Bulan 15

403 70 16
                                        

Bulan terbaring lemah di pelukan Bintang dengan selimut tebal menutupi tubuhnya yang kurus. Wajahnya pucat seperti tidak ada darah yang mengalir di bawah kulitnya. Keringat dingin membasahi dahinya, sesekali ia menggigit bibirnya seakan berusaha menahan rasa sakit yang perlahan menggerogoti tubuhnya.

Sejak insiden pingsannya, Bulan terus meracau ketakutan. Ia menolak kehadiran siapa pun di sekitarnya, kecuali Bintang. Bahkan Chandra, ia kesulitan ketika mencoba memberikan pengobatan pada Bulan. Setiap kali Chandra mendekat, Bulan akan menjerit ketakutan, suaranya merobek keheningan dengan histeris yang membuat hati siapa pun tersayat.

Bintang menahan napas saat Bulan kembali meronta. Tubuh lemah itu bergetar hebat, melawan semua rasa takut karena memori yang sudah sejak lama ingin ia lupakan hinggap kembali. "Bintang... jangan tinggalkan aku..." Suara Bulan pecah di tengah isakannya. Bintang mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan kembarannya sekuat yang ia bisa meskipun ia sendiri merasa tak berdaya.

Bintang memegang tangan Bulan yang dingin dan gemetar, "Aku di sini dan gak akan ke mana mana," bisiknya seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri, matanya tidak pernah lepas dari  wajah Bulan.

Wajah bagian sebelah kanannya terdapat beberapa luka cakaran yng masih menyisakan darah. Bulan terus merintih kesakitan mengatakan wajah dan matanya sakit, tepat di bekas lukanya. Ia terus memohon untuk mejauhkan pisau dari wajahnya.

Tangan Bulan yang digenggam erat oleh pria itu telah meninggalkan bekas yang mengerikan. Memar-memar kebiruan tampak jelas di kulitnya. Setiap kali ia mencoba melepaskan diri dari genggaman Bintang, tubuhnya akan kembali melemah, ia akan terkulai di pelukan kembarannya.

Bulan membuka mata sejenak, menatap Bintang dengan pandangan yang lemah. "Pulang... aku mau pulang..."

"Kita akan pulang, nanti Jo akan jemput," Ia menyapu keringat di dahi Bulan dengan lembut.

Waktu terus berlalu, jam di dinding menunjukkan larut malam namun Bintang tetap terjaga di sisi Bulan. Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang dan yang bisa ia lakukan hanyalah menemani Bulan.

Di luar kamar, terdengar langkah kaki perlahan mendekat. Pemilik langkah itu ternyata adalah Chandra. Ia masuk dengan hati-hati, berusaha tidak membuat suara.

"Kamu belum tidur?" tanya Chandra dengan nada lembut pada Bintang, berbeda dari biasanya.

Chandra mencoba mendekat dengan niat untuk kembali mengecek kondisi Bulan dan memberikan perawatan yang diperlukan. Namun langkahnya terhenti oleh teriakan Bulan yang membuatnya mundur perlahan dengan perasaan bersalah. "Jangan mendekat! Jangan sentuh aku!" teriak Bulan dengan suara parau. Tangannya bergerak lemah memberi perlawanan, menolak setiap upaya bantuan dari Chandra.

Bintang tahu bahwa Bulan tidak akan pernah merasa aman dengan Chandra di dekatnya. Semua rasa sakit, ketakutan, dan kehampaan yang Bulan rasakan entah bagaimana selalu terhubung dengan perilaku Chandra. Bahkan apa yang terjadi hari ini. Seandainya kakaknya itu tidak meminta Bulan untuk berada di misi ini, Bulan tidak harus kembali berhadapan demgan traumanya.

Chandra menelan ludah, menatap adiknya yang lemah di pelukan Bintang. Perasaan bersalah yang selama ini menghantuinya kini semakin kuat. Ia tahu kehadirannya hanya akan memperparah keadaan, namun meninggalkan Bulan dalam kondisi seperti ini juga bukan pilihan yang mudah baginya. "Mas mau kasih injeksi lagi, Mas takut lambungnya luka karena muntah dari tadi..." kata Chandra pelan.

"Aku tahu, tapi sekarang biarkan aku yang menjaganya. Bulan butuh ketenangan... dia butuh merasa aman." Bintang memandang Chandra dengan tatapan memohon. Ia berharap setidaknya kali ini Chandra bisa mengerti dan membiarkan mereka berdua dalam ketenangan yang mereka butuhkan.

Teras SeduhWhere stories live. Discover now