Bulan sudah sibuk mempersiapkan diskusi mereka pagi ini. Ia memandangi layar di hadapannya dengan serius, mengabaikan rasa tidak nyaman yang masih berada di tubuhnya. Jika dapat memilih, ia tidak ingin beranjak dari tempat tidurnya.
Dia terus menyusun informasi yang berhasil dikumpulkannya, mencoba mencari cara yang bisa mereka gunakan untuk menangkap musuh mereka. Sesekali ia mengurut pelan kepalanya yang terasa pusing. Matanya juga tampak mengerjap setiap kali titik titik hitam mulai tampk dipandangannya.
Suasana di ruang baca cukup tenang, hanya terdengar suara ketikan keyboard dan sesekali suara nafas yang berat dari Bulan. Ia memang harus berkerja dalam suasana yang hening.
Pintu ruangan terbuka perlahan. Bintang masuk dengan secangkir teh hangat di tangannya. Dia memperhatikan Bulan sejenak sebelum meletakkan cangkir itu di meja yang Bulan gunakan, "Kalau masih gak enak badannya, kita bahas di kamar aja. Atau mau aku bilang ke Ayah supaya kamu gak usah ikutan urus ini?" katanya lembut.
Bulan mengangkat kepalanya dan tersenyum lemah dibalik masker yang ia gunakan, "Coba lihat ini." ucapnya memgalihkan pembicaraan.
Bintang duduk di sebelah Bulan, memperhatikan layar komputer yang penuh dengan foto. "Ada yang menarik?"
Bulan mengangguk, "Aku menemukan pola pergerakan mereka. Semoga aja rencana yang aku susun bisa berhasil menjebak mere-"
Bulan menghentikan penjelasannya saat ia dapat merasakan lagi lagi ada yang mengalir dari hidungya, darah. Masker yang ia gunakan berangsud berubah warna menjadi merah. Ia langsung menekan hidungnya dengan satu tangan sambil menunduk, berusaha menghentikan aliran darah.
Bintang dengan sigap mengambil tisu dari meja dan menekan lembut pada pangkal hidung Bulan. "Setelah ini langsung baring di kamar aja."
Bulan hanya menganggguk dan membiarkan Bintang yang membersihkan wajahnya setelah darah berhenti mengalir. Sekarang kepalanya sudah terasa seperti akan percah.
"Udah jam berapa ini, kok belum ada yang kelihatan?" gerutu Bintang sambil melirik jam.
Mereka menjadwalkan pertemuan ini pukul tujuh pagi. Sudah satu jam berlalu dan belum ada satupun yang datang selain mereka. Bahkan Bintang belum ada melihat Chandra sejak makan malam kemarin.
"Panjang umur." ucap Bintang sambil bergepuk tangan begitu melihat Chandra yang baru memasuki ruangan.
"Mana yang lain?" tanya Bintang sambil merapikan tisu tisu yang ia gunakan tadi.
"Lana kambuh lagi tadi malam, semalaman gak bisa tidur karena sesak. Baru tadi sekitar jam lima
Bisa tidur. Kami gak tega bangunkan dia, biarkan istirahat dulu."Bulan hanya melanjutkan pekerjaanya kembali. Bohong jika ia tidak merasa kesal saat ini. Badannya terasa tidak karuan, ia sudah berada di ruang baca sejak jam enam untuk mempersiapkan semuanya. "Kenapa Mas gak kabari? Kami udah tunggu dari tadi. Mau kita mulai jam berapa?"
Chandra berpikir sejenak sebelum menjawab, "Jam 10? Atau nanti siang aja? Kalian Mas panggil nanti kalau Lana udah bangun."
"Hmm," jawab Bulan malas.
Bintang dapat merasakan perubahan suasana hati kembarannya, tapi ia memilih untuk meredam emosinya sebisa mungkin, "Kita mulai sekarang aja. Aku bisa update ke Lana nanti kalau dia bangun," kata Bintang, mencoba memberikan solusi agar Bulan tidak menunggu lebih lama dan dapat segera beristirahat.
Chandra menggeleng menunjukkan penolakan, "Nanti ada yang terlewat. Tunggu aja bentar Bi."
Bulan merasa semakin pusing, ia melilat tangannya dan meletakkan kepalanya di atas meja. "Bangunkan aku kalau mereka udah datang."
![](https://img.wattpad.com/cover/369361754-288-k192307.jpg)
YOU ARE READING
Teras Seduh
General FictionMemiliki ingatan yang baik adalah anugerah. Tapi jika terlalu baik malah menjadi buruk. Memori itu akan menumpuk dan larut antara satu sama lain. Seperti kopi dan air yang sudah diseduh. Hitam Pekat. Tapi bagi sebagian orang itu nikmat.