1.2

54 6 0
                                    

[Kegaduhan]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Kegaduhan]

Gadis cantik berkulit putih itu memberhentikan langkahnya kala ia mendapatkan notifikasi dari ponselnya. Sebuah pesan masuk dari seseorang yang membuatnya seketika mematung di pinggir jalan.

Suhu badannya mendadak naik, panas, disertai rahangnya yang mengeras menandakan bahwa gadis itu tengah tersulut emosi.

"Ihhhhhhhh! Bajingan kau Jungkook!" Rosè menghentak-hentakkan kakinya kesal, kesal sekali. Bagaimana tidak? Kekasihnya yang bernama Jungkook itu mengirimkan pesan bahwa dirinya ada rapat mendadak (lagi).

Padahal, malam ini adalah jadwal berkencannya dengan Jungkook yang sudah kekasihnya itu janjikan beberapa waktu yang lalu.

Rosè meremat ponselnya dengan menggerutu, ia duduk di kursi panjang yang tersedia di halte bus itu. Merasa telah membuang semangatnya untuk sore ini sepulang kerja, harap bertemu dengan Jungkook tak lagi tertunda. Namun, kenyataannya sungguh membuat ia kecewa.

Kurang lebih 10 menit ia menunggu, bus yang menuju ke arah pulangnya pun datang. Tak menunggu lama, Rosè pun naik dan duduk di salah satu bangku yang kosong.

Bibir tipisnya itu tak berhenti menggerutu mencibir sang kekasih. Sesekali mengumpatinya dengan kata-kata kasar karena sangat kesal dengan Jungkook. Yea, bagaimana Rosè bisa mendefinisikan kesal yang di alami nya saat ini?

Seakan larut dalam dunianya, Rosè baru tersadar saat notif dari ponselnya kembali berbunyi.

Jimin : Cepat pulang! Aku tidak tau bagaimana cara menghentikan Ayah dan Ibumu, dia menggeledah rumahmu, Rose.

Kedua mata sipit itu pun membelalak, jemarinya bergetar dengan keringat dingin yang tiba-tiba bercucuran.

Sekitar 30 menit, ia sampai di halte dekat rumahnya. Tanpa jeda, Rosè turun dari bus dan langsung berlari menyusuri lorong panjang untuk menuju ke rumahnya. Tentu saja nafasnya tak karuan, rambutnya yang lepek karena begitu banyak keringat yang bercucuran, dan akhirnya ia berhasil menaiki anak tangga dan masuk ke dalam rumah.

"BERHENTI!!" Teriaknya dengan nafas terengah-engah.

Dilihatnya, Jimin yang berusaha melindungi neneknya dengan memberi pelukan agar nenek Rosè terhindar dari lemparan barang-barang yang terlempar.

Jimin yang mendengar suara Rosè pun menoleh ke arah sumber suara. "AWAS ROSÈ!" Jimin sontak menendang sebuah kursi besi berukuran mini yang di lempar oleh Ayah Rosè, dan hampir saja mengenai gadis itu.

"Hei! Pulang juga kau. Belasan tahun kau di Seoul, apakah masih menjadi orang miskin seperti ini? Tidak ada uang sama sekali! Beri kami uang dasar bocah!" Ucap Ibu Rosè.

"Seharunya kau tidak meminta uang kepada bocah, Ibu?" Miris sekali. Lidahnya terasa kelu jika harus menyebut wanita di hadapannya ini dengan sebutan ibu.

"Kau berjanji akan memberi kami uang! Mana janjimu hah?!" Kini Ayahnya menyahut.

"Aku tidak akan memberi kalian uang lagi. Jika sekalipun kalian tidak menganggapku anak, aku tidak masalah sama sekali. Jadi pergi dan jangan ganggu aku dan nenek lagi." Pinta Rosè menahan tangis.

"Apa kau bilang?" Ibu Rosè mendekat ke arah anaknya, berdecih menyepelekan Rosè. Bagaimana bisa anak yang dia lahirkan berbicara tak pantas kepadanya? "Kau sudah tumbuh dewasa ya ternyata."

"Benar," Rosè tersenyum miring. "Untuk apa aku memberi kalian uang jika kalian memakainya untuk membeli minuman keras setiap hari, berjudi, dan memakainya untuk hal-hal yang tidak berguna?"

"___selama aku mencari uang, tidak pernah sekalipun aku benar-benar merasakan hasil jerih payahku, karena apa? Karena menghidupi kalian, membayar hutang kalian yang aku pun tak tahu kapan lunasnya."

"___aku tidak pernah tahu, kalian memakai uang sebanyak itu untuk apa. Dari aku kecil kalian sudah tidak pernah mengurusku, kalian sibuk dengan dunia kalian sendiri. Uang yang aku beri, juga tidak pernah sampai ke tangan halmeoni. Kalian serakah!"

"___bahkan dulu, untuk memukulku saja kalian tidak berpikir terlebih dahulu. Lalu untuk apa aku berbakti kepada kalian?"

"Rosè sudah..." pinta neneknya. "Mereka tetap orang tuamu, mereka anak-anakku."

Kedua orang tua Rosè pun terdiam, Jimin juga membantu sang nenek untuk menenangkan diri. Namun, dia membiarkan Rosè untuk mengeluarkan semua uneg-unegnya yang selama ini ia pendam karena takut jika harus melawan.

Sebenarnya Rosè tidak punya cukup nyali untuk melawan kedua orang tuanya. Kendati begitu, jika dia harus melawan dan harus mati di tangan orang tuanya sekarang pun, dia sudah siap.

"Bahkan, kalian menjualku kepada seorang kaya raya dan membiarkanku di lecehkan jika saja aku gagal melarikan diri. Cih! Sayangnya aku berhasil Ibu, Ayah. Anakmu ini pintar sekali, bukan?" Lanjut Rosè.

"Diam kau!" Ayah Rosè menudingkan jari telunjuk tepat di depan kedua mata anaknya.

"Kau yang diam dan silahkan pergi! Aku berjanji melunasi hutang kalian, namun setelah itu jangan pernah ganggu aku dan halmeoni lagi!" Rosè berkata dengan sangat dingin, "atau aku akan melaporkan ke polisi? Atas tuduhan penganiayaan dan pemerasan?"

"Anak durhaka!" Setelah sang Ibu berucap demikian, kedua orang tua itu pergi dari rumah Rosè. Seketika Rosè langsung memeluk neneknya dan meluruhkan air mata yang sedari tadi ia tahan.

Sungguh sangat lega.

Sungguh sangat lega

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BERSAMBUNG

✔There's only usTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang