Lana 3

690 98 23
                                    

Lana terbangun di ranjang rumah sakit. Matanya perlahan terbuka, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk melalui jendela. Ia mencoba untuk bangun, namun tubuhnya masih terlalu lemas. Ia melihat sekeliling kamar, mencoba mengenali suasana di sekitarnya.

Satya dan Rama tampak tertidur di kursi dekat ranjang rumah sakitnya, wajah mereka terlihat lelah. Hati Lana terasa tenang melihat kedua kakaknya menjaganya sepanjang malam, meski ia masih khawatir mereka akan meninggalkannya suatu saat.

Ia memandang ke luar jendela, mencoba mengalihkan pikirannya dari hal yang terus menghantuinya. Namun, bayangan tentang pertemuannya dengan orang asing itu terus berputar di kepalanya. Kata-katanya, sketsa-sketsa yang ditunjukkannya, semuanya terasa begitu mengerikan. Lana merasa takut memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi jika kedua kakaknya mengetahui hal itu.

Lana mulai melirik ke arah jam dinding yang tergantung, sudah pukul 9. Seharusnya Teras Seduh sudah buka sejak 8 tadi.

"Mas..." Lana menepuk pelan Satya yang sedang tertidur. Ia tidak dapat mendengar suaranya karena sedang tidak memakai alat bantu dengar, tapi ia yakin suaranya pelan dan serak karena teredam masker oksigen yang ia pakai.

Satya mulai bergerak karena tidurnya terusik, mengerjapkan matanya sebelum akhirnya terbangun sepenuhnya. Ia tampak bingung sejenak, namun segera menyadari keberadaan Lana yang sudah bangun. /Maaf Mas ketiduran Na. Ada yang sakit? Butuh sesuatu?/

Setelahnya ia memakaikan alat bantu dengar ke Lana, menyadari adiknya masih sangat lemas untuk menggunakan bahasa isyarat.

Lana menggeleng pelan, lalu melepas maskernya sebentar. "Mas gak buka kafe hari ini?" katanya dengan suara lemah namun terdengar jelas.

"Hari ini libur aja dulu, Mas mau temani kamu. Gimana badannya? Masih sesak?" tanya Satya dengan raut khawatir.

Lana tersenyum tipis. "Udah enakan, tapi masih sesak."

Rama juga mulai terbangun mendengar percakapan di sebelahnya. Ia menggosok matanya dan menatap Lana dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka. "Kok dilepas oksigennya?," tanyanya sambil kembali memasangkan benda itu menutupi hidung dan mulut Lana.

"Mas... pulang ya? Gak usah nginep."

Satya mengelus lembut rambut adiknya yang terasa lepek, "Kenapa hmm? Kamunya kan belum sehat."

Lana hanya diam. Rasanya ia ingin cepat cepat kembali ke rumah. Rumah adalah tempat yang membuatnya merasa paling nyaman.

Mereka tahu Lana tidak suka berada di rumah sakit, tetapi kondisi kesehatannya yang belum sepenuhnya pulih membuat mereka ragu untuk membiarkannya pulang. Namun, mereka juga tidak ingin membuat Lana merasa tertekan.

"Baiklah," kata Satya akhirnya, meski masih terdengar ragu. "Kita tanya dokter dulu ya, kalau dokter bilang boleh pulang, kita pulang."

Lana mengangguk lemah, merasa sedikit lega mendengar keputusan itu. Satya keluar dari kamar untuk mencari dokter, sementara Rama tetap di samping Lana, memijat lengan adiknya perlahan.

Tidak lama kemudian, Satya kembali bersama seorang dokter. Dokter tersebut memeriksa kondisi Lana, memastikan bahwa meskipun ia masih lemah, keadaannya cukup stabil untuk pulang dengan pengawasan ketat dari keluarga. Setelah memberikan beberapa instruksi dan resep obat, dokter akhirnya mengizinkan mereka untuk membawa Lana pulang.

Setelah semua persiapan selesai, Satya dan Rama membantu Lana untuk duduk di kursi roda yang sudah disediakan. Dengan hati-hati, mereka membawa Lana keluar dari rumah sakit dan menuju mobil.

Perjalanan pulang terasa lebih lama dari biasanya. Satya yang mengemudi dengan sangat hati-hati, sesekali melirik ke kaca spion untuk memastikan Lana baik-baik saja di kursi belakang bersama Rama. Lana hanya menatap keluar jendela sambil sesekali terbatuk, menikmati pemandangan yang berlalu di luar.

Teras SeduhWhere stories live. Discover now