8

141 29 0
                                    

Setelah menyelesaikan semua pelajaran, aku membereskan buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas. Rasanya lega akhirnya hari pertama yang cukup berat ini sudah selesai. Aku berdiri, siap untuk pulang, namun tiba-tiba Gita menatapku dengan wajah serius seolah ada sesuatu yang ingin dia bicarakan.

"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanyaku heran.

"Guru yang hukum lo itu Bu Sisca, wali kelas di sini. Gue cuma mau ngasih tau aja, selagi gue masih ketua kelas di sini," jawabnya panjang lebar, berbeda dari biasanya yang selalu irit bicara.Aku menatapnya tak percaya, merasa sedikit terkejut dengan perubahan sikapnya.

"Sekalian, gue mau minta kontak lo, biar gue bisa masukin ke grup kelas."Aku tersenyum kecil, merasa ada yang aneh.

"Sepertinya itu cuma modus kamu. Kemarin saja aku ketemu orang yang mirip kamu, minta nomor dengan alasan.

"Kalau gak mau, ya udah gue gak maksa. Yang ketinggalan info juga lo, bukan gue," balasnya dengan nada santai tapi tegas.

"Etdah, ya udah deh. Nih, simpan nomor kamu dulu, nanti aku kirim pesan," kataku sambil menyodorkan handphone ke arahnya.

Gita mengambil handphone-ku dan mengetik cepat. "Nih, hp lo. Gue Gita, udah gue kasih nama, dan lo gak perlu kirim pesan, udah gue simpan nomor lo."

"Aku Muthe," kataku, mencoba memperkenalkan diri."Gue udah tau," jawabnya singkat.

"Tau dari mana?" tanyaku heran.

"Lo aneh, bukannya tadi lo perkenalan di depan?" katanya sambil meninggalkanku di kelas yang sudah sangat sepi.

Aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Rasanya semakin lama aku di sini, masalah tak pernah berhenti menghampiriku.

Aku berjalan keluar dengan langkah yang sangat malas. Hari ini sangat lapar tapi aku lebih merindukan Bunda. "Bunda lagi apa ya? Kalau aku telepon, Bunda sibuk nggak ya?"

Sedang berjalan santai dengan pikiran yang sibuk, "Hmm, oke, setelah ini aku harus—" gumamku pelan, tapi kalimatku terhenti tiba-tiba saat mendengar suara yang familiar.

"Hey," sebuah suara menyapa tiba-tiba.Aku terlonjak kaget, hampir menjatuhkan ponselku yang aku genggam.

"Astaga! Kak Chan?!" seruku, jantungku berdegup kencang.

"Kamu ngapain di sini?! Kamu senang sekali melihat orang kaget karena ulahmu."

"Hehe, sorry. Lagian, mikirin apaan sih? Saya dari tadi nungguin kamu di sini. Bahkan saya melihat kamu memberikan nomor kamu ke teman sekelas," katanya sambil tersenyum penuh arti.

Aku menatap bingung ke arah orang di depanku ini. "Kenapa kamu menunggu aku? Aku tidak menyuruhmu untuk menunggu. Bahkan kita tidak kenal sama sekali," kataku dengan kesal, tapi masih heran dengan orang ini.

"Ya udah kenalan, nama saya Chani, umur saya 25 tahun," katanya sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat.
Aku sekilas menatap ke arahnya, lalu ke arah tangannya. Aku menerima tangannya dan segera berjabat walaupun sedikit gugup.

"Aku Muthe, umurku 17 tahun," kataku sambil tersenyum kecil.Dia juga tersenyum balik ke arahku. Dilihat-lihat, Kak Chan ini cantik juga, rambut yang sedikit kecoklatan ini sangat cocok untuknya. Aku bahkan sedikit iri dengan kecantikannya pasti banyak yang ingin menjadi pasangannya.

"Jangan terlalu serius menatap saya, kamu akan terpesona pada akhirnya, dan bukan saya yang suka sama kamu," katanya sambil tertawa kecil.

Aku segera sadar dan memutar bola mataku malas. Untung saja aku nggak memujinya, mungkin dia akan makin percaya diri seolah-olah aku menyukainya.

ABOUT METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang