Bintang 9

522 80 12
                                        

Lana memandangi lantai tempat ia berjalan, setiap langkahnya ia lakukan dengan pelan dan penuh kehati-hatian. Dengan napas yang masih tersengal, ia mencoba untuk menahan batuk yang tiba-tiba menyerangnya. Setiap kali batuk datang, tubuhnya terasa lelah dan sakit. Rama yang berjalan di sampingnya mencoba untuk menopang sebagian besar beban tubuh adiknya.

Lana mencoba melepaskan diri dari pegangan Rama saat mereka mendekati meja makan. "Aku bisa sendiri Mas," gumamnya pelan, tapi cukup jelas untuk didengar.

Rama menghentikan langkahnya, memandang Lana dengan penuh kekhawatiran, "Kamu yakin?"

Lana mengangguk, meyakinkan dirinya bahwa ia bisa berjalan sendiri. Rama perlahan-lahan melepaskan pegangan, meskipun masih tetap siaga di dekatnya. Lana melangkah hati-hati, mencoba menyeimbangkan tubuhnya yang masih lemah. Setiap langkah terasa berat, tetapi ia berhasil mencapai kursi tanpa bantuan tambahan. Satya, yang sudah menunggu di meja, tersenyum bangga melihat adiknya.

"Syukurlah kalau udah kuat," kata Satya sambil menyodorkan segelas air putih. "Tapi jangan terlalu memaksakan diri, oke?"

Lana mengangguk dengan tersenyum tipis. Ia juga merasa sangat senang akhirnya bisa berjalan lagi setelah beberapa hari hanya dapat terbaring dan tidak dapat melakukan apapun sendiri.

"Mau teh atau susu? Rotinya mau pakai selai apa?" tanya Satya sambil menyiapkan roti.

"Teh aja Mas," jawab Lana dengan suara serak.

Rama mengambil tempat di samping Lana, memastikan adiknya duduk dengan nyaman. "Yakin nggak mau makan Na? Coba sedikit ya? Biar ada tenaganya."

Lana menggeleng. "Nggak usah Mas. Aku cuma mau teh dulu."

Satya menyodorkan cangkir teh hangat kepada Lana. "Kalau begitu, minum tehnya pelan-pelan ya."

Lana meraih cangkir tersebut, merasakan kehangatan yang menenangkan di telapak tangannya. "Terima kasih Mas,"

Mereka bertiga duduk dalam keheningan sejenak, hanya sesekali terdengar dari Lana yang menghirup tehnya. Satya dan Rama saling bertukar pandang, raut wajah mereka masih menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.

"Kalau mau balik ke kamar bilang ya, nanti sarapannya lanjut di kamar aja," kata Satya akhirnya memecah keheningan.

"Iya Mas," sahut Lana, meski dalam hatinya ia merasa sedikit tertekan. Ia tahu kedua saudaranya sangat peduli, tapi perhatian berlebihan ini membuatnya merasa seperti orang yang sedang sakit keras. Meski ia menyadari ia memang sedang tidak dalam kondisi yang baik. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya masih bisa mandiri.

Lana meneguk teh lagi, menikmati rasa hangat yang menyebar di tenggorokannya. Namun, tak lama kemudian, ia mulai merasa sedikit mual. Ia meletakkan cangkirnya dengan hati-hati di atas meja dan menunduk, berharap rasa mual itu akan hilang.

Rama segera menyadari perubahan ekspresi Lana. "Kamu kenapa, Na? Mual ya?" tanyanya cemas.

Lana mengangguk perlahan. "Iya, sedikit," jawabnya.

Satya segera berdiri dan mengambil air putih dari dispenser. "Coba minum air putih, mungkin bisa membantu," katanya sambil menyerahkan gelas kepada Lana.

Lana menerima gelas itu dan menyesapnya perlahan. "Makasih, Mas," katanya setelah beberapa saat.

Setelah beberapa menit, Lana akhirnya merasa mualnya mulai mereda. "Mungkin aku butuh udara segar," kata Lana dengan suara lemah. "Aku mau jalan-jalan ke taman sebentar, boleh?"

Satya dan Rama saling berpandangan lagi, ragu-ragu. "Kamu yakin Na?" tanya Rama. "Jangan terlalu memaksakan diri."

"Aku yakin Mas. Aku cuma butuh udara segar," jawab Lana berusaha meyakinkan mereka.

Teras SeduhWhere stories live. Discover now