18: Aku Tidak Bisa Menebak Alasannya

296 28 0
                                    

Bangun-bangun Aleena di terjang oleh pelukan erat ayahnya yang menangis-nangis karena khawatir. Bahkan di sana juga ada kedua kakaknya dengan wajah penuh kekhawatiran. Oh, pasti karena dia tiba-tiba pingsan tadi.

"Ugh..." Gadis itu mengintip tangan nya yang sudah di perban.

"Sayang, nak. Tenang saja, para lelaki itu sudah di beri hukuman yang berat karena telah membuat putri kecil ayah ini melukai dirinya sendiri."

Aleena melirik ke samping, dan menemukan Loui mengangguk singkat padanya dari sebelah jendela yang tak jauh dari kasur nya.

"Ayah menanyai Loui?"

"Iya, nona Clementine menjelaskan apa yang terjadi padamu hingga kau terluka. Ayah bangga karena kau bisa menyelamatkan orang yang butuh bantuan, tapi lain jangan lukai dirimu. Ketika tahu kau pingsan, ayah benar-benar kalut." Marquis memiliki mata sembab yang kentara, bahkan wajahnya memerah karena tangisan.

Aleena jadi tidak enak hati. Dia memeluk ayahnya erat dan mengelus punggungnya untuk menenangkan pria paruh baya itu.

"Maaf, aku ceroboh. Aku melakukan itu agar punya alasan menyalahkan mereka."

"Kami tahu maksud mu. Kalau kau melukai salah satu dari mereka alih-alih dirimu sendiri, target mereka pasti terarah pada nona Clementine yang punya status keluarga lebih rendah. Mereka tidak bisa menyerang kita karena status kita." Cedric duduk di sebelah Aleena. "Keputusan mu sudah benar. Tapi lain kali jika ada kejadian seperti ini lagi, pikirkan solusi yang lebih baik daripada melukai diri sendiri."

Aleena mengangguk lagi. Perkataan Cedric benar. Masih ada solusi lain. Taman itu di jaga oleh para penjaga. Kalau saja Aleena lebih memilih untuk berteriak dan minta tolong, meskipun mereka hanya pengawal, mereka pasti akan menyelamatkan Aleena dan Loui.

"Aku janji, di masa depan jika aku memiliki pilihan lain, aku tidak akan menyakiti diriku, selain benar-benar tidak ada pilihan."

Regina menghembuskan nafas panjang, membelai rambut adiknya dan memeluknya. "Hmm, tapi di balik itu semua, kau tahu betapa bangga nya aku karena kau menyelamatkan nona Clementine. Membuktikan bahwa latihan mu selama ini tidak sia-sia, bahwa kau benar telah berubah dan mendedikasikan dirimu untuk menyelamatkan orang-orang dan bukan untuk kesombongan."

Aleena yang di puji seperti itu tentu saja menyeringai bangga. Jarang-jarang Regina mau memuji adiknya seperti itu. "Omong-omong mereka, para lelaki sombong itu, di berikan hukuman apa?" Wajar saja Aleena penasaran bukan?

Tapi jawaban sang ayah benar-benar di luar prediksi nya, "ayah tidak tahu, karena bagian itu di selesaikan oleh Duke Leinster. Duke sendiri yang dengan tegas mengatakan akan menangani mereka. Beliau benar-benar marah loh."

Tertegun dan bingung, itu yang di rasakan oleh Aleena.

"Benarkah? Aku sedikit ragu?"

"Aku juga setuju dengan ayah. Duke Leinster terlihat sangat marah, bahkan auranya benar-benar pekat. Aku belum pernah melihat dia semarah itu." Aku Regina.

"Tapi kenapa?"

"Dia juga yang menggendong mu ke kamar ini. Dia benar-benar panik dan khawatir, kehilangan ketenangan yang biasa dia tunjukkan. Agak aneh melihat nya seperti itu, apalagi dia tidak terlalu menyukai mu. Jadi aku menarik kesimpulan mungkin hati nya memang lembut, yah meskipun tidak merubah fakta bahwa kau adalah hama di matanya."

"Gina."

"Maaf ayah. Juga syukurlah dia masih menganggap mu sebagai manusia dan khawatir untuk mu." Sambung nya.

"Makasih loh kak." Aleena tersenyum pahit. Regina memang bermulut pedas, tapi wajahnya lempeng seakan kata-katanya adalah hal paling normal di dunia. Atau mungkin saja dia memang tidak sadar akan kemampuan sarkas nya yang menyakitkan itu.

Destroying The PlotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang