London, Februari 2024
London masih berada di musim dingin. Dibandingkan hari-hari sebelumnya, suhu kota pada pagi ini tidak terlalu dingin. Pagi itu, awan kelabu menggantung rendah, khas London di bulan Februari, dengan udara dingin menusuk dan kabut tipis melapisi jalanan.
Liliana memulai aktivitasnya lebih awal. Tujuannya hari ini adalah Kennington, di mana Josh ingin bertemu dengannya. Ia mengenakan mantel tebal dan syal merah tua, siap menghadapi dinginnya pagi London. Ia berjalan ke arah halte bus terdekat yang berada di Horsefery sambil menikmati pemandangan gedung-gedung di sekitarnya. Setibanya di halte bus, Liliana hanya menunggu sebentar untuk kedatangan boris bus. Dari Westminster, bus akan melewati 7 tempat pemberhentian setelah nanti melewati jembatan Lambeth. Dia jarang mengunjungi distrik-distrik di sekitar Westminster jika hal tersebut tidak berkaitan dengan kerjaan atau jika Josh tidak mengajaknya. Mungkin bisa dikatakan, tanpa Josh, Liliana hanya tahu bertahan hidup di Westminster setelah tamat kuliah.
Selama boris bus bergerak melewati jembatan Lambeth, Liliana mengambil satu foto dengan kamera handphonenya dan lanjut memeriksa pesan-pesan masuk yang belum sempat dia lihat dan dia balas, termasuk pesan dari grub keluarga Syahdan Ardhitomo.
Hari ini adalah hari yang begitu dinantikan oleh papi setelah kerja kerasnya selama setahun belakangan. Hari untuk pemilihan suara telah tiba dan izin untuk Liliana bertempat tinggal permanen di kota ini akan menjadi kenyataan di bulan depan. Selama perjalanan menuju Kennington, Liliana melihat handphonenya dan melihat bahwa grub keluarga yang sudah ramai. Papi mengirimkan fotonya dengan jari yang sudah berwarna. Ada mama Nadya di sebelah papinya itu yang juga ikut tersenyum.
Saat ini di Jakarta sudah memasuki pukul 16.00 dan pemungutan suara di sana juga sudah selesai.
Liliana : jariku udah nggak berwarna
Liliana : udah selesai milih dari kemarin
Liliana : papi ketinggalannnnLiliana tersenyum sendiri membaca isi pesannya tersebut. Ketika Tube mulai berhenti di pemberhentian terakhir, dia menyimpan handphonenya dan tidak menunggu papi yang sedang mengetikkan sesuatu. Ia keluar dari stasiun dan merasakan hembusan udara yang menusuk. Jalanan Kennington sedikit lebih ramai. Orang-orang berkerumun di depan beberapa kafe, dan beberapa pasangan terlihat saling bergandengan tangan, menikmati pagi yang dingin namun manis. Trotoar di sekitar area itu tertata rapi, dan beberapa kios bunga mulai dibuka, menarik perhatian orang yang lewat.
Josh baru saja membeli sebuah flat di distrik Kennington setelah menetap cukup lama di Chelsea. Josh bilang dia sudah mendapat dirinya versi terbaik setelah mencoba tinggal di distrik ini selama kurang lebih tiga bulan. Hari ini, Josh resmi akan memulai kesehariannya di distrik yang memiliki sebuah stadion kriket tertua di dunia. Ketika Liliana bertanya mengapa Kennington, alih-alih ikut bersamanya tinggal di Chinatown, jawaban Josh adalah, "ada banyak seniman di daerah itu. Biaya hidup di Kennington juga lebih relatif murah kalau dibandingkan dengan Soho atau Shoreditch. Aku dapat flat dengan harga terbaik di sini."
"Ah, there you are! Welcome, make yourself at home. Mi casa, su casa!"
Liliana mencibir pelan mendengar sapaan hiperbola tersebut. Dia segera masuk setelah melepaskan sepatunya. Matanya menyusuri lantai kayu berwarna terang yang dipasang dalam pola herringbone, memberikan kesan hangat dan alami yang berpadu dengan dinding putih bersih.
Dia berjalan ke arah dapur terbuka di ujung ruangan, di mana kabinet abu-abu muda berpadu apik dengan countertop putih. Dapur menyatu dengan ruang makan kecil yang hanya terdiri dari meja bundar dengan empat kursi yang sederhana, namun cukup fungsional untuk ruang yang tidak terlalu besar.
"Well, Josh, I have to say, this place has... charm," pujinya setelah puas mengamati seisi flat baru milik Josh. Dia kemudian duduk di sofa putih dan berterima kasih ketika Josh memberikan sekaleng softdrink padanya. "Great taste!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Lupa Pulang
FanficSelama 8 tahun, London tidak membantu Liliana untuk melupakan semuanya. Bukan karena tidak bisa, melainkan karena tidak diizinkan.