Angkasa 22

630 64 46
                                        

Bintang dan Chandra melaju dengan kecepatan tinggi di sepanjang jalan menuju Teras Seduh. Meskipun keduanya duduk bersebelahan di dalam mobil, tidak ada satupun yang berbicara. Bintang hanya menatap lurus ke depan dan fokus pada jalan di depan mereka. Sementara Chandra yang sedang menyetir, sesekali melirik ke arahnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun ragu untuk memulai percakapan.

Chandra mengenal adiknya dengan baik. Bintang yang sangat keras kepala dan tidak pernah ragu mengungkapkan isi pikirannya merupakan rahasia umum. Tapi seumur hidupnya, baru kali ini Bintang memperlakukannya sedingin ini. Telinganya sangat gatal mendengar kata "Saya" dan "Anda" setiap kali mereka berbicara.

"Bintang, Mas tahu kamu marah. Tapi tolong jangan seperti ini, kita sedang manjalankan misi."

"Kenapa? Anda takut misinya gagal?" tanya Bintang masih dengan nada sarkasnya.

Chandra menghela napas panjang. Rasanya setiap kali ia menarik napas ia berharap yang ia hirup adalah kesabaran, bukan oksigen, "Kalau komunikasi kita buruk kayak gini, gak baik untuk keselamatan kita. Misi juga bisa gagal karena miss komunikasi."

Bintang hanya diam, tidak memberikan tanggapan apa pun. Tatapannya beralih ke luar jendela, memperhatikan langit gelap yang bertabur bintang mengelilingi bulan. Pemandangan itu, membuat pikirannya kembali pada sosok kembarannya, Bulan. Sedang apa dia sekarang? Apakah Ayah dan Bunda menemaninya? Apakah mereka sudah membujuknya untuk tetap berada di keluarga Angkasa?

"Bintang?" panggil Chandra lagi saat tidak kunjung mendapat jawaban.

"Hmmm."

"Tolong, coba buka hatimu sedikit saja. Mas tahu Mas salah. Mas juga menyesal sampai Bulan berpikir untuk meninggalkan keluarga ini."

"Tapi apa bedanya dengan sikap kamu ke Lana? Mas gak sekesal itu sama kamu karena Mas tahu kamu masih menyesuaikan diri dengan keberadaan Lana. Kamu gak mau pahami posisi Mas sedikit aja?" lanjut Chandra tanpa menyadari telah menyulut api yang memang sudah berkobar.

Bintang menoleh dengan tatapan penuh rasa tidak percaya, seolah apa yang baru saja Chandra katakan adalah sesuatu yang sangat tidak masuk akal. "Terus? Mas mau bilang kalau Mas masih menyesuaikan diri dengan kehadiran Bulan? Bulan seumur hidupnya udah di rumah kita! Sama Mas, Ayah, Bunda! Apa lagi yang harus disesuaikan?"

Chandra menepikan mobil di jalanan yang sepi. Ia tahu bahwa ia harus meredakan amarah Bintang sebelum mereka melanjutkan misi.

"Mas gak mau bahas karena Mas kira kamu gak tahu bahwa Bulan anak hasil perselingkuhan Ayah. Tapi Mas akan bahas ini sekarang, berhubung ternyata kamu tahu. Ntah dari mana kamu tahu. Apa Bulan cerita ke kamu?"

Chandra diam sejenak sebelum melanjutkan. Menimbang apakah ia harus mengatakan isi hatinya atau tidak. Berbeda dengan Bintang, Chandra tidak handal dalam mengungkapkan isi hati. Sebagai anak tertua, menunjukkan perasaan adalah hal tabu baginya.

"Menurut kamu, Mas bisa terima begitu saja? Anak haram. Dari orang yang nyakiti Bunda. Jadi adik Mas? Anak itu hidup bersama Mas, sedangkan Mas harus menyamar jika bertemu Lana. Kamu pikir Mas gak jengah setiap kali Mas lihat dia manja sama kamu, minta tolong ini dan itu sama kamu. Kamu, adik yang Mas sayangi, harus repot-repot ngurusi dia?" lanjut Chandra dengan suara yang semakin meninggi.

Kata-kata Chandra membuat Bintang semakin tidak bisa menahan dirinya. Ia mengepalkan tangannya dengan begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia ingin sekali memukul sesuatu, meluapkan semua emosi. Airmata perlahan mengalir di wajahnya, bukan karena sedih mendengar penuturan Chandra, tapi karena ia sangat marah dan kecewa.

"Mas mencoba Bintang... ada kalanya Mas luluh... tapi setiap kali Mas teringat Lana. Rasa kesal itu muncul lagi. Sama dengan kamu ke Lana kan? Apa bedanya kita?"

Teras SeduhWhere stories live. Discover now