoleh ke sampingnya, lalu tersenyum pada mereka. "Gak ketemu kalian sehari aja, kaya gak ketemu setaun tau."
Yang lain tersenyum mengangguk.
"Udah lama kita gak kaya gini.. ngeliat matahari terbenam bareng-bareng," Lia mereggangkan tangannya, lalu menghela napas panjang. Menikmati detik-detik hari ini yang sudah lama tak ia jumpai.
"Aku bener-bener kangen kalian," seru Rio dan senyuman mengembang di wajahnya.
"Gak kerasa kita udah gede lagi, udah berapa taun yang lalu ya kita waktu itu?" sahut Alex.
Mereka semua tersenyum geli dengan pikiran masing-masing. Kembali hening. Sekalinya berkumpul, mereka sering tenggelam dalam diam, entah canggung, entah tak tahu apa yang harus mereka bicarakan karena takut menyinggung nama seseorang.
Syafin pun membuka obrolan. "Kalian mau nerusin ke mana?"
"Aku, kayanya ke universitas Bandung, jurusan informatika, Fin," jawab Alex semangat.
"Aku sih desain interrior, Fin. Aku juga gak akan jauh-jauh, stay di Bandung. Kamu?" lalu Lia menoleh pada Syafin.
Syafin mengangguk menanggapi. "Kayanya aku kuliah di luar kota," jawabnya membuat semua serentak menolehnya.
"Loh? Kok gitu sih, Kak? Terus aku gimana?" Rio tidak setuju dengan keputusan Syafin.
"Kamu kok gak obrolin ini dulu sama kita sih, Fin?" Alis Alex saling bertaut tidak terima.
"Mau obrolin gimana, orang kita juga jarang ketemu," sahutnya santai dan tenang.
"Udah cukup satu orang pergi, kamu gak perlu pergi juga!" Lia membuang muka kesal.
"Lagian setelah ini, kita bakal punya sedikit waktu buat ketemu."
Semua terdiam, Syafin memang benar.
Lia mengangguk. "Aku sih berharap kita terus bareng-bareng, tapi ternyata enggak. Sampai ketemu lagi. Aku bakal kangen kalian," gerimis mengalir dari matanya. Ia cepat menutup wajahnya dan merengek. "Gak pernah sama sekali kepikiran bakal kaya gini.."
Alex memandang Lia, lalu menyandarkan kepalanya di bahunya. "Biasanya, aku ngabisin waktu bareng kalian, dari pagi, siang, malem. Ternyata gak selamanya hidup ini baik-baik aja."
"Yaah, makin garing nih hidup," bahu Rio meloyo lemas.
Langit semakin gelap, suhu pun menurun, mereka menggigil, tapi enggan untuk bangkit dan pulang. Masih ingin bersama karena kemungkinan tidak akan seperti ini lagi. Kembali larut dalam keheningan, suara tangisan Lia memudar. Gelap. Bukit menjadi gelap sekarang, hanya sedikit sinar dari lampu-lampu kota dan bulan purnama untuk membantu mereka melihat.
Syafin menghela napas sambil memejamkan matanya singkat, lalu senyum timbul di wajahnya. Aku percaya, katanya dalam hati, cerita kita akan bersambung lagi. Aku bersyukur, fotomu dan fotoku pernah bersanding dalam lembaran album yang sama. Aku harap, fotomu kembali terlampir di lembar berikutnya. Walau hanya satu lembar saja, atau satu halaman saja. Aku berharap kita bertemu lagi. Syafina, aku pernah bilang kan, aku mau kamu jadi cinta terakhir aku.
Air mata Lia masih mengalir tanpa suara. Ia mendengar hatinya berbicara. Maaf Syafina, bukan Alex orangnya, kita nyaris sebutin nama orang yang sama. Semoga ini semua takkan terjadi lama. Cepet balik ya cantik, selain aku, dia juga menderita karena kepergian kamu. Lalu membenamkan wajah di lututnya yang dingin.
✦✦✦✦✦✦✦✦✦✦
Emang masa kanak-kanak tuh masa paling seru :)), begitu pun bagi mereka.
Tapi, akankah mereka bertemu Syafina lagii? Okeeee, jawabannya ada di episode terakhir yaaa. Terimakasih yang masih support vote dan komen. LOP U BGT pokoknyaa!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
EVERLASTING LOVE (SUDAH TERBIT)
Teen FictionKalau kita suka sama orang tuh, kita emang suka 'dianya' secara keseluruhan gak, sih? Kaya misal, aku suka cowo humoris, tapi aku suka humorisnya dia, aku suka cowo pinter, ya aku suka pinternya dia. Gimana cara pembawaannya. Itulah yang dirasakan S...