BAB 12 - Diskusi

73 19 6
                                    

Kanaya Bianca Wiskaratama, atau gadis yang kerap dipanggil Aca, membuka kelopak matanya perlahan. Cahaya matahari yang menembus jendela membuat matanya sedikit menyipit. Aca mengernyit merasakan perih di tangannya saat digerakkan. Tangannya terinfus, dengan cairan yang menetes perlahan dari tabung kecil yang menggantung di sisi tempat tidur.

Ruangan tempatnya terbangun tampak asing, tetapi penuh dengan tanda-tanda kehidupan seseorang yang sangat dia kenal. Netranya menjelajahi ruangan sekitar. Suasana ruangan ini nampak suram karena didominasi oleh warna abu-abu dan hitam.

Di bagian kanan, dindingnya dipenuhi poster tim sepak bola dan berbagai koleksi bola dengan tanda tangan pemain sepak bola ternama. Tepat di atas ranjang terdapat sebuah lukisan besar "The Wanderer Above the Sea of Fog" karya Caspar David Friedrich.

Sementara di bagian kiri, dekorasinya sangat kontras. Di sisi ini terdapat sebuah ruangan tambahan yang berisi berbagai macam buku tebal yang tertata rapi. Tidak ketinggalan, ada alat-alat aneh yang tentunya asing di mata Aca dan komputer keluaran terbaru. Meski isinya sangat kontras, ruangan ini tampak rapi dengan warna yang senada.

Aca masih merasa lemas, namun dorongan untuk tahu di mana sang pemilik kamar berada semakin kuat. Dia perlahan bangkit, meraih tiang infus di sampingnya. Roda tiang itu berdecit pelan saat Aca mulai berjalan.

Sesekali langkahnya terhuyung hingga dia berhasil membuka pintu. Di luar ruangan terdapat mezanin, yang membuat Aca dapat melihat jelas kegiatan di ruangan di bawahnya. Semua teman-temannya berkumpul di sana, saling berbicara dan sesekali bercanda.

"Tolong jangan bangunkan aku dari mimpi ini, ya Tuhan," Aca merapalkan doa itu berulang kali. Dia tidak mau kembali ke situasi saat semua orang berjuang antara hidup dan mati.

Seseorang naik dari lantai bawah dan tanpa sengaja melihat Aca, "ACA UDAH BANGUN!" Sera berseru, memberitahu seluruh rumah.

Suara Sera menarik perhatian semua orang, terutama Aksara dan Raga. Aksara berlari menuju sang kekasih untuk mengecek kondisinya. "Udah baikan?" tanyanya khawatir. Sentuhan hangat tangan Aksara terasa begitu nyata dan menenangkan hatinya. Aca mengangguk meyakinkan, air matanya menetes, mengetahui ini bukan sekedar mimpi. "Syukurlah," Aksara menghela napas lega, memeluk Aca erat.

"Gue tidur berapa hari? Yang nolongin kita siapa?" tanya Aca kepada Sera saat semua orang berkumpul di ruang utama.

"Sekitar dua hari? Yang nolongin Pak Valdo, asistennya Aksara atau pamannya, gue lupa. Kurang tahu juga soalnya gue juga baru sadar," Sera ikut kebingungan, terlalu banyak informasi yang dia terima hari ini.

Rea datang membawa dua mangkuk bubur, menghampiri mereka berdua. "Bener kok, kalian nggak sadarkan diri selama dua hari. Raga yang jagain kalian berdua, tapi kalau Aca yang jagain seringnya Aksara sih."

"Lo harus tahu, Ca, seberapa effort Aksara kemarin!" Sera tiba-tiba bersemangat.

Tanpa perlu diminta, Rea menjelaskan kejadian lalu saat mereka berenam di ambang kematian. Sera ikut melengkapi cerita yang sekiranya dilewatkan oleh Rea, ditambah dengan bumbu-bumbu dramatis untuk menghidupkan cerita agar terkesan heroik dan penuh perjuangan. Aca bersemangat mendengarkan cerita yang dia lewatkan karena terkapar pingsan waktu itu.

"Gosip mulu kerjaannya, heran," Zarka datang membawa kamera, lalu duduk tepat di samping mereka bertiga.

"Ngapain?" Rea penasaran.

"Dokumentasi," jawabnya sambil tersenyum tengil. Dia menunjukkan foto-foto aib yang dia ambil. "Bagus kan?"

Sera mengambil alih kamera, melihat setiap foto di sana. "Dih, apaan? Foto Rea doang yang bagus," Sera berdiri tidak terima. "Lo ngefoto gue pas nggak pake make-up?"

DIMENSION OF NUSANTARA (JAKE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang