11

223 33 4
                                    

Hari-hari berikutnya terasa hampa, tapi aku tahu harus mencoba melanjutkan hidup. Setelah mengambil cuti beberapa hari untuk menenangkan diri, akhirnya aku kembali ke sekolah. Begitu aku memasuki gerbang sekolah, rasanya aneh, seolah-olah dunia terus berputar meskipun aku merasa terhenti. Saat aku berjalan ke kelas, perasaan cemas dan sepi masih menghantui, tapi aku berusaha menahannya.

Ketika sampai di kelas, aku melihat Freya berlari ke arahku dengan senyum lebar. "Muthe, kamu akhirnya kembali ke sekolah! Aku sangat merindukanmu," katanya sambil memelukku erat, seolah-olah tak ingin melepaskan.

Aku tersenyum tipis, merasa sedikit hangat oleh sambutannya. "Aku juga merindukanmu, Freya. Makasih sudah menungguku," jawabku, berusaha terdengar setenang mungkin.

Freya menatapku dengan tatapan penuh perhatian, "Kamu jangan pernah merasa sendiri, ada aku, Muth, ada aku," katanya dengan tegas, meski suaranya terdengar lembut dan penuh kasih.

Aku merasakan air mata hampir menggenang lagi, tapi aku menahannya dan mencoba tersenyum untuk meyakinkan Freya bahwa aku baik-baik saja. "Makasih, Fre. Aku beruntung punya teman kayak kamu," ujarku, menguatkan diri agar Freya tidak begitu mengkhawatirkan ku.

Meski rasa sakit dan kerinduan masih ada, kehadiran Freya memberiku sedikit kekuatan untuk menghadapi hari itu. Aku tahu bahwa meskipun duka ini berat, aku tidak benar-benar sendirian.

°°°°°

Pelajaran pertama di mulai, aku mencoba setenang mungkin walaupun pikiranku melayang.

"Jangan bengong, itu bukan Muthe yang gue kenal." Aku menatap ke arah sumber suara. Aku melihat Gita dengan tatapan matanya yang masih fokus pada pelajaran nya.

"Kamu bahkan gak kenal aku, bagaimana bisa kamu menilai orang seperti itu." Kataku, entah apa yang aku pikirkan dan tiba-tiba berbicara seperti itu. Aku melihat kearahnya lagi namun ia masih tetap tenang dan fokus.

Dia tersenyum tipis, masih tanpa menoleh sepenuhnya. "Gue gak bilang gue kenal lu sepenuhnya, tapi gue lihat ada yang beda hari ini."Aku terdiam, merasa pikiranku makin kacau.

"Mungkin gue cuma lagi gak fokus aja."Gita hanya mengangguk kecil, seolah memahami, lalu kembali sepenuhnya pada pelajaran.

Pelajaran pertama dan kedua pun selesai aku tidak berniat pergi ke kantin sama sekali. "Hai Muthe, kamu mau diam saja disini? Ayok ikut dengan ku dan juga Freya, bukan kah kalian sangat dekat." Tiba tiba fiony mendekati ku dan mengatakan hal itu. Aku ingin menolaknya namun sampai kapan aku akan diam seperti ini dan hanya merenung.

Aku ikut bersama fiony dan didepan juga ternyata sudah ada Freya yang menunggu. "Muthe kamu ikut juga ternyata aku seneng, makasih Fiony." Aku bingung kenapa Freya mengatakan itu. "Kamu tau, Freya yang menyuruhku untuk menemui mu dan mengajakmu." Aku semakin bingung. "Kenapa tidak sama kamu Freya."

Freya tidak membalas ku namun menggenggam tangan ku dan juga tangan fiony, "ayo ke kantin aku laper."

Aku merasa ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk dan mengikuti mereka berdua. Saat kami berjalan menuju kantin, Freya tetap menggenggam tanganku erat. Rasanya aneh, tapi juga menenangkan di saat yang bersamaan.

"Kenapa tiba-tiba kamu yang ngajak aku, Freya?" tanyaku, masih penasaran.

Freya tersenyum tipis sambil menoleh padaku. "Karena aku khawatir sama kamu, Muthe. Aku lihat kamu kelihatan sedih akhir-akhir ini."

Aku terdiam mendengar itu. Mungkin mereka memang bisa melihat bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiranku.

Fiony menambahkan, "Kita kan teman, jadi kita gak akan biarin kamu sendirian saat lagi down."

Aku merasa sedikit lega, meskipun hatiku masih berat. "Makasih, kalian baik banget."

Freya menggoyangkan tanganku sedikit, "Sudah, jangan banyak mikir. Ayo makan dulu, habis itu baru kita pikirkan hal lainnya."

Aku mengangguk pelan dan membiarkan mereka menuntunku ke kantin. Mungkin sesekali, aku perlu mengandalkan teman-temanku untuk mengalihkan pikiranku dari semua masalah ini.




°°°°

"Hai, 2F! Hai, Muthe, gimana kabar lo, Muth?" suara Jessi tiba-tiba terdengar dari belakangku. Aku menoleh dan melihat Jessi, ternyata dia tidak sendirian, Chika juga ada bersamanya.

"Aku baik, Jessi. Kalian mau duduk? Silakan, iya kan, Fre?" tanyaku kepada Freya untuk memastikan. Namun, sebelum Freya sempat menjawab, Jessi sudah duduk terlebih dahulu sambil menarik tangan Chika agar ikut duduk bersamanya.

Fiony tiba-tiba bertanya dengan penasaran, "Chik, muka kamu kenapa begitu? Lagi ada masalah?"

Chika yang duduk di depanku hanya menghela napas, sebelum Jessi menjawab, "Biasalah, si jamet ini suka males banget kalau gue ajak ke sini."

Freya yang ikut mendengar percakapan itu langsung menimpali, "Lagian kenapa kamu maksa, Jessi?"

Jessi tersenyum tipis, "Gue gak maksa kok. Si jamet ini lagi kangen seseorang, makanya gue ajak. Tapi sok-sokan gak mau," katanya sambil sedikit menggodanya, membuat Chika hanya bisa mendengus kesal.

Aku hanya melihat mereka dengan senyuman, begitu indah rasanya memiliki teman banyak seperti ini. Tawa dan canda yang mengisi hari-hariku selalu membuat hati terasa hangat. Namun, di tengah kebahagiaan itu, aku merasa ada sesuatu yang aneh—seperti ada seseorang yang sedang memperhatikan ku.

“Muthe, liat deh, itu si Gita kayaknya liatin Lo deh,” kata Fiony tiba-tiba, sambil melirik ke arah Gita yang cepat-cepat memalingkan wajahnya. “Iya kan, Fre?” Fiony menoleh ke Freya, yang mengangguk setuju.

Pantas saja dari tadi aku merasa ada yang memperhatikan, tapi tidak mungkin itu Gita, pikirku. Dia selalu terlihat cuek dan tidak peduli dengan apapun. Tapi, kenapa sekarang rasanya beda? Aku mencoba mengabaikan perasaan aneh itu dan kembali fokus pada teman-temanku, tapi pikiran tentang Gita terus mengganggu. Apa sebenarnya yang dia pikirkan?.

Aku menatap ke arah Chika yang juga sibuk mencari sesuatu. "Udah deh Lo, kalo penasaran nih Gita Gita itu, noh yang duduk di meja ujung sana yang sendirian." Jessi juga tau? Apa mereka juga berteman. Tapi kenapa Chika begitu penasaran. Apakah yang dirindukan Chika itu Gita?

"Ehh, kenapa aku memikirkan hal yang tidak penting?" pikirku. "Astaga, Muth, kamu itu ada-ada aja." Tanpa sengaja, aku menggelengkan kepala saat merenung. Tindakan itu membuat Jessi dan Chika bertanya-tanya.

"Kenapa, Muthe?" tanya Jessi dengan penasaran. "Eh iya kenapa kamu Muthe." Tanya juga yang lainnya.

Chika hanya memperhatikan aku dengan tatapan penuh perhatian, tanpa ikut bertanya. Sepertinya, dia lebih tertarik pada reaksiku daripada mengikuti percakapan.

"Eh, tau nggak? Selain kalian kira Gita yang memperhatikan aku, ternyata ada satu jamet lagi yang sudah lama mengamati aku dari tadi," kataku sambil tersenyum nakal.

"Apa? Kalian tahu siapa?" tanyaku sambil melihat Jessi yang juga sudah menangkap arah percakapanku.

"Emang siapa lagi di sini yang jamet selain si Chika ini?" sahut Jessi, membuat 2F menatap Chika yang terlihat mencoba menghindari pembicaraan ini. Aku semakin tertarik untuk menggoda Chika lebih lanjut.

Namun, Chika hanya memasang ekspresi judes yang membuat yang lainnya, termasuk aku, tertawa. Tawaku terhenti ketika Chika menatapku dengan tajam. Aku dengan nakal berkata, “Wah, jangan marah gitu, Chika. Aku cuma bercanda kok.” Melihat itu, 2F dan Jessi ikut tertawa, membuatku merasa sedikit malu, tapi tetap senang karena suasananya jadi lebih ceria.






🌷🌷🌷🌷🌷

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ABOUT METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang