Malam natal Liliana kacau kali ini. Dengan telapak tangan yang terus mengeluarkan darah, dia membongkar isi kopernya dan mengeluarkan sebotol wine tua yang dihadiahkan oleh teman kantornya dua bulan yang lalu. Ditariknya kursi mendekat ke jendela kamar yang terbuka dan dia duduk di sana sambil berusaha membuka botol wine dalam genggaman. Seharusnya anggur tua ini Liliana minum untuk merayakan keberhasilan atau ketika dia nanti merasa sangat bahagia, alih-alih untuk menemani malam natalnya yang terasa sangat pilu dan hampa.
Tangannya hendak meminum anggur tua tersebut langsung dari botol, ketika pintu kamarnya diketuk tiga kali. Liliana tebak itu adalah Resti yang dia tinggalkan begitu saja di restoran tadi.
"Masuk aja, Beb," katanya kemudian bangkit untuk mengambil gelas di atas meja. Dia tersenyum kecil ketika melihat Resti di ambang pintu dengan membawa sebuah nampan. "soriii, gue lupa. Tadi tuh—"
"Tangan lo kenapa, Na? Astaga! Sini coba gue lihat."
Tanpa bertanya lebih lanjut, Resti meletakkan nampan yang dibawanya ke atas nakas, kemudian mengambil botol anggur dari tangannya begitu saja. Liliana menatap kosong pada luka dalam di telapak tangannya. Rasanya sama sekali tidak sakit. Jika tidak ada darah yang keluar, mungkin Liliana ragu jika dia sudah melukai dirinya sendiri saat ini. Kalung salib yang tadi dia genggam pun sudah kembali dia pakai dengan jejak darah yeng menyelimuti.
"Gue pinjam kotak P3K sama orang resort. Lo jangan macem-macem dulu." Resti memaksanya duduk di tempat tidur, ikut membawa botol anggurnya entah ke mana.
Sejujurnya Liliana tidak perlu diobati. Darah di telapak tangannya bukanlah hal besar. Itu pasti berhenti sendiri setelah beberapa jam. Andai Resti tahu bahwa ada luka yang lebih sakit dari luka di telapak tangannya ini. Ah, sial! Liliana dengan cepat menyeka dua sisi pipinya yang kembali dibasahi oleh air matanya. Dia harus berhenti menangis. Tidak akan ada yang mengerti mengapa dia merasa seterluka ini hanya karena foto-foto itu.
Resti kembali beberapa menit kemudian dengan kotak obat. Sahabatnya itu langsung membersihkan darah yang terus keluar dari telapak tangannya sambil sesekali bertanya apa yang terjadi sampai bisa terluka seperti ini. Liliana sendiri memilih bungkam selagi tangannya diobati. Matanya menatap hampa pada hamparan perairan yang gelap di luar sana. Mengapa hanya karena Arlian, Liliana merasa hidupnya sekacau ini? Padahal dulu dia baik-baik saja. Pun ketika melihat Arlian menggandeng Fizha di perayaan ulang tahun pria itu yang ke-21 tahun, Liliana tidak merasakan apa-apa. Dia justru ikut bersorak ketika Arlian memberikan suapan kesekiannya kepada Fizha saat itu. Dia bahkan pernah bilang bahwa keduanya begitu serasi.
Tapi itu dulu. Jauh sebelum perayaan ulang tahunnya yang ke-17. Sejak saat itu, mata Liliana selalu mencari keberadaan Arlian dan berharap bisa melihat pria itu di setiap acara. Dia bahkan tak tertarik untuk mencari keberadaan Barir untuk bebagi cerita.
"Kalau lo nggak mau cerita, nggak papa. Istirahat ya, Na? Jangan minum banyak-banyakk," ujar Resti usai menutup luka di tangannya. Alih-alih langsung pergi, Resti justru memeluknya. "kalau pergi sejauh ini dari Jakarta tetap buat lo sedih, kayaknya lebih baik pulang ke London, Na. Lo seneng, kan, di sana?"
Tangannya gemetar ketika membalas pelukan sahabatnya itu. Bukan papi yang peduli tentang bahagianya, melainkan sosok lain yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Resti selalu bertanya apakah dia bahagia, apakah dia baik-baik saja? Layaknya Arlian yang selalu mendoakannya untuk selalu berbahagia alih-alih memimpikan pria itu di setiap malam. Namun, tetap saja, dia sendiri tidak bisa menjamin bahagianya sendiri. Yang bisa Liliana lakukan hanyalah berusaha seperti berusaha untuk tidak terlalu sedih, berusaha untuk tidak terlalu memikirkan ucapan orang, berusaha untuk tidak bergantung pada siapapun, dan usaha agar tidak terlalu patah hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Lupa Pulang
FanfictionSelama 8 tahun, London tidak membantu Liliana untuk melupakan semuanya. Bukan karena tidak bisa, melainkan karena tidak diizinkan.