Aku hanya menyaksikan mereka bersama Freya. Namun, suasana terhenti ketika Chika itu menatapku dengan tajam.Aku menatap balik Chika dengan ekspresi tenang, meskipun sebenarnya aku sangat gugup. Namun, aku tidak ingin terlihat takut di hadapannya.
"Chik, sudahlah jangan diperdebatkan. Mending kamu juga ikut istirahat dulu. Kamu juga pasti belum makan," ujar Freya dengan nada menenangkan.
Chika mendengus kesal, tapi akhirnya duduk setelah mendengar saran Freya. "Met, beliin gue bakso dong, gue males nih, males ngantri maksudnya," kata Chika dengan nada memerintah kepada Jessi.
"Iss, kenapa gak lo aja sih, Met? Gue juga males," jawab Jessi dengan nada kesal.
"Oh, jadi gak mau? Oke, Met, oke. Tunggu ye, tuan putri," ucap Jessi dengan nada sarkastis sambil beranjak untuk membeli bakso yang dipesan Chika, langkahnya di hentakkan sedikit keras sebagai tanda kekesalannya.
Sambil melirik ke arahku, Chika bertanya dengan nada dingin, "Sejak kapan lo deket sama bocah tengil satu ini?"
Aku merasa bingung sekaligus kesal, lalu menjawab, "Ada masalah apa sih kamu sama aku? Aku dari tadi diam saja loh."
Freya, yang tampaknya semakin bingung, bertanya, "Aku bingung dari tadi lihatnya. Barusan Jessi sama Muthe berantem, sekarang kalian. Sebenarnya ini ada apa?"
Aku mengangkat bahu, tidak tahu harus menjelaskan apa, karena dari sudut pandangku, tidak ada yang berantem. Freya kemudian mengalihkan pandangannya ke Chika, seolah-olah meminta jawaban yang lebih jelas.
"Gue cuma nanya. Gak ada yang berantem di sini," jawab Chika dengan nada cuek. Jawaban itu sama sekali tidak memuaskan, dan Freya tampak semakin bingung.
Agar menghindari konflik lebih lanjut, aku memutuskan untuk pergi. "Freya, aku ke kelas duluan ya. Bunda aku katanya mau telepon," kataku setelah melihat layar hp yang sudah ada notifikasi dari bunda.
°°°°
Aku berjalan sedikit terburu-buru, sebenarnya bukan langsung menuju kelas, melainkan mencari tempat yang sepi agar lebih leluasa berbicara dengan Bunda. Aku menuju taman yang tidak terlalu ramai, menurutku ini tempat yang cukup tenang untuk berbicara.
Aku mengangkat telepon dari Bunda dengan cepat setelah melihat notifikasi yang masuk kembali.
°°°°
"Halo, Bun?" sapaku dengan suara yang sedikit bergetar, berharap mendengar kabar baik.
"Hai, sayang. Bunda mau kasih tahu, Bunda baru bisa pulang dua hari lagi, ya. Ada pekerjaan yang harus Bunda selesaikan dulu," suara Bunda terdengar lembut namun ada nada penyesalan di sana.
Aku sudah menduga ini akan terjadi. "Iya, Bunda. Gak apa-apa, mumu paham," jawabku dengan nada yang berusaha terdengar tegar, meskipun di dalam hati ada rasa kecewa yang sulit disembunyikan.
"Baik, sayang. Jaga diri baik-baik, ya. Nanti kalau Bunda sudah sampai rumah, kita ngobrol lebih lama," tambah Bunda sebelum mengakhiri panggilan.
"Iya, Bun. Take care," ucapku pelan sebelum panggilan berakhir.
°°°°
Setelah telepon berakhir, aku hanya duduk diam di bangku taman, menatap ponsel di tangan. Perasaan kesal mulai muncul, tapi aku menahannya agar tidak terlihat. Sudah berkali-kali hal ini terjadi, dan aku tahu Bunda tidak bermaksud buruk. Tapi tetap saja, rasanya kesepian.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Kekesalan itu hanya bisa aku pendam, karena aku tahu, Bunda bekerja keras untukku. Namun, aku tidak bisa membohongi perasaan bahwa aku ingin Bunda ada di sini sekarang.