Lelaki itu memekik dan dengan cepat menjauh ketika Aleena menyayat pergelangan tangannya sendiri, hingga darah mulai menetes deras di atas lantai. Aleena tersenyum menahan sakit, matanya masih tetap tajam, "pergi atau aku akan semakin melukai diriku. Kalian tidak akan bisa membela diri jika aku mati, karena aku sendiri tidak pernah menyentuh atau melukai kalian. Dan satu lagi, kalau aku mati, ayahku tidak akan melepaskan kalian. Duke juga tidak akan senang melihat tunangan nya mati karena empat lelaki jelek seperti kalian."
Wajah keempatnya memucat. "Tu--tunangan Duke?"
"Gawat! Dia nona Winter!"
"Astaga benarkah?!"
"Ayo pergi darisini!" Keempatnya belari terbirit-birit meninggalkan Aleena dan perempuan itu.
Aleena meringis sakit sambil memegang tangannya yang masih mengeluarkan darah. Ternyata sayatan spontan yang dia lakukan terlalu dalam dan lebar, bahkan saat ini Aleena bisa melihat langsung daging nya dari kulit yang tersayat. Lantai marmer putih itu kini penuh genangan darah.
"Kenapa kamu menyayat tangan mu sendiri." Perempuan yang tadi di lindungi Aleena kini berada di depannya, meraih lembut tangan Aleena yang gemetar.
Aleena tersenyum lemah, "tidak masalah. Aku melakukan ini agar tidak ada masalah lebih lanjut. Mereka akan diam, dan aku tidak perlu bertanggung jawab karena melukai lelaki bangsawan. Aku sadar, di masa dimana patriarki di junjung tinggi, para anak lelaki seperti itu pasti akan di Dewa kan meskipun mereka salah. Orangtua mereka tidak akan terima jika aku melukai putra mereka. Karena itu biar saja aku yang terluka, setidaknya hal rumit tidak akan terjadi."
"Tapi kamu putri Marquis dan tunangan Duke Leinster. Mereka tidak akan berani macam-macam dengan mu."
"Tapi bagaimana dengan mu? Jika mereka tidak bisa menyalahkan aku karena status ku, maka kau yang akan kena imbas nya."
Perempuan tertegun. Matanya masih menatap lurus ke arah luka Aleena. Dengan cepat perempuan itu merobel ujung gaunnya dan melilit luka Aleena dengan kencang.
"Setidaknya hanya ini yang bisa aku lakukan. Maaf."
"Tidak masalah kok. Aku melakukan ini karena ingin."
"Kamu bisa saja meninggalkan aku."
"Itu bukan sifatku. Kalau aku melakukan itu dan tutup mata pada kejahatan yang terjadi di depanku, aku tidak akan bisa tidur nyenyak karena rasa bersalah." Aleena menjawab yakin. "Setidaknya kau membayar pertolongan ku dengan gaun mu. Maaf membuat gaun itu sobek demi menutup luka ini. Kalau kau merasa punya hutang, aku sudah anggap lunas." Gadis itu mengedipkan matanya dengan senyuman lebar.
"Loui Clementine."
"Hah?"
Mata panda perempuan itu menarik perhatian Aleena. "Namaku. Panggil senyaman nya saja."
"Ohh... Baiklah. Loui. Nama belakang mu beda dari nama keluarga mu? Kalau tidak salah tadi mereka bilang kau anak Baron Sceeber?"
Tampaknya Loui tidak berniat menjawab pertanyaan yang itu. Dia bangkit berdiri dan membantu Aleena untuk berdiri dan memapahnya, "ayo kembali. Kau harus segera mendapatkan tabib. Aku akan membawa mu kembali ke aula."
Dengan sempoyongan Aleena melangkah di papah Loui. Ketika mereka masuk ke dalam aula, tidak ada yang menyadari nya. Semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing dan bersenang-senang.
Aleena duduk di sofa tepat di sebelah meja makanan ringan. "Sebentar, aku akan panggil tabib untuk mu. Lebih efektif membawa tabib ke sini daripada kita yang menghampiri nya."
Aleena mengangguk lesu, berusaha menutupi tangan nya. Darah merembes dari lilitan gaun Loui hingga menetes ke sofa yang kebetulan berwarna putih.
Aleena menanti dengan sabar, tapi ringisan terus lolos dari bibir nya yang memucat. Biar bagaimanapun, luka sayatan ini perih dan menyakitkan. Meskipun dia sendiri yang melakukannya. Aleena sama sekali tidak menyesal, justru dia bangga karena berhasil menyelamatkan seseorang dengan tangan nya sendiri.
"Aleena Winter."
Aleena mungkin akan terkena serangan jantung dadakan begitu mendengar suara berat memanggil dirinya. Jika dia terbiasa kaget karena kehadiran tiba-tiba Calixer, sebaliknya dia benar-benar tidak terbiasa dengan suara ini.
Benar saja, tokoh utama pria yang Agung berjalan menghampiri nya. Ekspresi wajahnya sulit di baca, dan dengan cepat Aleena menyembunyikan tangan nya.
"Ada apa?"
Kening Alecto berkerut, "begini caramu menyapa tunangan mu?"
"Maksudmu tunangan yang lebih memilih membawa perempuan lain sebagai pasangan daripada tunangan nya sendiri?
Tampaknya jawaban itu tepat sasaran menampar Alecto. Lelaki itu terdiam sesaat, dan matanya menajam begitu melihat sesuatu yang salah.
" Apa kau sakit?"
Aleena diam. Mungkin Alecto menyadari wajah pucat nya. "Aku sehat, sesehat yang bisa kau bayangkan."
Alecto tidak percaya. Dia bergerak maju dan menempelkan punggung tangannya pada dahi Aleena yang menegang di tempat.
"Kau tidak hangat..."
"Jelas saja! Aku tidak demam." Aleena menepis tangan Alecto. "Aku sehat, oke. Aku sedang tidak ingin di ganggu. Anda bisa pergi." Pengusiran halus.
Alecto terlihat ragu, apalagi dia bisa melihat Aleena beberapa kali meringis seperti tengah kesakitan. "Kalau merasa tidak nyaman, aku bisa membawa mu ke salah satu kamar di kediaman ini. Count Elinier pasti sudah menyiapkan kamar untuk tamu beristirahat."
"Tidak perlu sok perhatian ketika kau bahkan tidak mengirimi aku satupun surat untuk menjadi pasangan dansa. Kau tidak menganggap aku sejak awal, jadi untuk apa kau begitu peduli sekarang? Untuk citra mu di depan orang-orang? Percuma saja. Itu tidak akan berdampak besar setelah apa yang kau lakukan dengan pelayan itu."
Sekali lagi sepertinya jawaban Aleena berhasil menampar Alecto. Dia mengusap wajahnya, tampak tidak bisa membantah.
"Maaf. Aku punya alasan."
"Aku juga punya alasan untuk mengabaikan mu. Memang kau pikir hanya kau saja yang punya alasan?" Sentak gadis itu. Ketika marah Aleena bahkan lupa menggunakan bahasa yang sopan.
"Aleena, aku minta maaf."
"Baiklah. Sudah kan? Aku ingin sendiri."
Wajah Alecto rumit hingga Aleena tidak bisa membaca emosi nya. Sebenarnya Aleena merasa tidak enak juga mengusir Alecto seperti itu. Dia itu tokoh utama! Bagaimana jika dia mendapat kesialan setelah membuat tokoh utama tersinggung?
Tangan Aleena berdenyut dan ringisan lepas dari bibirnya tanpa bisa di tahan. Loui belum kembali, Aleena tidak kuat lagi.
Dengan pikiran kosong, Aleena bangkit berdiri dan berjalan sempoyongan. Tetapi, mungkin karena darah nya yang terus menetes tanpa henti, Aleena mendadak pusing dan kehilangan keseimbangan.
Alecto refleks menangkap tubuh Aleena yang limbung ke depan. Matanya membelalak begitu melihat luka di pergelangan tangan Aleena.
Beberapa tamu yang melihat kejadian itu memekik dan berteriak kaget. Aula menjadi heboh dalam sekejap.
Alecto menggendong tubuh Aleena dan membaringkannya di sofa. Dirinya benar-benar merasa panik, apalagi melihat kain yang melilit luka itu sudah basah oleh darah.
"TABIB! CEPAT PANGGIL TABIB KESINI!" Teriaknya.
Situasi menjadi tidak terkendali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destroying The Plot
FantasyAleena itu menyukai novel fantasy atau action, tapi dia justru bertransmigrasi ke novel roman historical! Dia menjadi karakter tidak penting, simpelnya karakter pelengkap cerita. Aleena menjadi tunangan dari seorang duke yang merupakan protagonis p...