Setelah semua yang terjadi, aku merasa aneh. Saat di dalam mobil, aku tidak bisa marah-marah seperti yang seharusnya, tapi begitu sampai rumah, kekesalan yang terpendam langsung meledak begitu saja.
Kak Chan, yang baru saja memarkir mobil, menoleh ke arahku dengan senyum usil, "Kenapa dengan muka aneh itu?"
Aku menatapnya tajam dengan penuh kekesalan. "Aneh matamu, Mbak! Mami kamu saja bilang aku sangat manis," balasku dengan nada yang penuh sindiran, sambil melipat tangan di dada, mencoba menunjukkan betapa jengkelnya aku.
Kak Chan tertawa kecil, tampak tidak terlalu terganggu dengan amarahku. "Lho, itu kan pujian buat kamu. Lagian, kamu memang manis, kok," katanya dengan santai, seolah-olah semuanya tidak pernah terjadi.
Aku hanya bisa menghela napas berat, merasa percuma jika harus membalasnya dengan lebih marah. Tapi di dalam hati, aku masih berusaha memproses kejadian aneh ini. "Next time, kalau mau pakai aku buat alasan, minimal kasih tahu dulu, biar aku nggak kaget begini," kataku akhirnya, setengah menyerah namun masih kesal.
Kak Chan menatapku dengan senyum percaya dirinya, "Jadi, kamu masih ingin bersama saya? Baiklah, nggak perlu pakai alasan lagi, saya akan turutin," katanya dengan nada santai tapi penuh makna.
Aku hanya bisa mendengus kecil, "Selalu merasa percaya diri, ya? Udah, sana pulang. Besok sekolah," balasku, mencoba mengakhiri percakapan.
Tapi tentu saja, Kak Chan nggak akan melewatkan kesempatan untuk menggodaku lagi. "Kamu aja yang sekolah, saya nggak perlu tuh," jawabnya dengan nada jahil, membuatku semakin kesal.
"Ada aja jawabannya," pikirku, benar-benar merasa gemas dengan sikapnya yang selalu saja santai. Tapi sebelum aku sempat membalas, Kak Chan tiba-tiba saja mengeluarkan kata-kata nya lagi, yang begitu cepat dan tiba-tiba, membuatku terdiam sejenak.
"Kamu tahu nggak, kenapa langit malam ini cerah banget?" tanya Kak Chan dengan senyum yang seakan tahu jawabannya.
Aku hanya bisa memandangnya bingung, tapi dia melanjutkan sebelum aku sempat merespons, "Karena ada kamu di sini, yang bikin semuanya lebih indah."
Aku benar-benar kehabisan kata-kata, masih terdiam ketika Kak Chan menyalakan mobilnya dan pergi, meninggalkanku berdiri di situ, terpesona dan sedikit jengkel dengan cara dia selalu berhasil membuatku bingung. Rasanya campur aduk antara kesal, gemas, dan... mungkin, sedikit tersentuh.
"Apaladiaapalahhhh"
Aku masuk kedalam rumahku dan langsung saja membersihkan badanku yang lengket,
Aku sebenernya tidak pernah melupakan nya, padahal aku ingin sekali menghubungi nya, aku sangat merindukan nya, aku benar-benar merindukannya.
Setelah selesai aku langsung menidurkan diriku ke kasur lembut ku, sebelum aku tertidur aku selalu memikirkannya, *bunda aku merindukan mu.*
*****
Tiga hari berlalu tanpa satu pun kabar dari Bunda. Tidak ada balasan pesan, tidak ada panggilan yang dijawab. Setiap kali aku mencoba menghubunginya, hanya hening yang menjawab. Perasaan frustasi mulai merayapi pikiranku. Aku benar-benar takut. Bagaimana jika sesuatu terjadi pada Bunda? Bagaimana jika aku kehilangan satu-satunya orang yang begitu berarti dalam hidupku?
Aku duduk di sudut kamar, tubuhku gemetar. Air mata mengalir deras di pipi, menetes tanpa henti. Suasana hati yang buruk dan perasaan kerinduan bercampur menjadi satu. Rasanya seperti ada lubang besar di dalam hatiku yang tak bisa diisi. "Bunda... aku benar-benar takut, hiks," isak ku pelan, suaraku hampir tak terdengar. "Kalau kamu kenapa-napa, gimana? Aku nggak tahu harus gimana tanpa kamu... Aku sangat merindukanmu, Bunda," lanjut ku, kata-kata terputus-putus oleh tangisan yang semakin dalam.
Tak ada seorang pun di kamar untuk menenangkan ku, tak ada yang bisa mendengar tangisanku. Aku merasa sendirian, terperangkap dalam rasa cemas dan rindu yang begitu besar, berharap dengan segala doa bahwa Bunda baik-baik saja. Namun, ketidakpastian ini begitu menyiksa, membuat setiap detik terasa seperti siksaan yang tak berujung.
Tiba-tiba, pintu kamarku diketuk dengan lembut. Suara Bi Asih memanggilku dari luar. Jantungku berdegup kencang, penuh harapan dan kecemasan. Mungkin, Bi Asih membawa kabar tentang Bunda. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu dengan cepat.
"Bi, gimana? Ada kabar tentang Bunda?" tanyaku dengan suara yang penuh harap, meski masih terselip nada cemas.
Bi Asih menatapku dengan wajah yang penuh belas kasih. Aku bisa melihat matanya yang tampak berkaca-kaca, seolah-olah dia sedang menahan sesuatu. “Maaf, Non...” Suaranya gemetar. "Nyonya... Nyonya kecelakaan di dalam pesawat. Bibi baru saja dapat info itu.”
Dunia seakan berhenti berputar. Aku merasa sekujur tubuhku mendadak lemas, seolah-olah semua energi lenyap dalam sekejap. Pikiranku blank, tidak mampu menerima kenyataan yang baru saja disampaikan Bi Asih.
“Non Muthe, yang tenang, ya... yang ikhlas,” lanjut Bi Asih, suaranya berusaha menenangkan. “Bibi akan selalu menjaga dan menemani Non Muthe. Kamu tidak sendiri.”
Tapi kata-kata itu seolah tidak terdengar olehku. Aku terjatuh, tak mampu lagi menahan beban yang menghantam hatiku. Air mata yang tadi sudah mengering kini mengalir deras lagi, tapi kali ini disertai dengan tangisan yang jauh lebih dalam dan menyakitkan. Suara tangisanku memenuhi ruangan, mencerminkan rasa kehilangan yang tak terperi.
“Bunda...,” isak ku pelan, suaraku nyaris tak terdengar. Aku benar-benar lemas, tak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan ini. Rasa takut yang selama ini menghantuiku kini menjadi kenyataan yang paling pahit. Aku hanya bisa menangis, mencoba menahan sakit yang luar biasa, sambil berharap ini semua hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir.
Kata-kata Bi Asih bagaikan hantaman terakhir yang meruntuhkan pertahananku. "Non Muthe... maafkan Bibi, tapi... mayatnya tidak ditemukan," ucapnya pelan, suaranya bergetar dengan penuh kesedihan.
Kalimat itu membuat nafasku seakan tertahan, dadaku terasa sesak, dan pikiranku dipenuhi oleh bayangan-bayangan buruk. Air mataku yang tadinya sudah deras, kini semakin mengalir tanpa henti. Kehilangan itu sudah berat, tetapi ketidakpastian ini membuatnya terasa jauh lebih menyakitkan.
"Bibi... kalau mayatnya nggak ditemukan, berarti... kemungkinan Bunda masih hidup, kan?" tanyaku dengan suara gemetar, berusaha mencari setitik harapan di tengah kegelapan ini. Tapi di dalam hatiku, aku tahu, kata-kata itu hanya pelarian dari kenyataan yang pahit.
Bi Asih mendekat dan memelukku erat, memberikan kehangatan di tengah kesedihan yang mendalam. “Non Muthe, yang sabar ya... Bibi tahu ini berat. Tapi kita harus ikhlas, apapun yang terjadi.”
Aku membenamkan wajahku di pundak Bi Asih, menangis sejadi-jadinya. Pikiran tentang Bunda yang hilang tanpa jejak membuat hatiku semakin hancur. Aku tidak tahu bagaimana harus menjalani hari-hari ke depan tanpa kehadirannya. Kehilangan tanpa kepastian ini membuatku merasa semakin tenggelam dalam kesedihan, dan rasa sesak yang kurasakan begitu dalam, seolah menelan seluruh jiwaku.
🌷🌷🌷🌷🌷