"Bagaimana kalau kita ajak Bulan untuk ikut susun rencana kayak biasa? Dia punya pengalaman dan pengetahuan yang bisa sangat membantu kita," tanya Chandra pada Bintang yang sedang fokus menyusun rencana mereka.
Sejak memutuskan untuk memancing musuh dengan membuat acara di Teras Seduh, hari - hari mereka dipenuhi dengan diskusi dan persiapan yang matang. Chandra dan Bintang tentu yang paling berperan besar, hampir 24 jam mereka habiskan di perpustakaan Ayah Lana. Sedangkan Lana, Rama, dan Satya hanya mereka minta untuk melakukan kehidupan seperti biasa agar tidak ada yang menaruh curiga.
Bintang segera menggelengkan kepala, ia menatap Chandra dengan tatapan tajam, "Aku nggak setuju, Mas harusnya gak perlu tanya umtuk tahu alasannya apa."
"Tapi Ayah dan Bunda yang minta agar Bulan bantu kita. Kamu tau sendiri urusan yang seperti ini keahliannya Bulan. Lan dan lainnya juga diundang oleh Ayah dan Bunda untuk makan malam di rumah..."
"Ayah dan Bunda?" ulang Bintang cukup kaget. "Nggak ada cara lain selain melibatkan Bulan?"
Chandra mengangguk dengan mantap, "Dia selalu bisa mebaca bagaimana cara berpikir musuh dan bisa membantu kita menyiapkan jebakan yang sempurna. Setelah makan malam atau besok paginya, kita akan lanjut diskusi dengan Bulan. "
Bintang mengusap wajahnya kasar. Kenapa Chandra tidak mendiskusikan padanya terlebih dahulu? Ayah dan Bunda kenapa harus ikut ikutan juga?
"Mereka udah tau?"
Chandra mengangguk, "Mas sudah sampaikan undangan Ayah dan Bunda."
"Bulan udah tau?"
Kali ini Chandra diam sejenak baru mengangguk, "Seharusnya... sudah" ia menjawab dengan ragu, "Ayah dan Bunda seharusnya udah kabari Bulan..."
"Berarti Bulan belum tau." Bintang sudah berdiri dari tempatnya duduk. Ia membereskan meja dan mulai meninggalkan Chandra.
"Mas aja yang sama mereka, aku temani Bulan."
###
Bintang sudah sampai di rumah sebelum kedatangan Chandra dan lainnya. Dia memang sengaja melakukannya karena ingin menemui Bulan terlebih dahulu. Ia tidak ingin Bulan kaget dengan kedatangan para tamu yang tidak diundang itu.
"Bulan tidur?"
"Iya Mas Bintang, tadi langsung tidur setelah makan siang." jawab Jo, perawat sekaligus pengawal pribadi Bulan, yang sedang berdiri di depan kamar.
Mendengar jawab itu Bintang membuka kamar Bulan perlahan, berusaha tidak membangunkannya dari alam mimpi. Ia masuk dengan langkah mengendap ke dalam kamar yang seluruh sudut perabotannya dipasang pengaman agar tidak ada sudut yang tajam. Beberapa peralatan medis ikut menghiasai kamar yang bernuansa biru ini.
Bintang menghampiri Bulan yang terbaring di ranjangnya yang serupa dengan ranjang rumah sakit. Ia duduk di kursi samping ranjang dan menyentuh tangan Bulan yang terasa dingin. Beberapa memar berwarna kebiruan dan hijau menghiasi tangan itu. Sendinya juga bengkak dengan warna yang sama, setidaknya sudah tidak sebesar saat Bintang pulang beberapa hari yan lalu.
Merasa ada yang menyentuhnya, Bulan perlahan membuka mata dan tersenyum lemah ketika melihat saudaranya. Bintang membalas senyum itu sambil menatap kedua mata Bulan. Matanya yang satu masih tampak normal, sementara yang satu lagi tampak buram dan tidak fokus. Pandangan itu selalu membuat hati Bintang pedih, namun ia berusaha menyembunyikannya dengan senyuman.
Hatinya selalu sakit setiap melihat bekas luka yang tergores mulai dari tengah kening, melengkung melewati mata dan bibir sebelah kanan dan berakhir di bawah dagu, bekas luka itu melengkung berbentuk bulan. Sebelah mata Bulan sampai kehilangan fungsinya karena luka itu.

YOU ARE READING
Teras Seduh
BeletrieMemiliki ingatan yang baik adalah anugerah. Tapi jika terlalu baik malah menjadi buruk. Memori itu akan menumpuk dan larut antara satu sama lain. Seperti kopi dan air yang sudah diseduh. Hitam Pekat. Tapi bagi sebagian orang itu nikmat.