5. Singkat

322 73 15
                                    

Waktu Liliana di Jakarta hanya sebentar. Rencananya begitu selesai acara pernikahan Mas Emier, dia akan kembali ke London secepat yang dia bisa. Jika bisa lagi, dia mendapatkan izin dari kedua orang tuanya untuk pindah kewarganegaraan. Ah, dia benar-benar ingin beralih status menjadi warga UK. Dia tidak ingin kembali lagi ke Jakarta dan menjelajahi seisinya.

Namun, mendapatkan izin untuk pamit undur diri dari Syahdan Ardhitomo bukanlah hal yang mudah. Liliana sudah mencobanya berkali-kali, dia bahkan berusaha menjaga diri dan sikap selama di London agar sang papi tahu bahwa dia akan baik-baik saja tinggal selamanya di sana.

"Jawaban Papi tetap enggak, Na. Nggak boleh."

Pagi-pagi sekali setelah menyelesaikan sesi lari paginya di taman perumahan, Liliana mencoba membujuk Syahdan yang pagi ini sudah berada di ruang kerjanya. Akan tetapi, lagi-lagi dia mendapatkan penolakan.

"Tapi, aku baik-baik aja di sana, Pi. Aku udah nyaman tinggal di sana."

Liliana merasa dia sehat dan baik-baik saja sejak berada di London. Resahnya berkurang banyak jika dibandingkan saat dia tinggal di Jakarta. Dia juga lebih jarang menangis, meski akan menangis kuat sesekali. Tapi, itu hal yang wajar. Seindah apapun London, senyaman apapun lingkungannya, Liliana tetap butuh menangis untuk bertahan hidup.

"Papi nggak melarang kamu untuk tinggal di London, Na. Silakan kalau kamu mau tinggal di sana. Tapi, enggak untuk menjadi warga negara tetap," ujar Syahdan Ardhitomo sembari melepaskan kaca matanya, menyimpannya bersama dengan ipad di sisi kanan meja kerja. "memangnya ada apa dengan menjadi WNI? Kamu dipersulit di sana? Atau bagaimana?"

Aku cuma nggak mau pulang ke sini lagi.  Ingin Sekali Liliana berikan jawaban jujur, tentang dia yang selalu merasa takut untuk kembali ke sini. Dia takut akan banyak menangis. Dia takut akan kembali merasa menyesal.

"Aku nggak papa. Ya udah, Pi, aku ke kamar dulu. Mau bersih-bersih."

Tidak lagi perlu untuk membangun percakapan, Liliana segera meninggalkan ruang kerja papinya dengan langkah tenang. Sepertinya dia tetap akan dipaksa pulang dengan berbagai alasan mulai saat ini dan mungkin izin pulang ke London di pertengahan Januari nanti akan cukup sulit.

"Mukamu kok lesu? Kenapa, Na?"

Di pertengahan jalan menuju kamar, dia berpepasan dengan Emier. Masnya itu terlihat sudah bersiap akan pergi bekerja di Senin pagi dengan setelan formal kemeja, jas, celana bahan dan serta sepatu pantofel.

"Nggak papa, Mas. Mas Emier berangkat memang jam segini?" Liliana bertanya sembari melihat jam tangan digitalnya yang memperlihatkan pukul 07.20. Menurutnya, ini masih terlalu pagi untuk berangkat bekerja.

"Hari ini ada rapat pagi. Kamu yakin, nggak papa?" Emier sekali lagi memperhatikan wajah sang adik perempuannya dan didapatinya kejanggalan yang tidak ia ketahui. "Kamu habis dari ruangan Papi? Ngapain?"

"Ada urusan sedikit, Mas. Aku ke kamar dulu ya?"

Siapapun tahu bahwa agenda rutin Liliana menghubungi Syahdan sejak berangkat ke London itu hanya karena satu tujuan yaitu mendapatkan restu pindah kewarganegaraan dari sang papi. Ini tahun kelima di usaha Liliana mencoba, tetapi belum juga ada titik terang.

"Kamu masih bersihkeras mau lepas jadi WNI?" Dan alih-alih melanjutka aktivitas pagi harinya untuk bekerja, Emier justru memutar langkah untuk menyusul kepergian Liliana menuju kamar. "Kenapa sih, Na? Lagian kamu tetap bisa tinggal di London dengan status WNI. Ada yang salah?"

Emier sampai sekarang tidak mengerti apa spesialnya dengan menjadi warga UK dan menetap selamanya di London, di saat Liliana bahkan lahir dan besar di Jakarta. Hanya karena patah hati, adiknya sampai sejauh ini untuk pergi.

Jangan Lupa PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang