Malam di benteng Klan Kim selalu sunyi, namun di dalam hati Kim Mingyu, badai tak berujung terus berkecamuk. Hanya sedikit orang yang mengenal Mingyu dengan lebih dalam, mengetahui wajahnya yang tersembunyi di balik topeng kebijaksanaan dan ketegasan.
Wajah itu penuh dengan amarah dan haus darah yang hampir tidak bisa dia sembunyikan.Di dalam ruangannya yang remang, Mingyu berdiri di depan jendela besar, menatap ke luar di mana bintang-bintang berkelip jauh di langit.
Cahaya bulan mengalir melalui jendela, menyoroti wajahnya yang penuh bayangan. Ada kilatan dingin di matanya, sesuatu yang lebih dari sekadar determinasi seorang pemimpin—itu adalah kebencian yang membara, sebuah hasrat yang tidak pernah terpuaskan.
Sejak kecil, Mingyu telah diajarkan bahwa kelemahan adalah dosa terbesar yang bisa dimiliki seorang pemimpin. Ayahnya, seorang pria keras yang tidak mengenal belas kasihan, selalu menanamkan padanya bahwa kekuasaan hanya bisa dipertahankan melalui kekuatan absolut.
Namun, di balik ajaran itu, ada sesuatu yang tumbuh di dalam diri Mingyu, sesuatu yang lebih gelap dan berbahaya.Dia bukan hanya sekadar pemimpin yang kuat; dia adalah seseorang yang menikmati rasa takut yang dia timbulkan pada orang lain.
Setiap kali dia melihat musuh-musuhnya berlutut di hadapannya, meminta pengampunan yang tidak akan pernah dia berikan, ada kenikmatan yang tidak bisa dia tolak.
Dia menikmati melihat mereka hancur, melihat mereka menderita, dan mengetahui bahwa dialah penyebab dari semua penderitaan itu.
Malam itu, ketika semuanya tertidur, Mingyu tetap terjaga, pikirannya dipenuhi dengan rencana untuk menumpas klan-klan kecil yang berani menentangnya.
Kepala Penasihat dan Jenderal Tertinggi telah melaporkan pergerakan musuh, tetapi Mingyu tahu bahwa mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya dia inginkan.
Bagi mereka, perang adalah tentang kekuasaan dan politik, tetapi bagi Mingyu, perang adalah kesempatan untuk menyalurkan kegelapan yang tersembunyi di dalam dirinya.
Dia melangkah menuju sebuah lemari besar yang tersembunyi di sudut ruangan, membuka pintunya dengan hati-hati. Di dalamnya, terdapat sebuah pedang tua yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam keluarganya.
Pedang itu tidak hanya berfungsi sebagai senjata, tetapi juga sebagai simbol dari darah yang telah ditumpahkan oleh Klan Kim selama berabad-abad.
Dengan tangan yang penuh hormat, namun tanpa perasaan, Mingyu mengangkat pedang itu, merasakan beratnya di tangannya.Di bawah sinar bulan, dia bisa melihat pantulan dirinya di bilah pedang yang tajam itu. Pantulan itu menunjukkan wajah seorang pria muda yang tampan, tetapi dengan mata yang dipenuhi dengan kekosongan yang mengerikan.
Mata itu bukanlah mata seorang pemimpin yang bijaksana, tetapi mata seorang pemburu yang selalu haus akan darah.Dia ingat dengan jelas hari pertama dia merasakan darah menodai tangannya.
Waktu itu, dia masih sangat muda, tetapi tidak ada keraguan dalam dirinya ketika dia mengayunkan pedang untuk pertama kalinya. Suara jeritan, sensasi darah hangat yang menyembur, dan ketakutan yang dia lihat di mata korban—semuanya itu terpatri dalam ingatannya, menjadi dasar dari semua tindakan brutalnya di masa depan."Aku tidak akan pernah menjadi lemah," gumam Mingyu kepada dirinya sendiri,
suaranya hampir tidak terdengar di ruangan yang sunyi. "Kelemahan adalah kematian, dan aku tidak akan pernah mati seperti mereka.
"Pedang itu, meski tua, masih sangat tajam. Dia tahu bahwa pedang ini akan kembali menumpahkan darah dalam waktu dekat, darah musuh-musuhnya yang berani menentang Klan Kim.
Dia tidak akan memberikan mereka kematian yang cepat; tidak, dia akan memastikan bahwa mereka menderita, merasakan setiap detik dari kehancuran yang dia bawa.
Baginya, itu adalah bentuk keadilan yang sebenarnya—keadilan yang hanya bisa diberikan oleh mereka yang kuat.Mingyu meletakkan pedang itu kembali dengan perlahan, sebelum kembali duduk di meja besar yang penuh dengan peta dan strategi perang.
Dia menatap peta itu, tetapi pikirannya tidak berada di situ. Dia memikirkan musuh-musuhnya yang akan segera merasakan amarahnya.
Di mata Mingyu, mereka bukanlah manusia yang layak untuk dihormati; mereka hanyalah korban yang harus dia habisi, satu per satu, hingga tidak ada yang tersisa.
Malam semakin larut, tetapi mata Mingyu tetap terbuka lebar. Di dalam kegelapan, dia merasakan kekuatan yang mengalir di dalam dirinya, sebuah kekuatan yang tidak bisa dipahami oleh orang lain. Dia adalah Kim Mingyu, pewaris Klan Kim, dan dia akan memastikan bahwa dunia mengenal dan takut padanya, meskipun itu berarti dia harus mengorbankan seluruh kemanusiaannya."Besok," kata Mingyu pelan, suaranya dipenuhi dengan kepastian.
"Besok, mereka semua akan belajar apa artinya menentang seorang kim Mingyu."Kata-kata itu menggema di ruangan kosong, disambut hanya oleh kesunyian malam yang dingin. Tetapi bagi Mingyu, itu adalah janji, sebuah sumpah yang tidak akan pernah dia langgar. Kegelapan di dalam dirinya semakin dalam, dan dunia di luar sana akan segera merasakannya.